Politik Sungsang

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Politik adalah panggung tempat akal sehat, etika, dan komitmen terhadap kepentingan publik semestinya menjadi landasan utama. Namun, dalam praktiknya, tak jarang realitas memperlihatkan potret yang sungsang—berlawanan dengan logika dan nalar publik. Sungsang bukan sekadar anomali; ia menjelma menjadi sistematis, mengakar, dan sering kali dianggap lumrah. Fenomena ini bukan khas satu negara atau sistem, tetapi dapat muncul di berbagai konteks demokrasi ketika tujuan kekuasaan mengalahkan etika.

Politik sungsang adalah refleksi dari deformasi demokrasi, ketika representasi berubah menjadi representasi semu, suara rakyat menjadi komoditas elektoral, dan jabatan menjadi sekadar alat akumulasi kekuasaan pribadi. Dalam politik sungsang, yang baik dianggap ancaman, dan yang culas menjadi panutan. Fenomena ini membawa konsekuensi jangka panjang bagi kualitas pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.


Demokrasi dalam Cengkeraman Distorsi

Dalam teori idealnya, demokrasi menjunjung tinggi prinsip keterwakilan, deliberasi, dan akuntabilitas (Dahl, 2020). Namun, politik sungsang menggerus pilar-pilar tersebut melalui kooptasi kekuasaan, transaksi elitis, serta ketimpangan akses dan informasi. Demokrasi prosedural yang tampak hidup dalam pesta pemilu lima tahunan tak serta merta menjamin substansi demokrasi—yakni keadilan, pemerataan, dan partisipasi bermakna.

Distorsi demokrasi ini juga diamplifikasi oleh politik identitas yang sempit. Ketika sentimen primordial lebih dijadikan alat kampanye ketimbang argumentasi programatik, maka demokrasi kehilangan akalnya. Politik identitas memang dapat memperkuat kohesi sosial jika dikelola secara inklusif (Mounk, 2018), namun dalam politik sungsang, identitas dijadikan alat polarisasi demi mempertahankan kekuasaan.


Ketika Legislasi Kehilangan Arah

Salah satu indikator dari politik sungsang adalah pembentukan undang-undang yang lebih merepresentasikan kepentingan elite ketimbang kebutuhan rakyat. Proses legislasi yang dilakukan tanpa kajian publik yang memadai, minim partisipasi, serta dilakukan secara kilat menandai demokrasi yang kehilangan semangat deliberatifnya (Butt, 2021). Produk hukum tak lagi menjadi instrumen perlindungan rakyat, melainkan alat legitimasi struktur kekuasaan yang telah mapan.

Padahal, dalam sistem demokrasi modern, transparansi legislasi adalah aspek penting untuk menjaga kepercayaan publik (Rose-Ackerman, 2022). Ketika undang-undang dibuat tanpa diskursus publik, tanpa argumentasi yang dapat diuji secara terbuka, maka hukum kehilangan kualitas moralnya. Inilah manifestasi lain dari politik sungsang: hukum yang kehilangan hati nuraninya.


Politik Transaksional dan Logika Patronase

Politik sungsang sangat erat dengan praktik transaksional. Ketika suara rakyat dapat dinegosiasikan dalam mata uang elektoral, maka demokrasi berubah menjadi pasar kekuasaan. Patronase bukan sekadar relasi antara pemimpin dan konstituen, melainkan alat tukar antara elite politik dan jaringan oligarki (Aspinall & Mietzner, 2019). Relasi ini melanggengkan ketimpangan, memperlebar jarak antara rakyat dan pemimpinnya.

Dalam konteks ini, jabatan bukan lagi amanah melainkan komoditas. Posisi politik dijadikan investasi politik, sementara kepemimpinan berubah menjadi kepemilikan. Politik patronase memperkuat hierarki dan membungkam meritokrasi. Ketika yang diangkat adalah yang loyal, bukan yang kompeten, maka organisasi politik kehilangan daya dorong perubahan (Robison & Hadiz, 2004).


Media dan Narasi Kekuasaan

Media, yang seharusnya menjadi anjing penjaga (watchdog) demokrasi, dalam politik sungsang justru bisa berbalik menjadi juru bicara kekuasaan. Alih-alih menyuarakan suara marjinal, media dikendalikan oleh narasi dominan yang direproduksi terus-menerus oleh pemilik modal politik (McChesney, 2021). Ruang publik menjadi sempit, opini dikendalikan, dan fakta dibelokkan.

Manipulasi media ini memperburuk distorsi persepsi publik. Informasi tak lagi menjadi alat pencerahan, melainkan pembenaran. Masyarakat disuguhi narasi tunggal, sementara kritik dianggap sebagai bentuk subversi. Padahal, demokrasi memerlukan ruang oposisi dan dissent sebagai bagian dari dinamika politik yang sehat (Habermas, 1989). Ketika kritik dibungkam, demokrasi berubah menjadi teatrikal belaka.


