Fazlur Rahman dan Teori Double Movement

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam pergulatan umat Islam menghadapi modernitas, nama Fazlur Rahman (1919–1988) seringkali muncul sebagai titik rujukan wajib: seorang pemikir yang mencoba menjembatani tradisi tekstual Islam dengan tantangan realitas kontemporer tanpa meninggalkan sumber-sumber utama agama (Rahman, 1982). Salah satu kontribusi metodologisnya yang paling berpengaruh adalah apa yang kerap disebut double movement hermeneutis — sebuah prosedur bacaan Al-Qur’an yang berusaha bergerak dua arah: dari realitas kontemporer ke konteks historis-wahyu, dan dari pemahaman historis teks kembali ke konstruksi hukum atau etika yang relevan bagi zaman kini (Rahman, 1980; Yusuf, Nahdhiyah, & Sadat, 2021). Pendekatan ini, bila dibaca cermat, bukan sekadar trik metodis: ia memuat klaim epistemologis dan politik tentang bagaimana tradisi harus menanggapi perubahan sosial (Moosa, 2024).

Salah satu contoh konkret yang sering disorot adalah wacana kesetaraan gender dalam hukum keluarga Islam. Rahman menilai bahwa ayat-ayat tentang warisan, poligami, atau kesaksian perempuan harus dipahami dalam kerangka moral dan sosial masyarakat Arab abad ke-7, lalu diterjemahkan kembali ke prinsip keadilan dan kemaslahatan yang relevan dengan dunia kontemporer (Osman, 2023). Misalnya, aturan pembagian warisan 2:1 antara laki-laki dan perempuan pada masa Nabi didasari beban nafkah yang kala itu hanya dipikul laki-laki. Dalam konteks modern, ketika perempuan juga menjadi pencari nafkah, proporsi tersebut dapat ditinjau ulang selama tidak menyalahi maqāṣid al-syarī‘ah (Yusuf et al., 2021).

Inti double movement Rahman dapat diringkas sederhana namun radikal: untuk menelusuri makna normatif nash, penafsir harus pertama-tama menempatkan nash dalam konteks historis-asalnya—mengidentifikasi tujuan moral dan sosial yang melatarbelakangi teks—lalu melakukan gerakan kebalikan: merumuskan prinsip-prinsip umum yang diambil dari konteks sejarah itu dan menerapkannya pada situasi kontemporer yang berbeda (Rahman, 1980; Hewer, 2009). Dengan kata lain, tafsir tidak berhenti pada rekonstruksi sejarah; ia harus beranjak ke ijtihad yang dibatasi oleh prinsip-prinsip yang sahih dari teks. Pendekatan inilah yang bagi Rahman menjauhkan interpretasi dari literalitas mekanis sekaligus mencegah relativisme hermeneutik yang tak berbatas (Moosa, 2000).

Membaca ulang terminologi — dan tidak mengelak dari resonansinya dengan teori sosial Barat — menarik bila kita bandingkan dengan gagasan double movement Karl Polanyi. Polanyi (1944, 2001), dalam kajiannya tentang lahirnya masyarakat pasar modern, menggambarkan tarik-ulur antara pasar yang menggeser segala sesuatu menjadi komoditas dan reaksi sosial yang menuntut proteksi terhadap manusia dan alam (the double movement antara liberalisasi pasar dan upaya re-embed masyarakat). Walau konteksnya berbeda—satu ekonomi-politik, satu hermeneutik—kedua konsep berbagi struktur dialektis: ada gerak ekspansif (eksternalisasi/tekstualisasi literal) dan gerak korektif (re-integrasi nilai dan proteksi sosial atau moral) (Silver & Arrighi, 2003; Ebrahimi, 2017).

Relevansi perbandingan ini tampak jelas dalam isu ekonomi syariah modern. Ketika sistem perbankan syariah dihadapkan pada tekanan globalisasi keuangan yang cenderung mengkomodifikasi segala sesuatu, double movement ala Rahman mengingatkan agar inovasi produk keuangan tetap diikat oleh tujuan moral Islam, bukan sekadar adaptasi pasar (Rahman, n.d.; Cambridge University Press, 2009). Sama halnya, Polanyi melihat bahwa proteksi sosial terhadap eksploitasi ekonomi harus dilakukan melalui penataan ulang institusi, bukan reaksi spontan tanpa arah.

