Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Dalam lanskap kebudayaan populer Indonesia, istilah “buaya” sering digunakan sebagai metafora yang menyimpan ironi. Pada satu sisi ada “buaya darat”—sebutan bagi pria yang gemar mempermainkan cinta dan menjelma menjadi simbol pengkhianatan dalam relasi personal. Di sisi lain, muncul istilah “buaya anggaran”—penggambaran bagi mereka yang memanipulasi dana publik demi keuntungan pribadi. Kedua figur ini berbeda habitat, namun memiliki kesamaan dalam hal watak: licik, manipulatif, dan predatoris. Bedanya, kerusakan yang ditimbulkan buaya darat berskala pribadi, sedangkan buaya anggaran membawa bencana kolektif.
Relasi dan Representasi
“Buaya darat” muncul dari kisah‑kisah percintaan yang retak karena ketidaksetiaan. Tempo (2023) menguraikan bahwa sebutan ini berkembang dari stereotip terhadap laki‑laki yang pandai merayu tetapi tidak bertanggung jawab secara emosional. Di berbagai platform digital, ia menjadi tokoh sentral dalam kisah pengkhianatan, dijadikan lelucon, meme, bahkan budaya populer. Menurut RRI (2024), istilah ini menjadi semacam cermin sosial atas norma relasi yang makin rapuh dan cair.
Sementara itu, “buaya anggaran” lebih sunyi namun jauh lebih mengancam. Ia tidak menampakkan diri dengan janji manis, tetapi dengan proposal, dokumen, dan anggaran yang tampak legal. Pelakunya beroperasi dalam bayang‑bayang struktur birokrasi. Mereka menyisipkan kepentingan pribadi dalam proses penganggaran, memainkan alokasi, dan memanfaatkan celah hukum atau celah dalam pengawasan. Hukumonline (2025) menyebut praktik ini sebagai bentuk korupsi yang sistemik dan berlapis, dengan keterlibatan banyak aktor dan prosedur legal yang dipelintir.
Bahaya yang Beda Wujud
Buaya darat beroperasi dalam ruang-ruang privat. Relasi interpersonal menjadi arena predasi. Kerugiannya cenderung bersifat emosional dan sosial, meski tidak bisa diremehkan. Kepercayaan yang rusak, trauma, dan siklus relasi yang tidak sehat bisa lahir dari tipu daya seorang buaya darat (Detik, 2024). Akan tetapi, lingkup kerusakan itu masih bisa dipulihkan melalui penyadaran personal dan proses pemulihan psikologis.
Berbeda dengan itu, buaya anggaran beroperasi dalam sistem yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Uang publik, yang seharusnya digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial, justru ditilap demi kepentingan pribadi. Ketika dana desa dikorupsi, sekolah tidak dibangun. Ketika anggaran kesehatan digelapkan, pasien miskin tidak mendapatkan layanan. Ketika proyek jalan disunat, rakyat menanggung risiko kecelakaan. Seperti dicatat Kemenkeu (2024), korupsi anggaran menyebabkan efek domino terhadap kualitas pembangunan.
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, buaya anggaran merusak kepercayaan publik terhadap negara. Laporan Indonesia Corruption Watch (2024) menunjukkan bahwa penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia berkorelasi dengan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses legislasi dan eksekutif. Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial; ia adalah kejahatan terhadap martabat publik.
Jejak yang Tak Terhapus
Satu hal yang membedakan buaya anggaran dari buaya darat adalah kompleksitas jejaringnya. Seorang buaya darat biasanya bekerja sendiri, sedangkan buaya anggaran berkolaborasi. Mereka tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk jaringan: antara pejabat, pengusaha, konsultan, hingga auditor. Dalam banyak kasus, seperti yang diungkap Bappenas (2025), penggelembungan anggaran melibatkan aliansi lintas institusi yang sulit dibongkar tanpa keberanian whistleblower dan independensi penegak hukum.
