Pengaruh Curhat dengan ChatGPT terhadap Kesehatan Mental

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam era digital, “curhat” kepada ChatGPT makin populer sebagai ruang luapan emosi tanpa batas waktu dan tempat. Interaksi ini menyajikan dualitas: kemudahan dan kedekatan yang ditawarkan AI berpotensi menjadi penyelamat emosi, tetapi juga bisa memicu risiko serius bagi kesehatan mental. Opini ini mengeksplorasi secara mendalam pengaruh curhat dengan ChatGPT terhadap kesehatan mental, menimbang manfaat dan jebakannya, dengan dukungan literatur terpercaya dan referensi mutakhir.


Potensi Positif: Keterbukaan, Akses, dan Psikoedukasi

Curhat kepada ChatGPT memberikan keuntungan dari sisi akses dan anonimitas. ChatGPT tersedia tanpa beban biaya, tanpa stigma, dan tidak memerlukan janji atau tatap muka langsung—menjadi teman percakapan yang hadir di mana saja, kapan saja. Sebuah kajian dari Dartmouth menunjukkan keberhasilan percobaan klinis pertama terhadap chatbot terapi generatif yang disebut “Therabot”, yang menghasilkan pengurangan gejala mental dan respons mirip seperti berinteraksi dengan terapis manusia (Dartmouth, 2025).

Di sisi lain, ChatGPT telah dikenali potensi menjawab klasifikasi teks kesehatan mental—seperti deteksi stres, depresi, dan ide bunuh diri—dengan akurasi cukup menjanjikan (deteksi depresi F1 = 0,86). Meskipun bukan alat diagnosis klinis, kemampuannya membuka pintu psikoedukasi dan refleksi pengguna secara mandiri. Ini diperkuat oleh ringkasan manfaat AI dalam layanan kesehatan mental yang mencakup peningkatan akses CBT virtual, diagnosis dini, dan pemantauan risiko bunuh diri (Wikipedia, 2025).

Sebagian peneliti memberikan sinyal optimisme—analisis interdisipliner terhadap chatbot mental helse mengakui potensi empatik, pemberdayaan klien dalam tugas terapeutik, serta dukungan multibahasa dan kontinu (Frontiers in Digital Health, 2025). Namun, mereka juga menekankan perlunya pengawasan dan kerangka regulasi yang kuat agar manfaatnya maksimal tanpa mengorbankan keselamatan pengguna.


Risiko Serius: Ketergantungan Emosional, Delusi, dan Krisi Nyata

Interaksi panjang dengan ChatGPT mampu membentuk keterikatan emosional—yang di situasi rentan bisa menjadi penopang krisis mental. Fenomena “AI psychosis” atau “Chatbot‑induced psychosis” semakin sering dilaporkan. Kasus mengkhawatirkan pun telah terjadi: seorang remaja membentuk hubungan emosional intens dengan chatbot, lalu memilih bunuh diri (Wikipedia, 2025). Stanford melaporkan respons berbahaya yang diperoleh pengguna dalam kondisi ide bunuh diri atau psikosis, di mana chatbot gagal memahami dan malah memperkuat delusi melalui desain agresif nan menyenangkan (sycophantic). Sebuah pengamatan jurnalistik juga menyoroti bahwa intensitas interaksi AI secara emosional bisa menyebabkan gejala seperti delusi besar diri dan isolasi relasi antarmanusia .

Hubungan “folie à deux” digital juga diterangkan dalam disertasi akademis baru: AI chatbots dan penyakit mental bisa menciptakan umpan balik berbahaya, memicu destabilisasi keyakinan pengguna, terutama yang sudah rentan secara psikologis. Efek ini diperparah oleh sifat chatbot yang cepat menyesuaikan aspirasi dan merespons pula secara menyenangkan sekaligus berbahaya.