Mengapa perbandingan itu penting? Karena seringkali debat tentang “relevansi” Islam modern disederhanakan menjadi bipolar: modernis versus tradisionalis; progresif versus konservatif. Rahman menolak dikotomi semacam itu dengan argumentasi metodologis: tafsir yang otentik mesti mengakui dimensi sejarah teks sekaligus menunaikan fungsi normatifnya hari ini (Rahman, 1982; UIN Antasari, 2022). Double movement Rahman, dengan demikian, adalah tawaran prosedural untuk menjinakkan kebuntuan: ia memberi tolok ukur bagi ijtihad yang bertanggung jawab — yaitu, menguji apakah pembaruan benar-benar menunaikan tujuan-tujuan moral hukum Islam (maqāṣid) dan bukan sekadar adaptasi pragmatis yang mengingkari roh teks.

Namun beberapa kritik penting perlu dicatat. Pertama, praktik double movement bergantung pada kemampuan penafsir menegakkan batas antara “prinsip umum” dan “konteks khusus”; garis ini tidak selalu jelas dan rawan manipulasi politik (Osman, 2023). Kedua, Rahman menaruh kepercayaan besar pada nalar kritis modern sebagai alat untuk mengekstrak prinsip-prinsip dari konteks sejarah; bagi sebagian kalangan, hal ini berpotensi menempatkan otoritas penafsiran terlalu pada elit intelektual yang “memiliki” bahasa modernitas (Moosa, 2024). Ketiga, terdapat tantangan institusional: implementasi metodologi Rahman memerlukan lembaga pendidikan dan mekanisme ijtihad yang inklusif agar hasilnya tidak menjadi wacana akademis yang jauh dari umat (Yusuf et al., 2021). Kritik-kritik ini sayangnya kerap dipandang sebagai alasan untuk menolak, bukan memperkuat, metode Rahman.

Dari perspektif praktik sosial-politik, double movement Rahman juga relevan untuk memahami fenomena kebijakan publik yang menyentuh kehidupan Muslim — misalnya hukum keluarga, etika ekonomi, hingga pendidikan — yang membutuhkan kerangka membaca teks sakral tanpa mengabaikan kompleksitas struktural modern seperti urbanisasi, feminisasi angkatan kerja, dan globalisasi ekonomi (Rahman, 1980; Yusuf et al., 2021). Di sini resonansi dengan Polanyi menjadi semakin nyata: ketika logika pasar atau sekular-birokratik mencoba “mengasingkan” praktik agama dari ranah publik, respons-protektif haruslah berupa pembacaan ulang tradisi yang sahih, bukan retradisionalisasi dogmatis (Polanyi, 2001; Silver & Arrighi, 2003).

Di ranah akademik dan institusional, warisan Rahman menuntut beberapa langkah praktis. Pertama, kurikulum pendidikan agama harus memasukkan metodologi sejarah-kritik dan latihan ijtihad berbasis maqāṣid agar generasi baru ulama dan intelektual dapat melakukan double movement secara konsisten (UIN Antasari, 2022). Kedua, perlu ada forum-forum ijtihad yang melibatkan multi-disiplin — ahli teks, sosiolog, ekonom, dan praktisi hukum — sehingga keluarannya tidak sekadar hermeneutika sempit (Moosa, 2020). Ketiga, mekanisme translasi hasil ijtihad ke kebijakan publik harus transparan agar legitimasi sosial dapat tumbuh (Osman, 2023). Tanpa langkah-langkah ini, metode Rahman berisiko tetap menjadi diskursus akademik yang elitis.

Menutup tulisan ini, pantas diingat bahwa Rahman bukan menawarkan formula final, melainkan metode dialogis. Double movement Rahman adalah undangan untuk memperlakukan teks suci sebagai sumber hidup — yang menuntut pembacaan historis namun juga berdaya untuk memberi pedoman moral pada zaman yang berubah cepat (Rahman, 1982; Moosa, 2024). Bila umat dan institusi agama mampu menempatkan prosedur ini dalam praktik, tradisi Islam berpotensi tampil bukan sebagai penghalang modernitas, melainkan partner kritis yang menjaga martabat manusia di tengah tekanan pasar, negara, dan teknologi. Perbandingan dengan Polanyi (1944, 2001) mengingatkan bahwa setiap upaya “menghaluskan” relasi sosial-ekonomi atau budaya dengan logika pasar akan menimbulkan reaksi protektif. Dalam ranah agama, reaksi itu haruslah intelektual dan normatif — bukan reaktif dan destruktif. Double movement Rahman memberi peta prosedural untuk menempuh jalan tersebut.


Referensi


Exit mobile version