Bupati Pati dan Hak Angket DPRD

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021, Widyaiswara BKPSDM Kabupaten Natuna.

Pada awal Agustus 2025, Bupati Pati, Sudewo, memicu protes publik besar setelah mengusulkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 %, yang dinilai memberatkan warga (Radar Bojonegoro, 2025; Kompas TV, 2025). Meski kemudian kebijakan itu dibatalkan dan ia meminta maaf, gelombang demonstrasi—diikuti kericuhan serta tuntutan agar ia mundur—telah berlangsung luas (Liputan6, 2025; Wikipedia, 2025).

Menyikapi tekanan publik, DPRD Kabupaten Pati menggelar rapat paripurna pada 13 Agustus 2025 dan sepakat membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket untuk menyidik potensi pemakzulan terhadap Bupati Sudewo (detikJateng, 2025; Kompas TV, 2025). Salah satu fokus penyelidikan adalah legalitas pengisian jabatan Direktur RSUD RAA Soewondo Pati, yang dianggap bermasalah menurut surat teguran dari BKN (detikJateng, 2025). Instansi pusat—seperti Istana dan Menteri Dalam Negeri—menegaskan menghormati prosedur yang dilakukan DPRD, namun mengimbau agar proses tetap kondusif (Merdeka, 2025; detikNews, 2025).

Di dalam tata kelola daerah yang sehat, hak angket bukan sekadar prosedur politik, melainkan instrumen akuntabilitas publik. Ia menjadi jembatan antara kewenangan dan pertanggungjawaban: ketika kebijakan eksekutif dianggap menyimpang dari koridor hukum, wakil rakyat berhak menelisik sebab-musababnya secara terbuka dan terukur. Konteks inilah yang membuat pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket oleh DPRD terkait isu-isu pemerintahan daerah—termasuk di Pati—patut dibaca sebagai upaya menegakkan prinsip checks and balances, bukan sebagai panggung pertikaian politik jangka pendek (Permana, 2025).

Landasan Hukum yang Tegas

Fondasi yuridis hak angket DPRD kabupaten/kota diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 159 ayat (1) menyebut DPRD kabupaten/kota memiliki tiga hak utama: interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Pasal 169 merinci syarat dukungan dan tata cara persetujuan paripurna untuk mengesahkan usulan hak angket; sementara Pasal 334 menegaskan detail lanjutan diatur dalam peraturan tata tertib DPRD (Republik Indonesia, 2014). Ketentuan ini diperinci lagi dalam PP No. 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, termasuk pembentukan Pansus Angket yang mewakili semua unsur fraksi setelah usul disetujui paripurna (Pemerintah RI, 2018).

Mengapa penekanan pada pasal-pasal ini penting? Karena legitimasi politik tanpa legitimasi prosedural akan rapuh. Kuorum kehadiran 3/4 anggota dan ambang persetujuan 2/3 dari yang hadir—sebagaimana tersirat dalam pengaturan UU 23/2014—dirancang untuk mencegah penggunaan hak angket secara serampangan, memastikan bahwa penyelidikan hanya berjalan jika ada konsensus yang cukup luas di parlemen daerah (Republik Indonesia, 2014).

Pati dalam Sorotan, Prinsip yang Dikedepankan

Informasi publik menunjukkan bahwa isu-isu menyangkut kebijakan dan tata kelola daerah dapat mendorong DPRD membentuk Pansus Angket. Dalam konteks Pati, pemberitaan menyebut adanya langkah DPRD membentuk Pansus Angket terkait kebijakan kepala daerah; dinamika ini sepatutnya dibaca sebagai mekanisme pengawasan yang tersedia dalam hukum, bukan serangan personal (Permana, 2025). Di tataran prinsip, ini adalah kanal untuk menguji transparansi proses, konsistensi kebijakan dengan peraturan perundang-undangan, serta dampaknya bagi masyarakat luas.

Tentu, dalam iklim politik lokal, setiap langkah prosedural kerap diinterpretasikan secara politis. Namun hak angket sejatinya adalah alat penyelidikan kebijakan, bukan forum peradilan moral. Substansinya: mengumpulkan fakta secara sistematis dan terbuka agar publik memahami persoalan dengan terang. Penjelasan dan penuntun praktik mengenai perbedaan hak interpelasi (meminta keterangan), hak angket (penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat (memberi penilaian/resolusi) juga tersedia luas di kanal edukasi hukum (Hukumonline, 2024; 2025).

Batas Etik dan Metode: Jangan Melompat ke Vonis

Kekuatan hak angket justru bertumpu pada kedisiplinan metodologis dan etik. Sejumlah studi tata kelola menekankan bahwa efektivitas pengawasan DPRD meningkat jika prosedur disusun jelas, bukti diuji silang, dan rekomendasi berorientasi perbaikan sistem, bukan pembuktian kesalahan individual (Harley, Setiawan, & Sufianto, 2024; Said & Ahmad, 2024). Dalam literatur tersebut, pengawasan yang baik menuntut objektivitas, fleksibilitas, dan tindakan korektif yang proporsional—bukan sensasi (Harley dkk., 2024).

