Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Pada pertengahan 2025, dunia menyambut kehadiran ChatGPT-5, sebuah lompatan signifikan dalam perjalanan teknologi kecerdasan buatan (AI) berbasis bahasa alami. Produk terbaru dari model Generative Pre-trained Transformer ini bukan sekadar peningkatan versi, melainkan sebuah evolusi dalam cara manusia berinteraksi dengan mesin, informasi, dan bahkan sesama manusia.
Kehadirannya bukan tanpa konsekuensi. Di satu sisi, ia membawa janji kemajuan luar biasa dalam produktivitas, pendidikan, hingga layanan kesehatan. Di sisi lain, ia menantang tatanan nilai, struktur kerja, dan bahkan eksistensi manusia dalam dunia yang makin terdigitalisasi. Di sinilah pentingnya menimbang ulang bukan hanya apa yang bisa dilakukan teknologi ini, tetapi apa yang seharusnya tidak dilakukannya.
Dari Generasi ke Generasi
Sejak kemunculan GPT-2 pada 2019, publik sudah terkesima oleh kemampuan AI menghasilkan teks alami. GPT-3 dan GPT-3.5 (2020-2022) menguatkan status AI sebagai entitas linguistik yang “mengerti”, meski sesungguhnya ia hanya memprediksi kata berikutnya. GPT-4 dan GPT-4o membuka babak baru dengan multimodalitas, mampu memahami teks, suara, dan gambar (OpenAI, 2024).
Kini, ChatGPT-5 menghadirkan model yang lebih cepat, lebih hemat energi, dan yang terpenting, lebih “kontekstual”. Ia dapat mengingat riwayat panjang percakapan, memahami maksud implisit pengguna, dan mengintegrasikan multimodal input-output secara real-time (Andrews, 2025). Tidak berlebihan jika beberapa analis menyebutnya sebagai prototipe “asisten umum” paling mendekati kecerdasan manusia.
Teknologi yang Membentuk Budaya
Dalam hitungan bulan, ChatGPT-5 diadopsi secara luas oleh pengguna individu, perusahaan, institusi pendidikan, dan pengembang independen. Ia digunakan untuk menulis laporan, menyunting video, memberi konsultasi teknis, hingga mendampingi proses terapi mental (Zhou & Li, 2025). Interaksi manusia-AI pun mengalami redefinisi.
Dulu, teknologi hanya menjadi alat bantu. Kini, ia menjadi rekan berpikir. Dalam dunia pendidikan, pelajar tidak hanya mencari jawaban dari buku, tetapi berdialog dengan mesin yang memahami konteks pertanyaan mereka. Di bidang jurnalistik, redaksi tidak lagi memulai tulisan dari nol, tetapi dari draft awal yang dihasilkan ChatGPT-5.
Tentu, perubahan ini membawa pertanyaan mendasar: jika AI bisa menulis, menilai, dan menyarankan, di mana posisi manusia?
Etika dalam Bayang-Bayang Algoritma
Kemampuan ChatGPT-5 yang luar biasa membawa serta persoalan etis yang kompleks. Salah satunya adalah isu penghapusan otoritas manusia. Ketika pengguna terlalu bergantung pada AI, kapasitas reflektif dan kritis bisa tergerus. Ini mengarah pada fenomena yang oleh Moravec (2024) disebut sebagai cognitive outsourcing, di mana otak manusia menyerahkan sebagian besar aktivitas berpikir kepada sistem digital.
Belum lagi soal bias algoritmik. Meskipun OpenAI telah melatih ChatGPT-5 dengan pendekatan reinforcement learning with human feedback (RLHF) yang diperluas, bias tetap mungkin muncul. Misalnya, dalam menjawab isu sosial-politik, AI cenderung “netral” secara superficial, namun tetap terikat pada pola dominan dalam data latihannya (Gebru et al., 2023).
Selain itu, kekhawatiran soal privasi dan penggunaan data pengguna makin mencuat. Meskipun OpenAI mengklaim tidak menggunakan percakapan pribadi untuk melatih model pasca-GPT-4, integrasi multimodalitas dan memory jangka panjang membuka potensi penyalahgunaan yang tidak disadari (Vincent, 2025).
Batas antara Asisten dan Subjek
Banyak orang kini bertanya: apakah ChatGPT-5 adalah alat, mitra, atau entitas tersendiri? Dalam filsafat teknologi, ini menyentuh wilayah agency. Mampukah sistem seperti ChatGPT-5 memiliki kehendak atau hanya sekadar mesin statistik?
Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa atribusi “kesadaran” pada model bahasa besar adalah bentuk antropomorfisme digital (Bender & Koller, 2020). Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: manusia mulai berbicara dengan AI bukan seperti kepada alat, tapi kepada teman. Ini terlihat dari pola interaksi yang makin emosional dan personal (Turkle, 2023).
