Ziauddin Sardar: Menyemai Kewaspadaan di Masa yang Tak Normal

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Di tengah pusaran zaman yang kian tak pasti, nama Ziauddin Sardar menonjol sebagai salah satu intelektual Muslim yang paling konsisten membangun jembatan antara iman, ilmu, dan masa depan. Ia bukan sekadar penulis produktif atau pengamat budaya; ia adalah perancang cara pandang—terutama melalui gagasan “postnormal times” (PNT)—yang mengajak kita menata ulang pengetahuan, kebijakan, dan etika di era kompleksitas, kontradiksi, dan kekacauan. Dengan gaya yang lugas namun menusuk, Sardar mengingatkan bahwa modernitas tak bisa dihadapi dengan nostalgia masa lalu ataupun euforia teknologi semata; kita memerlukan kecakapan kewaspadaan, keinsafan terhadap ketidaktahuan, dan keberanian merawat keberagaman (Sardar, 2010; Sardar, 2015; Sardar & Sweeney, 2016).

Mengapa Sardar Penting Hari Ini

Sardar dikenal luas karena merumuskan PNT sebagai masa “serba di antara”: ortodoksi lama runtuh, yang baru belum lahir, dan banyak hal tak lagi masuk akal. Rumusan ini bukan retorika, melainkan kerangka analitis untuk membaca zaman yang diwarnai percepatan perubahan (speed), jangkauan global (scope), besaran dampak (scale), dan keserentakan (simultaneity)—empat huruf S yang berkelindan dengan tiga huruf C: complexity, contradictions, chaos (3Cs). Dengan kerangka ini, Sardar mengajak kita menimbang kebijakan dan isu publik tanpa simplifikasi; ia mendorong literasi masa depan yang peka terhadap ketidakpastian dan lapisan-lapisan “ketidaktahuan” (ignorance). (Sardar, 2010; Sardar, 2020; Jones, Serra del Pino, & Mayo, 2021).

Di sini sumbangan Sardar terasa relevan bagi dunia Muslim dan kemanusiaan luas: ia menawarkan metode “Three Tomorrows” untuk menimbang masa depan dekat, menengah, dan jauh secara paralel—sebuah ajakan untuk keluar dari jebakan “satu skenario” yang sering menyesatkan. Metode ini menekankan pluralitas dan dinamika kemungkinan, sekaligus mengakui luasnya wilayah ketidaktahuan yang harus diolah secara etis. (Sardar & Sweeney, 2016).

Etika Pengetahuan di Masa “Postnormal”

Kritik Sardar terhadap “smog of ignorance”—asap tebal ketidaktahuan—menyasar keyakinan berlebihan pada data dan kontrol. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan bukan hanya akumulasi fakta, melainkan orientasi bijak yang menimbang nilai, konteks, dan akibat. Di PNT, kita memerlukan “kecerdasan epistemik”: kesiapan mengakui apa yang tak kita ketahui, kemampuan memeriksa prasangka, dan kebiasaan melibatkan pihak rentan dalam pengambilan keputusan. (Sardar, 2020; Sardar, 2021a).

Pelajaran itu kentara saat pandemi Covid-19. Banyak negara, organisasi, dan komunitas tersapu “badai postnormal” yang menyingkap sekaligus mempercepat krisis kesehatan, ekonomi, dan informasi. Peristiwa ini menunjukkan betapa kebijakan publik membutuhkan kepekaan terhadap 3Cs—dan bahwa rindu pada “normal yang lama” bisa menutup mata terhadap ketidaksetaraan struktural yang ikut memperparah dampak krisis. (Jones, Serra del Pino, & Mayo, 2021; Sardar, 2021b).

Iman, Teks, dan Kota Suci: Sardar sebagai Pembaca Tradisi

Sardar bukan hanya teoretikus masa depan; ia juga pembaca tradisi yang tekun. Reading the Qur’an menampilkan hermeneutika yang menolak menjadikan Al-Qur’an sekadar “museum makna”. Teks dibaca sebagai dorongan untuk bergerak—mencari keadilan, mengasah akal, dan membenahi struktur sosial. Dengan pendekatan ini, Sardar melampaui polarisasi antara “skripturalisme beku” dan “relativisme cair” (Sardar, 2011).

Dalam Mecca: The Sacred City, ia memadukan sejarah, laporan perjalanan, dan memoar untuk memperlihatkan Mekkah sebagai kota yang selalu dinegosiasikan antara kesakralan dan modernisasi. Ia sensitif pada aspek warisan dan makna spiritual, namun juga kritis terhadap proyek-proyek yang mengubah lanskap dan memori kolektif. Dengan cara ini, Sardar mengajukan pertanyaan: bagaimana merawat ruh tempat suci dalam arsitektur kapital dan arus wisata rohani? (Sardar, 2014).

Kedua karya ini memperlihatkan konsistensinya: iman yang bergerak bersama akal; tradisi yang berjumpa masa depan tanpa inferioritas atau superioritas. Ia mengajak pembaca Muslim—dan non-Muslim—mengubah “kesalehan privat” menjadi keberanian etis di ruang publik.