Dengan demikian, Pansus Angket yang terbentuk seharusnya menetapkan kerangka acuan (terms of reference) yang presisi: ruang lingkup kebijakan yang diselidiki, daftar dokumen yang dibutuhkan, jadwal pemeriksaan, serta mekanisme klarifikasi dan hak jawab. Tatib DPRD kabupaten/kota lazimnya telah memuat prosedur rinci: mulai dari pengusulan, pembahasan di paripurna, hingga pembentukan dan kerja Pansus Angket yang mencakup semua unsur fraksi (DPRD Purbalingga, 2020; DPRD Barito Selatan, 2019).

Menjaga Proses Tetap Terbuka

Keterbukaan informasi selama proses angket adalah kunci membangun kepercayaan publik. Ringkasan temuan sementara, jadwal rapat, dan dokumen non-rahasia dapat dipublikasikan secara berkala agar masyarakat tidak terjebak pada spekulasi. Praktik baik ini beririsan dengan temuan akademik: pengawasan yang inklusif—yang melibatkan kampus, LSM, jurnalis, dan warga—lebih efektif menutup celah deviasi kebijakan (Harley dkk., 2024).

Namun, due process tetap utama. Materi yang dilindungi undang-undang (misalnya data pribadi atau informasi yang dikecualikan) wajib dijaga, sementara pejabat terperiksa berhak atas hak jawab yang setara. Ketelitian ini memastikan hak angket tak berubah menjadi trial by press.

Fokus pada Kebijakan, Bukan Figur

Di tingkat kabupaten/kota, relasi antara DPRD dan kepala daerah sering kali diwarnai preferensi politik. Di sinilah pentingnya memagari proses pada objek kebijakan: misalnya, tata cara pengadaan, penetapan program, alokasi APBD, dampak layanan publik, hingga kepatuhan pada regulasi sektoral. Pengalaman di berbagai daerah—sebagaimana tergambar dalam riset tentang pengawasan program sosial dan administrasi keuangan daerah—menunjukkan problem sering bersumber dari desain kebijakan yang kabur, kurangnya dokumentasi, minimnya koordinasi, atau kapasitas pengawasan yang belum memadai (Harley dkk., 2024).

Dengan menempatkan kebijakan sebagai subjek penyelidikan, rekomendasi Pansus Angket akan lebih berpeluang menghasilkan perbaikan sistemik: penyempurnaan SOP, peningkatan transparansi, hingga audit tematik bila diperlukan. Pada akhirnya, kualitas layanan publik—bukan sekadar skor kemenangan politik—yang menjadi tolok ukur.

Menjembatani Politik dan Tata Kelola

Hak angket memang perangkat politik. Tapi dalam demokrasi prosedural, politik tidak otomatis identik dengan kepentingan sempit. Politik juga bisa berarti disiplin akuntabilitas—mengajukan pertanyaan sulit, memeriksa dokumen, dan mengurai sebab akibat. Pengetahuan publik mengenai perbedaan dan syarat tiap hak DPR/DPRD (interpelasi, angket, menyatakan pendapat) membantu warga menilai apakah langkah DPRD proporsional terhadap masalah yang dihadapi (Hukumonline, 2024; 2025; Detikcom, 2024).

Dalam konteks Pati—dan daerah mana pun—yang paling mendesak adalah memastikan kapasitas kelembagaan Pansus: adanya tenaga ahli independen, perangkat analisis kebijakan, dan kemampuan menilai kepatuhan hukum secara lintas sektor. Banyak tatib DPRD provinsi/kabupaten/kota menyediakan ruang bagi pemanggilan ahli dan partisipasi publik terukur, yang jika dioptimalkan, dapat meningkatkan mutu temuan (DPRD Jateng, 2021; PP 12/2018).

Ukuran Keberhasilan: Dari Temuan ke Perbaikan

Ukuran keberhasilan hak angket bukan pada “siapa yang kalah atau menang”, melainkan pada kualitas rekomendasi dan tingkat implementasinya. Rekomendasi yang baik biasanya mencakup: (1) koreksi kebijakan (revisi keputusan/SE/SOP), (2) perbaikan tata kelola (integrasi data, pelaporan berkala), (3) pemulihan layanan (remediasi bagi warga terdampak), dan (4) rujukan untuk penegakan hukum bila ditemukan indikasi pelanggaran (Hukumonline, 2024; Respublica UNS, 2021). Jalur ini menjaga garis demarkasi antara fungsi politik DPRD dan domain yudisial penegak hukum.

Ketika Pansus menyampaikan temuannya, bahasa rekomendasi juga perlu cermat: spesifik, terukur, berbasis bukti, serta menyebut tenggat dan penanggung jawab. Tanpa hal itu, laporan angket mudah menjadi dokumen yang dikutip, bukan diikutkan.

