ChatGPT dalam Perspektif Maqashid Syariah

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Teknologi kecerdasan buatan generatif—termasuk model bahasa besar seperti ChatGPT—telah mengubah lanskap pengetahuan, kerja, pendidikan, dan agama dengan kecepatan yang mengejutkan. Di saat sebagian melihat efisiensi dan aksesibilitas sebagai kado peradaban, sebagian lain merasa khawatir: adakah mesin yang “mengarang” pengetahuan akan merongrong akal, akhlak, dan otoritas keagamaan? Untuk umat Islam, pertanyaan yang lebih mendasar adalah bagaimana menilai fenomena baru ini dari kerangka maqashid  syariah — tujuan hukum Islam yang berusaha memelihara agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Kerangka ini bukan sekadar alat normatif klasik; ia menawarkan lensa normatif yang relevan untuk menilai manfaat dan bahaya teknologi (Auda, 2008; Al-Syatibi, 2011).

Pertama, dari perspektif pemeliharaan agama (din), ChatGPT berpotensi besar memperluas akses terhadap literatur, tafsir, dan ajaran keagamaan bagi umat yang selama ini terkendala akses bahasa atau literatur. Di wilayah-wilayah dengan keterbatasan ulama atau perpustakaan, LLM bisa menjadi pintu masuk pendidikan agama. Namun potensi ini disertai risiko serius: sumber yang tak terverifikasi, jawaban yang “mengada-ada” (hallucination), dan risiko delegitimasi otoritas ulama bila publik menerima keluaran mesin sebagai fatwa otoritatif tanpa verifikasi manusia (Al-Iftaa’, 2023; MUIS insights, 2024). Singkatnya, manfaatnya nyata; tetapi maqashid menuntut bahwa penyebaran ilmu agama tidak mengorbankan kebenaran dan otoritas yang terekam dalam sanad pengetahuan (Auda, 2008).

Kedua, pemeliharaan jiwa (nafs) berkaitan langsung dengan keselamatan fisik dan psikologis. Dalam aspek medis, AI dapat membantu diagnosis awal dan sistem penapisan risiko—yang bila benar-benar aman dan teruji, sesuai maqashid karena menyelamatkan nyawa. Namun ChatGPT dan turunan LLM lain belumlah alat klinis yang terverifikasi untuk keputusan hidup-mati; penggunaan tanpa kontrol dapat menyesatkan pasien atau memberi rasa aman palsu (Raquib et al., 2022). Selain itu, produksi konten yang merusak—misinformasi, deepfake, maupun konten yang memicu kebencian—mengancam keselamatan psikologis dan sosial komunitas, sehingga menuntut prinsip kehati-hatian maqashid (Raquib et al., 2022; Elmahjub, 2023).

Ketiga, pemeliharaan akal (‘aql) menempatkan perhatian pada kualitas informasi dan kemampuan kritis masyarakat. Teknologi yang mempermudah akses informasi idealnya memperkuat akal; namun model yang menjawab dengan probabilitas tanpa transparansi sumber cenderung melemahkan kebiasaan verifikasi, melahirkan penyerapan pengetahuan pasif, dan berpotensi mereduksi kecakapan berpikir kritis. Perspektif maqashid menuntut perlindungan terhadap akal: pendidikan literasi digital dan pengaturan penggunaan AI agar fungsi intelektual masyarakat tetap terpelihara (Raquib et al., 2022; IIUM/UM study, 2024).

Keempat, pemeliharaan keturunan (nasl) pertama-tama berkaitan dengan kehormatan, privasi, dan ikatan keluarga. ChatGPT dan alat AI lain yang memproses data pribadi atau mampu mengenerate ulang wajah dan suara membawa risiko pelanggaran privasi, pemalsuan identitas, dan pelecehan digital yang dapat merusak kehormatan individu dan keluarga. Dari sudut maqashid, negara dan pengembang teknologi berkewajiban mencegah risiko semacam ini melalui aturan perlindungan data, batas etis penggunaan citra digital, dan sanksi yang tegas (Platform/Anoraga, 2024; Mufti WP fatwa, 2024).