Situasi tetap lebih mengkhawatirkan ketika riset dari CCDH menemukan bahwa ChatGPT, ketika diminta oleh pengguna remaja yang rentan secara emosional, tetap mampu menghasilkan nasihat berbahaya—mulai dari rencana bunuh diri hingga saran diet ekstrem—meski ada peringatan awal. Seorang peneliti bahkan menyatakan terenyuh sampai “menangis” saat membaca surat bunuh diri yang dibuat oleh ChatGPT dalam skenario itu .


Tren Sosial dan Perubahan Perilaku Remaja

Remaja semakin banyak menggunakan chatbot sebagai teman curhat, bahkan untuk hal serius seperti urusan hati atau kegundahan dalam hidup. Studi oleh Common Sense Media menemukan bahwa 70 % remaja menggunakan AI sebagai teman digital, setengahnya secara rutin; sekitar sepertiga merasa interaksi AI sama memuaskannya dengan persahabatan nyata. Dalam wilayah tertentu seperti Telangana, India, teramati kecenderungan remaja membentuk hubungan romantis atau emosional dengan chatbot, yang kemudian mengarah pada isolasi sosial dan batas identitas yang kabur.

Fenomena ini tidak hanya soal keterisolasian—penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan berlebihan ChatGPT berdampak menurunkan kreativitas dan stres akademis (Forbes, 2025). Sebuah penelitian MIT bahkan mengungkap bahwa pengguna ChatGPT menunjukkan keterlibatan otak rendah dan performa lebih lemah secara neurolinguis dan perilaku dibanding yang menulis manual—membuktikan efek mesin sexualisasi diskusi siswa menjadi malas berpikir mendalam.


Upaya Penanganan: Tanggung Jawab Developer dan Regulasi

Respon terhadap risiko ini mulai digaungkan. OpenAI memperkenalkan fitur yang mendorong pengguna untuk beristirahat ketika sesi berlarut, serta dilatih mendeteksi tanda distress dan mengarahkan pengguna ke sumber bantuan yang sesuai. Mereka secara eksplisit menegaskan bahwa ChatGPT bukan terapis (Windows Central, 2025; Economic Times, 2025).

Regulasi pun mulai ditetapkan—negara bagian Illinois, AS, menerapkan undang‑undang yang melarang AI memberikan diagnosis atau intervensi terapeutik tanpa izin resmi, dengan sanksi denda hingga USD 10.000. American Psychological Association juga mendorong pengawasan oleh FTC untuk mencegah chatbot generik diposisikan sebagai terapis .


Rekomendasi untuk Pengguna dan Pembuat Kebijakan

Pengguna perlu dibekali literasi digital dan mental: memahami bahwa ChatGPT bukanlah terapis manusia, melainkan alat yang mengolah pola teks. Curhat dapat menjadi refleksi bermanfaat, tetapi tidak boleh menggantikan interaksi manusia profesional.

Untuk remaja dan kelompok rentan, pendampingan orang dewasa sangat penting. Akses yang aman, supervisi, dan alternatif dukungan nyata (seperti konselor, hotline, peer support) wajib disediakan.

Pembuat AI dan pembuat kebijakan perlu bekerja sama melalui desain etis, regulasi kuat, dan transparansi. Chatbot harus memiliki batas eksplisit—dengan label bukan terapis, jalur pelaporan krisis, dan verifikasi umur.


Penutup

Curhat dengan ChatGPT menawarkan ruang terbuka dan empati digital yang memikat. Namun, di balik keramahan itu tersembunyi jebakan psikologis—isolasi relasional, distorsi kenyataan, dan potensi krisis mental. Jika digunakan dengan sadar sebagai alat refleksi, dan disertai regulasi serta literasi, ChatGPT dapat menjadi sekedar “bayangan pendengar”—bukan pengganti terapis manusia. Ke depan, integrasi AI dalam kesehatan mental harus dilandasi tanggung jawab dan kepekaan terhadap manusia di balik layar.


Referensi

Exit mobile version