Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Di balik gegap gempita pembangunan infrastruktur dan geliat proyek strategis nasional, terbentang lanskap yang sunyi: bangunan mangkrak. Ia berdiri bisu, menjulang dengan tiang pancang yang patah, dinding retak, dan rerumputan liar yang mengambil alih sisa-sisa ambisi. Dari gedung pemerintah, jembatan, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, hingga pusat kebudayaan dan olahraga, mangkraknya proyek-proyek ini adalah simfoni kegagalan yang menyayat logika tata kelola pembangunan.
Fenomena proyek mangkrak bukanlah hal baru dalam peta pembangunan Indonesia. Namun ironisnya, alih-alih berkurang, ia justru mengalami pelipatgandaan. Menurut laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2022-2024, tercatat lebih dari 1.400 proyek pembangunan di berbagai daerah tidak selesai tepat waktu, bahkan sebagian besar berhenti total (ICW, 2024). Proyek-proyek ini menyedot anggaran triliunan rupiah, namun tak kunjung memberi manfaat bagi rakyat.
Dimana Salahnya?
Permasalahan proyek mangkrak biasanya bermula dari perencanaan yang tergesa dan tidak berbasis kebutuhan riil masyarakat. Perencanaan yang hanya bersandar pada keinginan elit, bukan kebutuhan lapangan, kerap berujung pada ketidaksesuaian lokasi, spesifikasi, hingga urgensitas proyek (Widianingsih, 2023). Sebuah studi dari Lembaga Administrasi Negara menyebutkan bahwa 72 persen proyek yang mangkrak memiliki cacat dari tahap perencanaan awal (LAN, 2023).
Selain itu, tata kelola pengadaan barang dan jasa yang rentan terhadap intervensi politik dan permainan rente memperparah situasi. Tender proyek seringkali diberikan kepada kontraktor yang tidak kompeten, tetapi memiliki kedekatan dengan penguasa lokal. Hasilnya, proyek dibangun setengah hati, kualitas rendah, lalu berhenti karena kehabisan dana atau menunggu kasus hukum yang tak kunjung selesai (Setiawan, 2023).
Mangkrak dan Korupsi
Korelasi antara proyek mangkrak dan praktik korupsi sangat nyata. Dalam banyak kasus, proyek berhenti karena dana dikorupsi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan dan pelaksanaan (Sitorus, 2024). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa dari 91 kasus korupsi yang ditangani sepanjang 2023, sekitar 60 persen melibatkan proyek infrastruktur publik (KPK, 2024).
Lebih ironis lagi, beberapa proyek dibangun tanpa studi kelayakan yang memadai, hanya demi pencitraan atau memanfaatkan momentum politik tertentu (Purwanto, 2024). Ini membuat proyek menjadi tidak berkelanjutan, tidak layak guna, dan akhirnya ditinggalkan begitu saja, menambah jejak sejarah kegagalan yang tak pernah dituntaskan.
Beban Sosial dan Ekologis
Bangunan yang mangkrak bukan hanya beban fiskal, tetapi juga beban sosial dan ekologis. Di banyak daerah, gedung-gedung kosong yang terbengkalai menjadi sarang kriminalitas, prostitusi, hingga tempat konsumsi narkoba (Yuliana, 2023). Di sisi lain, proyek mangkrak yang berwujud tambang, bendungan, atau reklamasi menyebabkan kerusakan lingkungan yang tak mudah dipulihkan (Walhi, 2024).
Contohnya, pembangunan waduk yang berhenti di tengah jalan menyebabkan pendangkalan sungai, hilangnya kawasan resapan air, dan konflik agraria dengan masyarakat sekitar. Padahal proyek semacam itu menggunakan lahan yang luas dan menggusur banyak keluarga. Ketika proyek itu tidak selesai, maka masyarakat kehilangan hak atas ruang hidup tanpa mendapatkan kompensasi manfaat apapun (Nugroho, 2023).
Paradoks Pembangunan
Di satu sisi, pemerintah gencar membangun infrastruktur demi pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, tidak sedikit infrastruktur yang gagal terselesaikan, bahkan tidak pernah digunakan. Ini menimbulkan paradoks pembangunan: membangun demi angka, bukan demi fungsi (Prawira, 2023). Kita mengejar target kilometer jalan, jumlah bendungan, atau volume beton, tetapi lupa mengevaluasi apakah infrastruktur itu benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat.
Faktor keterbatasan fiskal juga mempengaruhi kelanjutan proyek. Banyak proyek dimulai dengan anggaran tahun jamak (multi-year budget), namun kemudian mengalami pemangkasan atau redireksi karena defisit APBD/APBN, inflasi bahan bangunan, atau perubahan prioritas kebijakan (Haryanto, 2024). Ketika dana tidak mencukupi, proyek ditinggalkan tanpa kejelasan penyelesaian.
Peta Mangkrak Nasional
Data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa per 2024 terdapat lebih dari 3.200 proyek mangkrak di seluruh Indonesia, tersebar di 34 provinsi. Dari jumlah tersebut, 45 persen merupakan proyek pendidikan dan kesehatan, 30 persen infrastruktur transportasi, dan sisanya proyek strategis lainnya (BPKP, 2024). Anggaran yang terserap diperkirakan mencapai Rp129 triliun.