Kelima, pemeliharaan harta (mal) membuka dua ranah: inklusi ekonomi dan risiko ekonomi. AI punya potensi inklusif—misalnya otomasi layanan zakat, analitik wakaf, atau akses ke instrumen keuangan syariah yang lebih inklusif—yang sejalan dengan maqashid untuk menjaga kesejahteraan ekonomi. Namun sisi lain adalah disrupsi pasar tenaga kerja, monopoli platform, dan kerentanan ekonomi bagi kelompok marginal akibat automasi yang tidak adil (GaExcellence IJLGC, 2024; Raquib et al., 2022). Prinsip maqashid menuntut mekanisme redistribusi manfaat dan kebijakan sosial untuk meminimalkan kerugian ekonomi kelompok rentan.

Dari analisis ini muncul beberapa prinsip praktis berbasis maqashid untuk menghadapi ChatGPT dan sejenisnya. Pertama, human-in-the-loop untuk ranah-ranah nilai sensitif: fatwa, diagnosis medis, putusan hukum komunitas—output mesin hanya sebagai bantuan, bukan keputusan akhir (Al-Iftaa’, 2023; UIN SGD study, 2024). Kedua, transparansi sumber dan provenance: sistem yang dipakai dalam konteks keagamaan harus dapat menjelaskan rujukan dan tingkat kepastian jawaban; ini sejalan dengan tuntutan maqashid terhadap klaritas dalam urusan agama dan akal (Auda, 2008; Raquib et al., 2022). Ketiga, lokalisasi nilai: komunitas Muslim perlu mengembangkan model dan dataset lokal yang merefleksikan tradisi ilmiah Islam agar produk-produk AI tidak memaksakan kerangka nilai asing yang bertentangan dengan maqashid (MUIS Fatwa Lab; Anoraga, 2024).

Keempat, pendidikan literasi digital dan etika harus menjadi bagian dari strategi maqashid: menjaga akal berarti membekali umat dengan kemampuan menilai, memverifikasi, dan memakai AI secara etis. Kelima, regulasi berbasis maqashid—bukan sekadar larangan reaktif—yang menimbang perlindungan nyawa, kehormatan, akal, agama, dan harta dalam pengaturan pengumpulan data, audit algoritma, dan tanggung jawab hukum perusahaan pengembang (IJITC, 2025; Elmahjub, 2023).

Rekomendasi lain bersifat institusional. Organisasi keagamaan dan perguruan tinggi Islam harus aktif berkolaborasi dengan pengembang teknologi: membangun “Fatwa Lab” yang melatih LLM dengan metodologi fatwa lokal (contoh inisiatif MUIS), mengembangkan ChatIslam yang berbasis korpus ulama otoritatif, dan mensyaratkan audit syariah pada aplikasi AI yang menyentuh ranah religius (Platform/Anoraga, 2024; MUIS insights, 2024). Pemerintah dan pembuat kebijakan harus mengadopsi pedoman yang melindungi aspek maqashid—misalnya kebijakan perlindungan data, audit bias algoritmik, dan program jaminan sosial bagi pekerja terdampak automasi (Raquib et al., 2022; GaExcellence, 2024).

Akhirnya, maqashid syariah mengajarkan keseimbangan antara penerimaan serta selektifitas: tidak menolak inovasi hanya karena berasal dari dunia modern, namun juga tidak menerima teknologi tanpa kriteria moral yang jelas (Al-Shātibī, 2011). ChatGPT dapat menjadi alat yang memperkaya kehidupan umat bila dirangkaikan dengan niat, tata kelola, dan praktek yang menjaga lima maqashid. Sebaliknya, jika dibiarkan lepas tanpa kendali, ia berpotensi melanggengkan kerusakan yang bertentangan dengan tujuan syariah. Tugas kita bersama—akademisi Islam, ulama, pengembang teknologi, dan negara—adalah menempatkan maqashid sebagai kompas etis dalam era mesin pengetahuan ini: agar kemajuan teknologi melayani kemaslahatan manusia, bukan sebaliknya.


Referensi