Antara Pengangguran dan Rekening “Nganggur”

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam percakapan ekonomi digital yang makin ramai, istilah rekening “nganggur” atau dormant account mendadak menjadi topik publik yang hangat. Rekening jenis ini merujuk pada akun bank yang tidak mengalami aktivitas transaksi selama jangka waktu tertentu. Dalam beberapa pekan terakhir, kebijakan pembekuan rekening tidak aktif dalam waktu tiga bulan memunculkan perdebatan luas di ruang publik. Isu ini mencuat setelah sejumlah nasabah melaporkan bahwa akses ke rekening mereka diblokir secara sepihak, tanpa pemberitahuan yang memadai.

Kebijakan pembekuan ini sejatinya bertujuan menjaga sistem keuangan dari risiko pencucian uang, penyalahgunaan rekening oleh pihak ketiga, serta aktivitas ekonomi ilegal seperti judi daring. Namun, bagi sebagian masyarakat yang menyimpan dana untuk keperluan jangka panjang, tindakan pembekuan ini dianggap berlebihan dan menimbulkan ketidaknyamanan. Banyak di antara mereka yang hanya menggunakan rekening untuk menyimpan dana darurat atau kebutuhan pensiun yang tidak memerlukan aktivitas harian (Ramadhany, 2025).

Antara Ketertiban Finansial dan Kebebasan Nasabah

Secara normatif, rekening dormant bukan hal baru dalam sistem perbankan. Bank memiliki ketentuan internal masing-masing dalam mendefinisikan batas waktu ketidakaktifan. Ada yang menetapkan enam bulan, ada pula yang menetapkan satu tahun. Namun, penerapan masa tiga bulan yang relatif singkat ini menimbulkan pertanyaan tentang urgensi dan kepatutan kebijakan tersebut (Bank Neo Commerce, 2023).

Pembekuan rekening dianggap oleh sebagian pihak sebagai bentuk kontrol yang terlalu jauh ke dalam privasi keuangan warga. Padahal, tidak semua rekening yang pasif berarti mencurigakan. Ada nasabah yang memang menyimpan uangnya sebagai tabungan murni, tanpa berniat menggunakannya dalam waktu dekat. Dalam konteks ini, definisi “nganggur” menjadi multitafsir dan berisiko merugikan nasabah sah.

Di sisi lain, pihak pendukung kebijakan menegaskan bahwa langkah ini bagian dari pembersihan rekening-rekening tidak aktif yang berpotensi digunakan untuk kejahatan keuangan. Dalam sejumlah kasus, rekening dormant memang kerap menjadi pintu masuk pencucian uang karena pengawasan terhadapnya lebih longgar dibandingkan rekening aktif (Yogonet, 2025).

Tabungan dan Pengangguran: Cermin Ekonomi Mikro

Fenomena rekening “nganggur” sebetulnya menarik bila dikaitkan dengan realitas sosial ekonomi masyarakat. Dalam ekonomi mikro, rekening bank adalah salah satu instrumen inklusi keuangan yang mencerminkan kapasitas warga dalam mengakses dan mengelola keuangan. Ketika rekening menjadi tidak aktif dalam skala besar, itu bisa berarti dua hal: rendahnya literasi keuangan atau ketidakmampuan ekonomi untuk menjaga stabilitas transaksi.

Pada saat yang sama, angka pengangguran yang belum menurun secara signifikan mencerminkan bahwa banyak warga tidak memiliki aktivitas ekonomi produktif. Situasi ini membuat mereka kesulitan mempertahankan aktivitas keuangan rutin, termasuk dalam penggunaan rekening bank. Maka, rekening yang tidak aktif bisa menjadi pantulan langsung dari persoalan pengangguran yang belum tertangani secara struktural.

Tidak sedikit dari kalangan penganggur atau pekerja informal yang memiliki rekening bank, tetapi penggunaannya tidak intens karena terbatasnya pemasukan. Dalam kondisi seperti ini, pembekuan rekening bisa menjadi tekanan psikologis tambahan. Alih-alih mendorong inklusi keuangan, kebijakan ini malah menciptakan eksklusi bagi mereka yang seharusnya dibantu agar lebih aktif secara ekonomi (CNBC Indonesia, 2025).

Perspektif Hak Nasabah dan Kepastian Hukum

Perdebatan seputar kebijakan ini juga mencuat karena sebagian besar nasabah merasa tidak mendapat informasi yang cukup sebelum rekening mereka dibekukan. Banyak yang mengaku baru mengetahui kebijakan tersebut setelah akses ke rekeningnya terputus. Dalam sudut pandang perlindungan konsumen, ini tentu bertentangan dengan prinsip transparansi dan persetujuan atas syarat dan ketentuan baru (Expat Indo Forum, 2025).

Beberapa nasabah bahkan menyampaikan bahwa syarat dan ketentuan awal saat pembukaan rekening tidak mencantumkan klausul pembekuan otomatis dalam tiga bulan. Ini menciptakan ketidakpastian hukum yang serius. Perubahan kebijakan yang mempengaruhi hak dan akses warga terhadap dana pribadi seharusnya diinformasikan secara resmi, berkala, dan dengan pilihan untuk menyetujui atau menolaknya.

Secara prinsip, kontrak perbankan antara nasabah dan bank bersifat sukarela dan dilandasi asas kepercayaan. Bila salah satu pihak mengubah ketentuan sepihak, kepercayaan itu bisa runtuh. Tidak hanya akan merugikan nasabah, tetapi juga menurunkan reputasi lembaga keuangan di mata publik nasional maupun internasional.