Laporan CNBC Indonesia (2025) mengutip data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang menyebut bahwa selama tahun 2024, terdapat aliran mencurigakan senilai hampir Rp984 triliun terkait indikasi penyelewengan anggaran. Angka tersebut nyaris sepertiga dari total APBN. Ini bukan angka fiktif; ini adalah realitas yang mencerminkan bagaimana buaya anggaran telah berkembang menjadi spesies dominan dalam ekosistem birokrasi.
Berbeda dengan buaya darat yang dapat dikecam secara terbuka dalam ruang publik, buaya anggaran kerap dilindungi. Mereka memiliki kuasa, akses, bahkan narasi yang bisa membelokkan opini publik. Seperti disorot ICW (2025), minimnya transparansi dalam proses perencanaan dan evaluasi anggaran menjadi sumber utama suburnya praktik koruptif.
Publik yang Terhipnotis
Masalah lain muncul ketika masyarakat justru lebih gemar menghakimi perilaku pribadi dibanding perilaku institusional. Skandal percintaan seorang tokoh publik bisa lebih viral dibanding laporan penyalahgunaan anggaran. Media sosial cepat menyambar urusan ranjang, tetapi lambat merespons laporan audit. Fenomena ini menciptakan ironi. Kita cepat marah pada buaya darat, tetapi bungkam terhadap buaya anggaran.
Sosiolog dari Universitas Indonesia (Humplus, 2024) menyebut bahwa hal ini terjadi karena korupsi dianggap sebagai sesuatu yang “jauh” dari kehidupan sehari-hari, meskipun dampaknya sangat dekat. Ketika subsidi dipotong atau pelayanan publik memburuk, masyarakat tidak langsung menghubungkannya dengan buaya anggaran. Padahal, di balik semua kebijakan yang menyakitkan itu, sering ada tangan-tangan rakus yang bekerja dalam diam.
Dari Cinta ke Anggaran: Dua Moralitas yang Tergerus
Baik buaya darat maupun buaya anggaran berakar pada nilai yang sama: kerakusan. Yang satu rakus akan hasrat, yang lain rakus akan kekuasaan dan harta. Keduanya memanipulasi kepercayaan—yang satu dalam relasi personal, yang lain dalam relasi politik dan keuangan publik. Kerusakan yang ditimbulkan buaya darat mungkin bisa disembuhkan lewat introspeksi dan konseling. Tapi kerusakan akibat buaya anggaran butuh reformasi struktural dan gerakan kolektif.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, transparansi menjadi perisai utama melawan buaya anggaran. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan anggaran, seperti melalui mekanisme musrenbang atau partisipasi publik dalam proses legislasi, menjadi penting. Laporan LEIP (2013) menekankan pentingnya partisipasi warga sebagai pengontrol proses anggaran, agar tidak didominasi elit yang memonopoli informasi.
Menjinakkan Buaya Anggaran
Langkah pencegahan tidak bisa hanya bertumpu pada penegakan hukum. Pencegahan harus dimulai dari rekonstruksi etika penganggaran dan sistem yang menjamin akuntabilitas. Peran media sangat besar di sini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI, 2024) menyoroti kurangnya liputan mendalam terhadap korupsi anggaran di tingkat daerah, karena banyak media lokal dikungkung oleh relasi kuasa dan iklan pemerintah.
Selain itu, pelindungan terhadap pelapor (whistleblower) juga krusial. Banyak informasi penting tenggelam karena orang takut berbicara. Padahal, seperti dicontohkan dalam laporan BPK (2024), keberhasilan pengungkapan sejumlah kasus anggaran justru berawal dari laporan masyarakat dan internal lembaga.
Pendidikan antikorupsi juga perlu diperluas. Bukan hanya untuk siswa, tapi juga untuk aparat, jurnalis, dan kelompok masyarakat sipil. Literasi publik mengenai pengelolaan anggaran dan peran pengawasan warga bisa menjadi vaksin terhadap jebakan buaya anggaran. Semakin publik memahami cara kerja anggaran, semakin kecil peluang para predator itu untuk menyamar.
