Politik Abu Jahal: Antara Kekuasaan dan Ketakutan atas Kebenaran

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam catatan sejarah Islam, sosok Abu Jahal tak hanya dikenal sebagai penentang keras dakwah Nabi Muhammad, tetapi juga simbol dari arogansi politik, kejumudan nalar, dan ketakutan berlebihan terhadap perubahan tatanan sosial yang lebih adil. Abu Jahal, yang bernama asli Amr bin Hisyam, adalah figur aristokrat Quraisy yang menolak ajaran tauhid bukan karena ia tak memahami pesan kebenaran, tetapi karena khawatir kehilangan dominasi sosial-politik yang sudah mapan.

Fenomena ini bukan sekadar kisah lampau, melainkan refleksi nyata terhadap wajah politik masa kini yang masih menyimpan aroma Abu Jahal: takut terhadap kebenaran karena kebenaran dapat membongkar kebohongan yang telah lama dijadikan fondasi kekuasaan.

Nalar Kekuasaan yang Menolak Etika

Politik Abu Jahal ditandai dengan watak kekuasaan yang menolak akal sehat, menghindari kritik, dan menumpas rasionalitas demi mempertahankan status quo. Dalam konteks modern, ini bisa diterjemahkan sebagai praktik politik yang mengabaikan prinsip etika, transparansi, dan keadilan publik. Politik semacam ini menutup ruang partisipasi masyarakat, menggantinya dengan mobilisasi semu yang mengandalkan narasi tunggal dan pengkultusan figur.

Menurut Alatas (2022), bentuk kekuasaan yang anti-kritik lahir dari rasa takut kehilangan legitimasi. Politik tidak lagi menjadi medan pengabdian, melainkan alat akumulasi kuasa yang tak rela diganggu oleh nilai-nilai kebenaran. Abu Jahal menolak Islam bukan karena ia tak tahu bahwa Nabi Muhammad berkata benar, tetapi karena Islam mengancam fondasi oligarki Quraisy.

Politisasi Ketakutan dan Rezim Simbolik

Abu Jahal menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan dominasi politiknya: dari propaganda, disinformasi, hingga represi terhadap pengikut Nabi. Semua ini bertumpu pada politisasi ketakutan: menakut-nakuti publik bahwa Islam akan menghancurkan tatanan yang telah mereka nikmati. Dalam istilah Foucault (2020), ini adalah bentuk kekuasaan simbolik yang bekerja melalui narasi hegemonik yang mematikan otonomi berpikir.

Fenomena ini kembali tampak dalam lanskap demokrasi kontemporer. Ketika politik dijalankan dengan cara-cara manipulatif dan simbolik, maka substansi pemerintahan akan dikuasai oleh narasi artifisial yang disusun untuk mengaburkan realitas. Alih-alih memberi ruang perbaikan, politik justru menjelma menjadi alat reproduksi kepalsuan (Bourdieu, 2021).

Politik sebagai Medan Kebencian

Abu Jahal membangun politik atas dasar kebencian: benci terhadap Nabi Muhammad, benci terhadap keadilan, benci terhadap pembebasan budak, benci terhadap kesetaraan. Sumber kebenciannya bukan karena ajaran Islam buruk, tetapi karena ajaran itu mengikis kekuasaan elite yang selama ini menindas.

Model politik ini masih sangat relevan dalam banyak praktik kekuasaan hari ini. Politik kebencian tidak pernah lahir dari rasionalitas publik, melainkan dari elite yang takut kehilangan privilese. Seperti dikemukakan oleh Mudde dan Kaltwasser (2019), populisme kanan atau ekstremisme kekuasaan kerap menjual narasi kebencian sebagai komoditas politik untuk mempertahankan massa.

Kebencian yang dikelola dengan rapi menjadi senjata paling murah dalam politik praktis, terutama ketika argumentasi gagal dibangun atas basis logika dan keadilan. Dalam praktik politik Abu Jahal, kebencian tidak hanya memecah masyarakat, tetapi juga menghancurkan potensi dialog dan kompromi.

Demokrasi yang Terancam Politik Jahiliyah

Istilah jahiliyah merujuk pada masa sebelum Islam yang dicirikan dengan kekacauan moral, politik tribalistik, dan hukum rimba. Politik Abu Jahal adalah wajah otoritarianisme pra-Islam yang menolak etika universal. Dalam konteks demokrasi, politik jahiliyah bisa muncul melalui kooptasi terhadap sistem, manipulasi hukum, dan kooptasi kelembagaan untuk melayani elite.

Menurut Diamond (2020), demokrasi bisa mati secara perlahan jika kekuasaan digunakan untuk menggerogoti institusi dari dalam. Inilah yang dilakukan oleh Abu Jahal: tidak menyerang nilai-nilai secara langsung, tetapi melemahkan akar-akar kebenaran dengan kebohongan yang berulang dan sistematis.

Politik modern yang ditandai oleh kooptasi elite, kapitalisasi elektoral, dan korupsi struktural, dalam banyak hal mencerminkan politik Abu Jahal. Sistem dibiarkan hidup secara prosedural, tetapi mati secara substansial (Levitsky & Ziblatt, 2018).