Dari Jurnal hingga Ekosistem Gagasan

Sardar membangun ekosistem gagasan yang lintas medium. Sebagai editor Critical Muslim, ia mendorong pertemuan gagasan dari sastra hingga sains, dari kuliner hingga kota—dengan satu benang merah: keberanian mengkritik diri dan mengimajinasikan masa depan. (Critical Muslim, n.d.).

Di sisi lain, Centre for Postnormal Policy & Futures Studies (CPPFS) dan platform Post Normal Times merilis bacaan, peta konsep, serta metode untuk menavigasi PNT—dari revisiting teori hingga aplikasi di kebijakan, pendidikan, dan kehidupan kota. Ekosistem ini meluaskan ilmu menjadi praktik yang bisa diadopsi komunitas, kampus, ataupun kelompok warga (Post Normal Times, n.d.).

Tak heran jika profil Sardar berulang kali masuk The Muslim 500 dalam beberapa edisi terakhir—sebuah pengakuan atas pengaruh intelektualnya lintas generasi (The Muslim 500, 2023; The Muslim 500, 2024; The Muslim 500, 2025).

Opini: Tiga Tugas Mendesak untuk Publik Indonesia

Pertama, membangun literasi masa depan yang rendah hati. Kita perlu mengakui “wilayah tak tahu” dalam kebijakan—dari pangan, kesehatan, hingga ruang digital. Instrumen seperti Three Tomorrows bisa dipakai pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dan media untuk membaca risiko dan peluang secara berlapis; ini membantu menghindari “solusi tunggal untuk masalah majemuk” (Sardar & Sweeney, 2016).

Kedua, menata ekosistem pengetahuan lintas disiplin. Krisis hari ini tidak datang satu per satu, melainkan berkelindan. Pendekatan yang terlalu sektoral sering membuat kita “buta sisi”—mengulang kesalahan karena hanya mengandalkan metrik sempit. Kerangka 3Cs dan 4Ss mengingatkan bahwa koordinasi lintas-ilmu, keterlibatan warga, dan etika data bukan pilihan, melainkan prasyarat (Sardar, 2010; Sardar, 2015).

Ketiga, menautkan spiritualitas, akal, dan keadilan sosial. Bacaan Sardar terhadap Al-Qur’an mengajak iman keluar dari ruang privat menuju etos publik: memastikan kebijakan berpihak pada yang lemah, merawat ruang bersama, dan menjaga amanah alam. Sensitivitas pada warisan—sebagaimana ia tulis tentang Mekkah—relevan bagi kota-kota yang tengah berebut ruang antara pelestarian dan investasi  (Sardar, 2011; Sardar, 2014).

Menutup: Keberanian Mengimajinasikan yang Wajar

Sardar pernah menyindir kegandrungan pada “new normal” sebagai sekadar kembali ke status quo dengan aksesori baru. Di PNT, yang kita butuhkan bukan “normal baru”, tetapi kewajaran baru—tata kehidupan yang menyeimbangkan daya cipta dan daya jaga; yang menghormati perbedaan sambil tegas pada martabat manusia; yang bersandar pada literasi masa depan tanpa melupakan akar tradisi. Di sini, Sardar menawarkan bukan resep instan, melainkan tata cara berpikir: waspada pada ketidaktahuan, jujur pada keterbatasan, dan radikal dalam merawat harapan (Sardar, 2021b).


Referensi

  • Appignanesi, R. (2019). Postculture. Critical Muslim, 29, 70–87.
  • Jones, C., Serra del Pino, J., & Mayo, L. (2021). The perfect postnormal storm: COVID-19 chronicles (2020 edition). World Futures Review. https://doi.org/10.1177/19467567211027345
  • Mayo, L. (2021). On the nature of time in postnormal times. Journal of Futures Studies, 25(4).
  • Sardar, Z. (2010). Welcome to postnormal times. Futures, 42(5), 435–444. https://doi.org/10.1016/j.futures.2009.11.028
  • Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The contemporary relevance of the sacred text of Islam. London: Hurst.
  • Sardar, Z. (2014). Mecca: The sacred city. London: Bloomsbury.
  • Sardar, Z. (2015). Postnormal times revisited. Futures, 67, 26–39.
  • Sardar, Z. (2020). The smog of ignorance: Knowledge and wisdom in postnormal times. Futures, 120, 102554.
  • Sardar, Z. (2021a). On the nature of time in postnormal times. Journal of Futures Studies, 25(4).
  • Sardar, Z. (2021b). Afterthoughts: Transnormal, the “new normal” and other varieties of “normal” in postnormal times. World Futures Review.
  • Sardar, Z. (Ed.). (2021). The Postnormal Times Reader. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought.
  • Sardar, Z., Serra del Pino, J., & Jordan, S. (2019). Muslim societies in postnormal times: Foresight for trends, emerging issues and scenarios. London: International Institute of Islamic Thought.
  • Sardar, Z., & Sweeney, J. A. (2016). The three tomorrows of postnormal times. Futures, 75, 1–13.
  • The Muslim 500. (2023). The world’s 500 most influential Muslims (2023 edition). Amman: The Royal Islamic Strategic Studies Centre.
  • The Muslim 500. (2024/2025). The world’s 500 most influential Muslims (2024; 2025 editions). Amman: The Royal Islamic Strategic Studies Centre.

 

Exit mobile version