Representasi Tanpa Representasi

Fenomena politik sungsang juga tampak dalam representasi simbolik yang tak berakar pada realitas sosial. Wajah-wajah rakyat kerap ditampilkan dalam baliho dan iklan kampanye, tetapi aspirasi mereka tak pernah benar-benar masuk ke ruang keputusan politik. Apa yang tampak inklusif di permukaan, sering kali hanyalah simbolisasi semu untuk membangun citra.

Inilah paradoks representasi dalam demokrasi modern: rakyat hadir dalam narasi, tetapi absen dalam kebijakan (Urbinati, 2006). Ketika konstituen hanya menjadi angka statistik, dan keterwakilan hanya bersifat prosedural, maka demokrasi kehilangan makna emansipatorisnya. Politik menjadi monolog elite, bukan dialog antara rakyat dan pemimpinnya.


Meritokrasi yang Dibajak

Salah satu tujuan dari sistem demokrasi adalah membuka ruang meritokrasi: mereka yang kompeten, jujur, dan berdedikasi dapat naik ke posisi pengambil keputusan. Namun dalam politik sungsang, meritokrasi dibajak oleh nepotisme, kroniisme, dan kepentingan jangka pendek. Proses seleksi publik sering kali hanyalah formalitas, sementara hasilnya sudah dikunci dalam kesepakatan tertutup (Tans, 2020).

Kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas layanan publik. Ketika pemegang jabatan tidak didasarkan pada kemampuan, maka kebijakan publik menjadi rentan terhadap kegagalan implementasi. Keputusan strategis diambil bukan karena kepentingan publik, tetapi karena loyalitas politik. Rakyat pun menjadi korban dari sistem yang sungsang ini.


Resistensi Kultural dan Politik Alternatif

Meski politik sungsang tampak dominan, sejarah mencatat bahwa resistensi sosial selalu hadir. Gerakan masyarakat sipil, kelompok intelektual, dan jurnalisme investigatif menjadi pilar penting dalam menjaga kewarasan publik (Tarrow, 2021). Mereka menjadi katalis perlawanan terhadap politik yang menyesatkan arah demokrasi.

Selain itu, hadirnya platform digital juga memberi ruang alternatif bagi narasi tandingan. Media sosial, meski problematik dalam banyak aspek, memungkinkan partisipasi politik yang lebih luas dan responsif. Di sinilah peran literasi politik menjadi krusial—agar masyarakat mampu memilah informasi, mengenali propaganda, dan memperkuat akal sehat kolektif.


Membangun Demokrasi yang Sehat

Keluar dari politik sungsang bukan perkara mudah. Ia memerlukan reformasi struktural, pembenahan sistem elektoral, dan penguatan institusi. Namun lebih dari itu, diperlukan perubahan budaya politik: dari budaya komando menjadi budaya partisipasi; dari patronase menuju pelayanan publik; dari loyalitas kepada tokoh menjadi loyalitas kepada konstitusi.

Pendidikan politik menjadi fondasi utama. Tanpa rakyat yang kritis, demokrasi mudah dibajak. Oleh karena itu, penguatan pendidikan kewargaan, literasi media, dan ruang deliberasi publik harus menjadi prioritas. Demokrasi hanya mungkin tumbuh jika rakyatnya melek politik dan tidak mudah dibutakan oleh pencitraan.


Penutup: Jalan Sunyi Reformasi

Politik sungsang adalah kenyataan yang mengganggu harapan, tetapi bukan tanpa jalan keluar. Reformasi mungkin terasa lambat, bahkan menyakitkan. Namun harapan tak boleh padam. Jalan demokrasi bukan jalan cepat, melainkan jalan sunyi yang menuntut ketekunan kolektif.

Maka, menjadi tugas kita bersama—akademisi, jurnalis, seniman, aktivis, dan warga negara biasa—untuk membenahi politik dari bawah. Bukan dengan teriakan kosong, tetapi dengan kerja nyata: membangun institusi, memperbaiki sistem, dan memelihara integritas. Politik yang sehat adalah hasil dari rakyat yang sehat jiwanya.

Politik sungsang bukan akhir, melainkan tantangan. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi tak pernah selesai diperjuangkan.


Referensi

  • Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Democratic Resistance in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Butt, S. (2021). The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis. Oxford: Hart Publishing.
  • Dahl, R. A. (2020). On Democracy. New Haven: Yale University Press.
  • Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: MIT Press.
  • McChesney, R. W. (2021). Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times. New York: The New Press.
  • Mounk, Y. (2018). The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It. Cambridge: Harvard University Press.
  • Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge.
  • Rose-Ackerman, S. (2022). Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Tans, R. (2020). Political Recruitment and Candidate Selection in Indonesia: Democratizing the Gatekeepers? Leiden: Brill.
  • Tarrow, S. (2021). Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Urbinati, N. (2006). Representative Democracy: Principles and Genealogy. Chicago: University of Chicago Press.
  • Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. New York: Crown Publishing.
  • Norris, P. (2020). Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Schedler, A. (2013). The Politics of Uncertainty: Sustaining and Subverting Electoral Authoritarianism. Oxford: Oxford University Press.
  • Berenschot, W. (2021). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Exit mobile version