Menolak Transformasi Sosial

Salah satu alasan utama Abu Jahal menolak dakwah Nabi adalah karena Islam menjanjikan transformasi sosial. Budak dibebaskan, perempuan diberi hak, dan status keturunan tak lagi jadi ukuran kemuliaan. Ini jelas mengancam kelas aristokrat Quraisy. Politik Abu Jahal adalah politik yang menolak emansipasi sosial karena takut akan runtuhnya tatanan feodal.

Model ini masih bertahan dalam politik kontemporer yang menolak redistribusi keadilan sosial. Dalam banyak studi politik, oligarki terbukti enggan memberi ruang pada gerakan sosial yang menuntut perubahan (Winters, 2011). Mereka akan lebih memilih membungkam suara-suara reformis ketimbang membuka ruang deliberatif yang sejati.

Antitesis dari Politik Kenabian

Politik Abu Jahal adalah antitesis dari politik kenabian. Politik kenabian berbasis pada kebenaran, keadilan, dan pembebasan manusia dari penindasan. Politik ini bersifat transformatif, egaliter, dan inklusif. Sementara politik Abu Jahal adalah politik eksklusif, elitis, dan represif.

Nasr (2018) menyebut bahwa Islam datang bukan sekadar untuk mengubah ritual, tetapi juga untuk mendobrak struktur ketidakadilan. Maka dari itu, musuh terbesar Nabi bukanlah rakyat kecil, tetapi elite politik dan ekonomi yang merasa terancam eksistensinya.

Ketika politik kenabian dijalankan, maka ukuran keberhasilan bukan lagi seberapa besar kekuasaan ditumpuk, tetapi seberapa banyak keadilan disebar.

Kepalsuan yang Diinstitusikan

Abu Jahal juga mewariskan model kepemimpinan yang penuh kepalsuan. Ia memanipulasi fakta, menyuap opini publik, dan membentuk aliansi berbasis rasa takut, bukan kepercayaan. Inilah yang oleh Arendt (2021) disebut sebagai “institusionalisasi kebohongan” dalam politik totaliter.

Kebohongan yang disebar secara sistematis akan melumpuhkan nalar publik dan menggantikan akal sehat dengan paranoia. Dalam iklim semacam itu, kejujuran menjadi musuh negara, dan ketulusan dianggap ancaman. Maka, jika politik hari ini mulai membenci kaum jujur, itu tandanya virus Abu Jahal telah menjangkiti tubuh demokrasi.

Membangun Politik yang Membebaskan

Melawan politik Abu Jahal tidak cukup dengan slogan. Ia harus dilawan dengan pencerahan publik, penguatan nalar kritis, dan peneguhan etika dalam praktik politik. Politik yang membebaskan harus dibangun dengan akuntabilitas, partisipasi sejati, dan transparansi.

Habermas (2023) menyebutkan bahwa ruang publik rasional adalah fondasi demokrasi sejati. Tanpa ruang diskusi yang sehat, politik akan direduksi menjadi kompetisi manipulasi. Ruang inilah yang harus terus diperjuangkan oleh intelektual, jurnalis, akademisi, dan warga negara.

Kita membutuhkan politik yang menyuarakan yang lemah, bukan yang menguatkan yang sudah kuat. Politik yang melayani kebenaran, bukan membungkamnya. Dan politik yang menghadirkan harapan, bukan ketakutan.

Penutup: Mewaspadai Reinkarnasi Abu Jahal

Abu Jahal mungkin telah tiada, tetapi warisan politiknya terus mencari tubuh baru: dalam bentuk kekuasaan represif, narasi manipulatif, dan elitisme yang mematikan aspirasi rakyat. Tugas utama kita adalah memastikan bahwa demokrasi tidak dijalankan oleh pewaris Abu Jahal.

Politik harus kembali ke akarnya: sebagai sarana mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune), bukan ladang mempertahankan kekuasaan yang menindas. Karena dalam sejarah, yang selalu menang bukanlah mereka yang kuat, tetapi mereka yang berdiri di pihak kebenaran.


Referensi

  • Alatas, S. H. (2022). Corruption and the Destiny of Asia. Jakarta: LP3ES.
  • Arendt, H. (2021). The Origins of Totalitarianism. New York: Penguin Classics.
  • Bourdieu, P. (2021). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.
  • Diamond, L. (2020). Ill Winds: Saving Democracy from Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency. New York: Penguin.
  • Foucault, M. (2020). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. London: Vintage.
  • Habermas, J. (2023). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge: MIT Press.
  • Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. New York: Crown Publishing.
  • Mudde, C., & Kaltwasser, C. R. (2019). Populism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.
  • Nasr, S. H. (2018). Islam and the Plight of Modern Man. Chicago: ABC International Group.
  • Noor, F. A. (2020). What Your Teacher Didn’t Tell You. Kuala Lumpur: Matahari Books.
  • Rahman, F. (2022). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Jakarta: Mizan.
  • Said, E. W. (2021). Representations of the Intellectual. New York: Vintage.
  • Sardar, Z. (2021). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. London: Oxford University Press.
  • Winters, J. A. (2011). Oligarchy. New York: Cambridge University Press.
  • Zubaida, S. (2023). Islam, the People and the State: Political Ideas and Movements in the Middle East. London: I.B. Tauris.

Exit mobile version