Maka pertanyaan berikutnya pun muncul: apakah kita sedang menciptakan ilusi hubungan, atau tengah membangun model baru komunikasi manusia?
Dampak Sosial-Ekonomi
Transformasi yang dipicu oleh ChatGPT-5 tidak hanya kultural, tetapi juga struktural. Di bidang pekerjaan, banyak sektor mengalami disrupsi senyap. Profesi yang bergantung pada kognisi rutin—penulis konten, analis data, pengarsip, hingga tutor—terancam tergerus oleh efisiensi mesin (Brynjolfsson & McAfee, 2023).
Namun bukan berarti semua pekerjaan akan hilang. Seperti revolusi industri sebelumnya, pekerjaan lama digantikan oleh bentuk kerja baru. Yang berubah adalah keterampilan yang dibutuhkan. Di era ChatGPT-5, keterampilan seperti prompt engineering, AI alignment, dan human-AI collaboration menjadi vital (Kaplan et al., 2025).
Di bidang ekonomi kreatif, ChatGPT-5 bahkan menjadi mitra produksi. Ia membantu merancang storyboard, menulis lirik lagu, hingga menyusun skenario film. Bagi yang mampu mengelolanya, AI adalah pengganda daya cipta.
Menuju Kemanusiaan yang Diperluas?
Di sisi optimistik, ChatGPT-5 bisa menjadi katalis menuju apa yang disebut Harari (2022) sebagai kemanusiaan yang diperluas—manusia yang bukan digantikan, melainkan diperkuat oleh kecerdasan non-biologis. Dalam skenario ini, AI bukan pesaing, tapi ekstensi dari kemampuan manusia.
Namun, ini membutuhkan syarat utama: kesadaran etis dan kendali publik. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penumpang buta dalam kapal yang dikendalikan oleh data, algoritma, dan korporasi raksasa teknologi.
Perlu ada regulasi yang berpihak pada publik, bukan hanya dari sisi keamanan data, tapi juga dari segi keadilan akses, hak digital, dan perlindungan terhadap ketergantungan mental. Pendidikan digital bukan hanya soal menggunakan teknologi, tapi memahami prinsip kerja, batas, dan tanggung jawabnya.
Di Simpul Simpul Peradaban
ChatGPT-5 adalah pencapaian, tapi juga pertaruhan. Ia bisa menjadi mercusuar baru peradaban, atau justru menyulut krisis eksistensial.
Sebagaimana api dalam mitos Prometheus, teknologi ini membawa cahaya dan luka. Cahaya bagi yang mampu menggunakannya dengan bijak. Luka bagi yang membiarkan dirinya dikuasai olehnya. Kita hidup di titik simpul peradaban yang baru—di mana manusia harus kembali memikirkan ulang apa artinya berpikir, bekerja, dan menjadi manusia.
Apakah kita sedang menciptakan alat yang memperkuat manusia, atau membuka pintu ke dunia di mana manusia menjadi tidak perlu lagi?
Jawabannya tergantung pada kita semua.
Referensi
- Andrews, J. (2025). Understanding ChatGPT-5: A Leap into General Intelligence. Cambridge: AI Insight Press.
- Bender, E. M., & Koller, A. (2020). Climbing towards NLU: On Meaning, Form, and Understanding in the Age of Data. ACL Proceedings.
- Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2023). The New Machine Age. New York: W.W. Norton.
- Gebru, T., Raji, I. D., & Buolamwini, J. (2023). Data Sheets for Datasets. Communications of the ACM, 66(4), 56–65.
- Harari, Y. N. (2022). Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. Jakarta: Mizan.
- Kaplan, J., McEwan, A., & Soto, R. (2025). The Rise of AI Engineers. San Francisco: TechSphere.
- Moravec, P. (2024). Digital Outsourcing of Thought. Berlin: Springer.
- OpenAI. (2024). GPT-4 Technical Report. Retrieved from https://openai.com/research
- Turkle, S. (2023). Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age. Boston: Penguin.
- Vincent, J. (2025). ChatGPT-5’s Memory Feature Raises Privacy Flags. The Verge. Retrieved from https://www.theverge.com
- Zhou, Y., & Li, F. (2025). Chatbots in Therapy: A Review. Journal of Mental Health AI, 3(1), 12–28.
- OpenAI. (2025). Introducing ChatGPT-5. Retrieved from https://openai.com/blog
- Zuboff, S. (2023). The Age of Surveillance Capitalism. London: Profile Books.
- Chomsky, N. (2023). The False Promise of Chatbots. New York Times.
- Nature Editorial. (2025). Will AI Replace Scientists? Nature, 621(7960), 6.