Risiko yang Perlu Diantisipasi

Ada setidaknya tiga risiko yang jamak muncul dalam praktik:

  1. Politisasi berlebihan. Hak angket dipakai sebagai alat tekan, bukan alat telaah. Obatnya adalah disiplin prosedur, keterlibatan tenaga ahli independen, dan keterbukaan informasi yang proporsional (Said & Ahmad, 2024).
  2. Kelelahan proses. Tenggat molor dan agenda melebar. Antisipasinya: workplan terstruktur, matriks bukti, dan rapat tematik fokus.
  3. Komunikasi publik yang kabur. Ketika narasi tersebar tanpa konteks, prasangka mengalahkan data. Solusinya: ringkasan eksekutif berkala dan fact sheet yang mudah dicerna (Harley dkk., 2024).

Mengembalikan Orientasi: Pelayanan Warga

Pada akhirnya, hak angket adalah hak warga yang didelegasikan kepada wakilnya untuk memastikan urusan publik ditangani secara benar. Setiap jam rapat, setiap lembar dokumen, setiap klarifikasi yang dilakukan Pansus pada gilirannya harus bermuara pada perbaikan layanan: apakah kebijakan yang dipersoalkan berdampak pada akses kesehatan, pendidikan, administrasi kependudukan, bantuan sosial, lingkungan, atau tata ruang? Inilah kompas moralnya.

Bagi Pati, pelajaran besar dari dinamika ini adalah pentingnya kepemimpinan yang bersedia diaudit dan legislatif yang siap diaudit balik oleh warganya. Eksekutif yang percaya diri terhadap proses akan melihat Pansus Angket sebagai kesempatan untuk memperbaiki kebijakan dan menutup celah tata kelola; legislatif yang akuntabel akan menjaga proses tetap elegan, berpegang pada hukum, dan bebas dari konflik kepentingan.

Dengan demikian, kita bisa menilai arah akhirnya dengan jernih: apakah angket menghasilkan langkah korektif yang nyata? Jika ya, maka demokrasi lokal bekerja sebagaimana mestinya—bukan karena gaduhnya panggung, melainkan karena hadirnya perbaikan nyata di kehidupan warga.


Referensi

  • Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Jakarta: BPK RI. Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id
  • Detikcom. (2024). Pengertian hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat DPR RI. Jakarta: Detikcom. Retrieved from https://www.detik.com
  • DPRD Kabupaten Purbalingga. (2020). Peraturan DPRD Kabupaten Purbalingga tentang Tata Tertib DPRD. Purbalingga: Sekretariat DPRD. Retrieved from https://dprd.purbalinggakab.go.id
  • DPRD Provinsi Jawa Tengah. (2021). Peraturan DPRD Provinsi Jawa Tengah tentang Tata Tertib DPRD (Versi Cetak). Semarang: Sekretariat DPRD Jateng. Retrieved from https://jdih.dprd.jatengprov.go.id
  • Komisi DPRD Barito Selatan. (2019). Peraturan DPRD Kab. Barito Selatan No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib DPRD. Buntok: Sekretariat DPRD. Retrieved from https://jdih.setwan.baritoselatankab.go.id
  • Harley, D., Setiawan, A., & Sufianto, D. (2024). Pengawasan DPRD dalam penyaluran bantuan sosial di Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Prinsip, 1(1), 488–502. Bandung: FISIP Unjani. Retrieved from https://ejournal.fisip.unjani.ac.id
  • Hukumonline. (2024). Apa itu hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat? Jakarta: PT Justika Siar Publika. Retrieved from https://www.hukumonline.com
  • Hukumonline. (2024). Dapatkah KPU menjadi objek hak angket DPR? Jakarta: PT Justika Siar Publika. Retrieved from https://www.hukumonline.com
  • Hukumonline. (2025). 3 hak DPR dan 11 hak istimewa para anggota DPR. Jakarta: PT Justika Siar Publika. Retrieved from https://www.hukumonline.com
  • Permana, R. H. (2025, August 14). DPRD bentuk Pansus Angket terkait Bupati Pati. detikJateng. Jakarta: Detikcom. Retrieved from https://www.detik.com
  • Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (2018). PP No. 12 Tahun 2018 (salinan PDF). Pangkalpinang: JDIH Babel. Retrieved from https://jdih.babelprov.go.id
  • Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara. Retrieved from https://jdih.perpusnas.go.id
  • Said, A. R., & Ahmad, S. (2024). Hak angket dalam penguatan fungsi pengawasan. Binamulia Hukum, 13(2), 161–170. Jakarta: Universitas Borobudur. Retrieved from https://jurnal.univ-borobudur.ac.id
  • Setiawan, M. J. (2024). PP 12/2018: Tata tertib DPRD kabupaten/kota [Paparan]. Yogyakarta: Materi kuliah/SlideShare. Retrieved from https://www.slideshare.net
  • Universitas Sebelas Maret. (2021). Pelaksanaan fungsi hak angket DPR. Respublica, 20(2), 101–115. Surakarta: UNS Press. Retrieved from https://jurnal.uns.ac.id
Exit mobile version