Contoh paling mencolok adalah puluhan rumah sakit regional yang dibangun sejak 2019 namun hingga kini tidak beroperasi karena terkendala izin, kekurangan tenaga medis, atau infrastruktur penunjang yang belum selesai. Di lain tempat, gedung sekolah tiga lantai mangkrak karena tak ada murid yang mendaftar, akibat letaknya yang jauh dari permukiman (Tanjung, 2023).
Penyelesaian yang Setengah Hati
Upaya penyelesaian proyek mangkrak seringkali lamban dan birokratis. Satu proyek bisa melalui lima hingga tujuh kali audit tanpa ada tindak lanjut konkret. Bahkan, beberapa pemerintah daerah lebih memilih membiarkan proyek rusak dimakan waktu ketimbang mengalokasikan anggaran baru untuk menyelesaikannya karena takut tersangkut masalah hukum (Susanto, 2023).
Sementara itu, tidak ada mekanisme nasional yang mengkonsolidasikan data proyek mangkrak secara real time dan terintegrasi. Masing-masing kementerian atau daerah memiliki basis data yang berbeda-beda, tanpa sinergi lintas sektoral (Rachman, 2024). Ini menyebabkan kesulitan dalam proses evaluasi dan pembenahan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, perlu ada moratorium terhadap proyek-proyek baru yang tidak didasarkan pada studi kebutuhan dan keberlanjutan. Jangan ada lagi pembangunan hanya demi anggaran atau prestise politik. Semua proyek harus memiliki impact assessment yang terukur terhadap sosial, ekonomi, dan lingkungan (Amaliah, 2024).
Kedua, perlunya audit nasional proyek mangkrak oleh lembaga independen yang fokus pada penyelesaian, bukan sekadar penindakan. Mekanisme asset recovery harus dioptimalkan agar proyek yang terbengkalai bisa diubah fungsinya, dialihkan kepada pihak swasta, atau bahkan dibongkar untuk pemanfaatan lahan baru yang lebih produktif (Hermawan, 2024).
Ketiga, transparansi data dan partisipasi masyarakat wajib ditingkatkan. Selama ini proyek-proyek besar dijalankan tanpa ruang kritik dari warga. Padahal keterlibatan publik penting untuk mencegah deviasi sejak dini (Rizky, 2023). Model citizen report card yang diterapkan di beberapa negara berkembang bisa menjadi inspirasi, di mana masyarakat langsung menilai proyek pembangunan di daerah mereka.
Pembangunan Tanpa Jiwa
Pembangunan seharusnya menjadi jalan menuju keadilan sosial. Namun proyek mangkrak adalah wajah suram dari pembangunan yang kehilangan jiwa. Ia mengingatkan kita bahwa pembangunan bukan soal beton, melainkan soal kemanusiaan. Di balik dinding retak dan tiang patah, ada harapan yang terhenti, anggaran yang terbuang, dan kepercayaan publik yang tergerus (Wibowo, 2023).
Sudah waktunya negara dan para pemangku kepentingan menghentikan praktik pembangunan serampangan. Jika tidak, kita akan terus diwarisi bangunan-bangunan mati, simbol kebanggaan yang berubah menjadi luka kolektif. Sebab pembangunan yang baik bukan soal berapa banyak yang dibangun, tapi berapa banyak yang selesai dan memberi manfaat.
Referensi
- Amaliah, R. (2024). Evaluasi Dampak Sosial dalam Proyek Infrastruktur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- BPKP. (2024). Laporan Tahunan Pengawasan Proyek Nasional. Jakarta: BPKP.
- Haryanto, T. (2024). Fiskal dan Politik Anggaran Daerah. Bandung: Refika Aditama.
- Hermawan, A. (2024). Aset Negara dan Proyek Terbengkalai. Malang: UB Press.
- ICW. (2024). Tren Korupsi Infrastruktur di Indonesia. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
- KPK. (2024). Laporan Kinerja 2023. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
- LAN. (2023). Kajian Perencanaan Proyek Nasional. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
- Nugroho, B. (2023). Lingkungan dan Konflik Pembangunan. Surabaya: Airlangga University Press.
- Prawira, F. (2023). Mitos Pertumbuhan dan Realitas Infrastruktur. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
- Purwanto, D. (2024). Pembangunan Populis: Retorika dan Realita. Jakarta: LP3ES.
- Rachman, Y. (2024). Data Integrasi dan Reformasi Birokrasi. Jakarta: CSIS.
- Rizky, M. A. (2023). Keterlibatan Warga dalam Pembangunan Daerah. Bandung: Humaniora Press.
- Setiawan, G. (2023). Kontraktor, Tender, dan Masalah Teknis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Sitorus, D. (2024). Korupsi Proyek Infrastruktur: Pola dan Skema. Medan: Pustaka Serambi.
- Susanto, A. (2023). Birokrasi dan Penyelesaian Proyek Mangkrak. Jakarta: LIPI Press.
- Tanjung, L. (2023). Pendidikan dan Infrastruktur Gagal Guna. Padang: Andalas University Press.
- Walhi. (2024). Laporan Lingkungan Hidup 2023. Jakarta: WALHI Nasional.
- Wibowo, N. (2023). Pembangunan Berkeadilan: Antara Wacana dan Praktik. Jakarta: Obor Indonesia.
- Widianingsih, I. (2023). Paradoks Tata Kelola Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Yuliana, E. (2023). Dampak Sosial Proyek Terbengkalai. Semarang: Universitas Diponegoro Press.