Jadi Doktor untuk Mengabdi, Bukan untuk Balik Modal Kuliah

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam jagat akademik, gelar doktor semestinya menjadi titik kulminasi dari perjalanan intelektual, bukti pengabdian terhadap ilmu pengetahuan, dan simbol dedikasi terhadap kepentingan publik. Namun hari ini, makna luhur itu semakin buram. Gelar doktor sering kali tidak lagi diburu demi pengetahuan, melainkan dijadikan investasi yang harus segera “balik modal”. Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah kita masih memandang pendidikan tinggi sebagai panggilan pengabdian, atau telah berubah menjadi sarana spekulasi sosial-ekonomi?

Kondisi ini diperparah oleh sistem akademik yang seringkali permisif terhadap pragmatisme akademik. Kualitas pendidikan yang tidak merata, biaya pendidikan tinggi yang mahal, serta lemahnya pengawasan terhadap standar akademik menjadi faktor yang melanggengkan degradasi nilai tersebut (Farid, 2023).

Pendidikan Tinggi dalam Pusaran Komodifikasi

Ketika gelar akademik menjadi komoditas, pendidikan tinggi kehilangan marwahnya sebagai ruang pembebasan dan pencerahan. Banyak program doktoral yang ditawarkan dengan pendekatan transaksional, bukan transformasional. Mahasiswa S3 tidak lagi didorong untuk menjadi peneliti yang tangguh, tetapi diposisikan sebagai klien yang membeli jasa akademik. Hal ini tidak hanya terjadi di institusi swasta, melainkan juga menyusup ke dalam institusi negeri yang memiliki reputasi.

Menurut Haryatmoko (2019), komodifikasi pendidikan terjadi ketika logika pasar mendominasi institusi pendidikan. Dalam konteks ini, dosen dipaksa mengejar target kinerja administratif, sementara mahasiswa dipacu untuk menyelesaikan studi secepat mungkin demi kepentingan karier. Alhasil, kedalaman ilmu dikorbankan demi kecepatan dan efisiensi yang semu.

Gelar Tinggi, Moralitas Rendah

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi benteng moral bangsa. Sayangnya, data menunjukkan bahwa gelar akademik tidak selalu sejalan dengan integritas. Universitas Gadjah Mada mencatat bahwa sebagian besar pelaku korupsi berlatar pendidikan tinggi, termasuk lulusan S3 (UGM, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan belum berhasil menginternalisasikan nilai-nilai etika kepada para peserta didik.

KPK juga menegaskan bahwa area pendidikan tinggi merupakan salah satu titik rawan korupsi. Penelitian, publikasi, dan pengabdian masyarakat menjadi tiga area yang rawan disalahgunakan (KPK, 2024). Ketika akademisi terlibat dalam praktik manipulasi data, jual beli nilai, dan plagiat, maka rusaklah kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.

Korupsi Akademik, Ancaman Masa Depan Bangsa

Korupsi di dunia pendidikan merupakan bentuk ironi terbesar di negeri ini. Di saat perguruan tinggi seharusnya mencetak generasi jujur dan tangguh, justru menjadi ladang subur praktik tidak etis. Indonesia Corruption Watch (2023) mencatat bahwa modus korupsi di kampus meliputi penyalahgunaan dana riset, suap penerimaan mahasiswa baru, hingga jual beli ijazah.

Fenomena ini tidak hanya merusak reputasi akademik, tetapi juga mengikis fondasi pembangunan bangsa. Jika generasi penerus bangsa dididik dalam sistem yang korup, maka masa depan bangsa menjadi taruhan. Seperti dikemukakan Tilaar (2018), pendidikan adalah investasi jangka panjang yang dampaknya melampaui satu generasi. Maka, kerusakan di sektor pendidikan akan menciptakan kerusakan struktural di masa depan.

Menanam Etos Pengabdian, Bukan Balik Modal

Program doktoral idealnya membentuk insan akademik yang beretos pengabdian tinggi. Prosesnya yang panjang dan kompleks seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter. Namun jika orientasinya adalah pengembalian modal, maka yang terjadi adalah pembenaran terhadap segala cara untuk mempercepat lulus: membeli publikasi, menyewa ghostwriter, bahkan menjiplak karya orang lain.