Dinamika Sosial Ekonomi dan Potensi Ketimpangan

Ketika sistem keuangan memutus akses rekening hanya karena tidak aktif selama tiga bulan, masyarakat bawah berisiko menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka mungkin tidak memiliki pemahaman tentang cara mengaktifkan kembali rekening, apalagi bila prosesnya melibatkan administrasi kompleks atau biaya tambahan.

Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa memperluas jurang antara masyarakat kelas menengah atas yang melek digital dan kelompok ekonomi rentan yang minim akses informasi. Ketimpangan digital dan finansial ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi inklusi keuangan yang selama ini digaungkan secara nasional.

Dampak lainnya, warga menjadi enggan menyimpan uang di rekening bank jika takut uangnya tidak bisa diakses sewaktu-waktu. Mereka bisa saja beralih ke metode tradisional, seperti menyimpan uang di rumah atau menggunakan sistem informal. Ini tentu bertolak belakang dengan misi modernisasi sistem keuangan yang ingin mendorong cashless society dan penguatan transaksi digital.

Antisipasi dan Rekomendasi Kebijakan

Demi menjaga keseimbangan antara keamanan sistem perbankan dan hak nasabah, pendekatan kebijakan perlu dikaji ulang secara menyeluruh. Masa tiga bulan ketidakaktifan terlalu singkat dan tidak memperhitungkan variasi perilaku menabung masyarakat. Sebuah tenggat waktu enam bulan hingga satu tahun mungkin lebih rasional dan humanis.

Sosialisasi kebijakan secara massif melalui kanal resmi bank dan media publik mutlak diperlukan. Notifikasi kepada nasabah sebelum pembekuan harus menjadi kewajiban, bukan pilihan. Notifikasi ini bisa berupa SMS, email, atau aplikasi perbankan yang memberi tenggat waktu pemulihan sebelum akses dihentikan.

Bank juga bisa menciptakan jenis rekening khusus untuk tabungan pasif atau jangka panjang, yang meski tidak aktif, tetap aman dan tidak diblokir asalkan memenuhi syarat tertentu. Skema ini memberi keleluasaan bagi nasabah yang memang menabung untuk masa depan tanpa harus merasa terancam pembekuan.

Prosedur pengaktifan kembali juga sebaiknya disederhanakan. Bila saat ini membutuhkan waktu lima hingga dua puluh hari kerja, maka perlu ada perbaikan sistem agar waktu layanan bisa dipangkas maksimal menjadi tiga hari, terutama untuk nasabah perorangan yang terdampak langsung secara ekonomi.

Terakhir, otoritas dan lembaga keuangan harus menjalin dialog terbuka dengan publik. Isu rekening dormant tidak bisa dilihat semata sebagai urusan administratif atau teknis, tetapi juga mencerminkan aspek sosial, ekonomi, dan bahkan kepercayaan warga terhadap negara dan sistem keuangannya.

Penutup: Dari Rekening Nganggur Menuju Ekonomi Produktif

Kebijakan pembekuan rekening nganggur tampaknya membawa pesan penting: sistem keuangan ingin lebih tertib dan bersih dari potensi kejahatan. Namun, pesan ini harus diterjemahkan dengan penuh kehati-hatian dan empati. Rekening yang tak terpakai bukan selalu berarti disalahgunakan. Ia bisa jadi milik seorang pensiunan yang menyimpan dana untuk anaknya, milik pelajar yang menabung dari beasiswa, atau milik pengangguran yang tengah bertahan dengan sisa tabungan.

Alih-alih langsung dibekukan, rekening-rekening ini seharusnya dirawat sebagai potensi ekonomi. Bukankah lebih baik memberi kesempatan bagi rekening “nganggur” agar suatu saat bisa ikut bekerja bagi pemiliknya—bukan justru disingkirkan hanya karena diam?


Referensi

  • Bank Neo Commerce. (2023). Mengenal Rekening Dormant: Penyebab dan Cara Mengatasinya. Jakarta: Bank Neo Commerce.
  • Bisnis.com. (2025). Rekening nganggur 3 bulan diblokir, lahan nganggur 2 tahun disita negara. Jakarta: Bisnis.com.
  • CNBC Indonesia. (2025). PPATK blokir rekening bank nganggur atau dormant, ini kriterianya. Jakarta: CNBC Indonesia.
  • CNBC Indonesia. (2025). Blokir rekening nganggur, PPATK klaim deposit judol ambruk 70%. Jakarta: CNBC Indonesia.
  • Expat Indonesia. (2025). Indonesia to freeze bank accounts after 3 months of inactivity. Jakarta: Expat Indonesia.
  • Expat Indo Forum. (2025). Diskusi publik tentang rekening bank dormant. Jakarta: Expatindo.org.
  • Expatindo.org. (2025). Now you need to do transaction more often on your Indonesian Bank AC. Jakarta: Expatindo.org.
  • Ramadhany, I. (2025). Publik kaget rekening dibekukan sepihak. Jakarta: Expat Indonesia.
  • Yogonet International. (2025). Indonesia freezes over 28,000 bank accounts linked to online gambling. Buenos Aires: Yogonet.
  • Expat Indo Forum. (2025). Komentar publik tentang akses rekening. Jakarta: Expatindo.org.
  • CNBC Indonesia. (2025). Kebijakan rekening tidak aktif dan respons bank. Jakarta: CNBC Indonesia.
  • Expatindo Forum. (2025). Kritik kebijakan dan transparansi T&C. Jakarta: Expatindo.org.
  • Yogonet. (2025). Analisis hubungan rekening dormant dan kejahatan finansial. Buenos Aires: Yogonet.
  • Bisnis.com. (2025). Total deposit rekening dormant capai triliunan. Jakarta: Bisnis.com.
  • Expat Indonesia. (2025). Respons warga terhadap pembekuan mendadak. Jakarta: Expat Indonesia.

Exit mobile version