Dari Satire ke Serius
Dalam budaya populer, buaya darat sering dijadikan bahan tertawaan. Meme, candaan, bahkan lagu-lagu dangdut mengabadikan figur ini sebagai simbol kegagalan relasi. Tapi buaya anggaran jarang dijadikan bahan sindiran massal. Mungkin karena terlalu dekat dengan kekuasaan. Padahal, satire bisa menjadi senjata ampuh. Ia menyampaikan pesan dalam bahasa yang merakyat, membangkitkan kesadaran lewat tawa yang getir.
Sudah saatnya kita tidak hanya menertawakan buaya darat, tetapi juga menyindir buaya anggaran dengan keberanian. Jika buaya darat bisa dijinakkan oleh cinta dan kesadaran personal, buaya anggaran hanya bisa dihentikan dengan sistem yang transparan dan masyarakat yang berani bersuara.
Penutup: Tak Cukup Marah, Harus Melawan
Kita boleh geram pada buaya darat yang mempermainkan hati, tetapi kita harus lebih marah pada buaya anggaran yang mempermainkan masa depan bangsa. Kerusakan akibat tipu daya asmara mungkin menyakitkan, tetapi penjarahan anggaran publik merusak keadilan, memperbesar ketimpangan, dan melukai rasa percaya kita terhadap negara.
Kemarahan kita tidak cukup jika hanya bersifat sesaat. Ia harus diarahkan menjadi daya tekan agar sistem berubah. Kita butuh jurnalisme investigasi yang kuat, pengawasan masyarakat yang ketat, dan keberanian hukum yang tak kompromi. Sebab dalam dunia yang dipenuhi buaya, diam bukanlah kebijakan. Diam adalah bentuk persetujuan.
Referensi
- Aliansi Jurnalis Independen. (2024). Laporan Tahunan AJI: Transparansi dan Independensi Media Lokal. Jakarta: AJI Indonesia.
- Badan Pemeriksa Keuangan. (2024). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I. Jakarta: BPK RI.
- Bappenas. (2025). Kebocoran APBN dan Keterlibatan Aktor Lintas Sektor. Jakarta: Bappenas Press.
- CNBC Indonesia. (2025, Juni). Korupsi Ganggu Efektivitas APBN: PPATK Catat Aliran Mencurigakan Rp984 Triliun.
- Detik.com. (2024). Mengapa Pria Tidak Setia Disebut Buaya Darat?
- Hukumonline. (2025). Penggelembungan Anggaran Sebagai Bentuk Korupsi Terstruktur. Jakarta: Hukumonline.com.
- Humplus. (2024). Ketika Masyarakat Lebih Peduli Skandal Asmara Ketimbang Korupsi Anggaran. Jakarta: Humplus.id.
- Indonesia Corruption Watch. (2024). Evaluasi Pemberantasan Korupsi 2019–2024. Jakarta: ICW.
- Indonesia Corruption Watch. (2025). Tren Pelemahan Pengawasan Publik. Jakarta: ICW.
- Kementerian Keuangan. (2024). Modus Laten Penggelapan Anggaran dalam Proyek Daerah. Jakarta: Kemenkeu Press.
- Komisi Pemberantasan Korupsi. (2025). KPK dalam Angka 2024. Jakarta: KPK RI.
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. (2024). Hak atas Informasi Anggaran Publik. Jakarta: ELSAM.
- LEIP. (2013). Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Anggaran Publik. Jakarta: LEIP.
- RRI. (2024). Asal-Usul Istilah “Buaya Darat” dan Konteks Budayanya.
- Tempo.co. (2023). Buaya Darat: Antara Stereotip dan Kritik Sosial. Jakarta: Tempo Media.