Muhaimin (2022) menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus kembali pada nilai dasarnya: mencetak manusia beradab. Oleh karena itu, perlu upaya sistematis untuk mengubah paradigma mahasiswa S3 agar melihat gelar bukan sebagai alat promosi jabatan, melainkan sebagai tanggung jawab sosial. Etika dan integritas harus ditanamkan sejak awal melalui bimbingan yang kuat dan lingkungan akademik yang sehat.

Membentuk Budaya Ilmu yang Berintegritas

Reformasi akademik harus dimulai dari pembentukan budaya ilmiah yang sehat. Kampus tidak cukup hanya memiliki kode etik, tetapi harus mampu menciptakan atmosfer yang mendorong kejujuran dan transparansi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat mekanisme pengawasan internal, sistem audit akademik, serta pelibatan publik dalam proses akreditasi dan pengawasan.

Budianta (2021) menyebutkan bahwa budaya ilmiah hanya bisa tumbuh jika kampus menjadi ruang dialog yang terbuka dan partisipatif. Dosen dan mahasiswa harus dilatih untuk berpikir kritis, mempertanyakan otoritas, dan menjunjung tinggi proses ilmiah. Tanpa hal itu, gelar akademik hanya akan menjadi hiasan kosong yang tidak berdampak apa pun pada perubahan sosial.

Doktor sebagai Agen Perubahan

Dalam konteks krisis integritas yang menggerogoti dunia pendidikan, doktor harus tampil sebagai agen perubahan. Ia tidak hanya dituntut untuk produktif dalam publikasi ilmiah, tetapi juga hadir di tengah masyarakat sebagai penyebar nilai, pendidik moral, dan penggerak sosial. Doktor sejati adalah mereka yang menjadikan ilmunya sebagai alat emansipasi, bukan alat eksklusivitas.

Rahman (2023) mengingatkan bahwa peran intelektual tidak cukup diukur dari jumlah publikasi, tetapi dari keberpihakan terhadap rakyat. Ketika doktor turun ke masyarakat, mendengar keluh kesah rakyat kecil, dan membantu menyelesaikan masalah sosial, maka di sanalah pengabdian sejati menemukan bentuknya.

Oleh karena itu, menjadi doktor seharusnya bukan akhir dari perjalanan akademik, melainkan awal dari tanggung jawab besar. Bukan untuk balik modal, melainkan untuk mengembalikan marwah ilmu dan menyebarkannya demi kemaslahatan umat.

Referensi

  • Budianta, M. (2021). Etika Akademik dan Masa Depan Pendidikan. Jakarta: Obor Indonesia.
  • Farid, H. (2023). Menjadi Akademisi yang Jujur: Etika dan Profesionalisme dalam Pendidikan Tinggi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Haryatmoko. (2019). Etika Publik: Untuk Sebuah Masyarakat Indonesia yang Etis dan Beradab. Yogyakarta: Kanisius.
  • ICW. (2023). Pola-pola Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
  • KPK. (2024). Risiko Korupsi di Sektor Pendidikan Tinggi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi RI.
  • Kompas. (2022, Agustus 30). Krisis Etika Ilmiah dan Benih Korupsi di Perguruan Tinggi. Kompas.id. https://www.kompas.id
  • Muhaimin, A. G. (2022). Pendidikan Tinggi dan Transformasi Sosial. Bandung: Mizan Media Utama.
  • Rahman, M. T. (2023). Ilmu, Moralitas, dan Perubahan Sosial. Makassar: Universitas Hasanuddin Press.
  • Tilaar, H. A. R. (2018). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
  • UGM. (2017). Pelaku Korupsi Didominasi Lulusan Pendidikan Tinggi. ugm.ac.id. https://ugm.ac.id/id/berita/14946-pelaku-korupsi-didominasi-lulusan-pendidikan-tinggi
  • Nurcholish, M. (2020). Membangun Integritas Akademik di Era Digital. Surabaya: Airlangga University Press.
  • OECD. (2022). Integrity and Corruption in Education. Paris: OECD Publishing.
  • Siregar, M. F. (2021). Doktor dalam Politik: Ilmu atau Kekuasaan?. Medan: Pustaka Sumatera.
  • Syahrizal, A. (2022). Moralitas Akademik dan Dunia Kampus. Padang: Andalas University Press.
  • Moleong, L. J. (2021). Metodologi Penelitian Kualitatif (ed. revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Exit mobile version