Wafat

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Wafat—sebuah kata yang pendek, namun memuat samudra makna. Ia datang tanpa banyak tanda, menyentuh manusia dengan lembut sekaligus tegas. Dalam sekejap, kehidupan yang semula riuh berhenti, dan tubuh yang hangat menjadi sunyi. Namun, dalam keheningan itu, wafat memunculkan gema sosial, budaya, dan spiritual yang terus beresonansi. Mengurai makna wafat adalah upaya memahami persimpangan antara kefanaan manusia dan jejak yang ia tinggalkan di dunia.


Wafat dalam Perspektif Sosial

Dalam perspektif sosial, wafat tidak hanya peristiwa pribadi, melainkan fenomena kolektif. Émile Durkheim menjelaskan bahwa ritual kematian memiliki fungsi memperkuat solidaritas sosial, karena berkabung menjadi ruang bersama untuk membentuk kembali ikatan antarindividu (Durkheim, 1912). Kehadiran keluarga, tetangga, dan sahabat di sekitar jenazah merupakan bentuk nyata dari solidaritas ini.

Rasa kehilangan juga memunculkan refleksi sosial. Penelitian dalam bidang kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa distribusi kematian tidak merata; mereka yang berada dalam kondisi sosial-ekonomi rendah cenderung memiliki harapan hidup yang lebih pendek akibat keterbatasan akses pada layanan kesehatan (Marmot, 2005). Dengan kata lain, wafat juga menjadi cermin ketimpangan sosial yang nyata di masyarakat. Wilkinson dan Pickett (2010) menambahkan bahwa kesenjangan sosial memengaruhi kualitas hidup sekaligus kualitas kematian seseorang.


Wafat dalam Bingkai Budaya

Dalam dimensi budaya, wafat dibingkai oleh ritual dan simbol. Victor Turner menggambarkan kematian sebagai bagian dari “rites of passage”—sebuah peralihan yang menempatkan seseorang dari dunia kehidupan menuju status baru, entah sebagai kenangan atau entitas spiritual (Turner, 1969). Berbagai tradisi mengenal bentuk penghormatan terakhir: mulai dari doa bersama, upacara adat, hingga simbol-simbol tertentu yang diwariskan lintas generasi.

Ritual kematian juga berfungsi menjaga identitas komunitas. Peter Metcalf dan Richard Huntington (1991) menunjukkan bahwa upacara pemakaman menjadi momen penting untuk mengukuhkan struktur sosial, di mana peran dan hierarki komunitas ditegaskan kembali. Dalam masyarakat modern, bentuk-bentuk penghormatan ini mengalami transformasi. Kehadiran “makam virtual” dan memorial daring memperluas ruang berkabung ke ranah digital, di mana foto, tulisan, dan doa disimpan di server alih-alih batu nisan (Brubaker, Hayes, & Dourish, 2013).

Fenomena ini memperlihatkan bahwa budaya wafat tidak statis, melainkan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Walter dan koleganya (2011) menegaskan bahwa internet tidak hanya mengubah cara kita berinteraksi, tetapi juga cara kita mengelola duka.


Wafat sebagai Pengalaman Spiritual

Dalam pandangan keislaman, wafat bukanlah akhir mutlak, melainkan transisi menuju alam yang lebih hakiki. Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menggambarkan wafat sebagai pelepasan ruh dari penjara jasmani menuju kehidupan abadi. Kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un bukan sekadar ungkapan duka, tetapi afirmasi iman bahwa segala yang hidup akan kembali kepada Tuhan (Nasr, 2002).

Dalam konteks psikologi agama, praktik spiritual seperti doa, dzikir, dan pembacaan ayat suci berfungsi sebagai mekanisme untuk mengurangi kecemasan eksistensial (Martin, 2013). Bahkan di luar agama, muncul gerakan “death positivity” yang mengajak masyarakat untuk berbicara terbuka tentang kematian, melihatnya sebagai bagian alami dari siklus kehidupan (Korn, 2019).

Neuroteologi, sebuah bidang yang meneliti pengalaman spiritual dengan pendekatan ilmiah, menemukan bahwa pengalaman menjelang kematian kerap disertai perasaan damai dan sensasi cahaya terang. Temuan ini tidak hanya menarik secara akademis, tetapi juga memberi penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan (Mobbs et al., 2015).


Wafat di Era Kontemporer

Pandemi global membawa makna baru bagi pengalaman wafat. Banyak keluarga tidak dapat mengiringi anggota mereka di saat-saat terakhir karena pembatasan kesehatan. Wallace dan rekan (2020) menyebut fenomena ini sebagai “duka tertunda”—perasaan kehilangan yang tidak dapat disalurkan melalui prosesi normal. Akibatnya, masyarakat mencari bentuk-bentuk baru untuk mengucapkan selamat tinggal, seperti upacara pemakaman virtual atau pertemuan berkabung daring (Aday & Tavares, 2021).

Transformasi ini mengingatkan kita bahwa cara manusia memaknai wafat selalu dipengaruhi oleh konteks zaman. Jika dahulu kematian selalu diiringi tatap muka, kini ia juga terjadi di layar. Namun, substansi penghormatan tetap sama: mengingat, mendoakan, dan memberi ruang bagi duka untuk diolah.


Refleksi Humanis

Wafat memaksa manusia untuk menghadapi pertanyaan mendasar: apa arti hidup, dan apa yang tersisa setelahnya? Ernest Becker (1973) berpendapat bahwa kesadaran akan kefanaan justru menjadi pendorong utama kreativitas dan pencarian makna. Kehilangan mengajarkan pentingnya hubungan antar manusia, dan mengingatkan bahwa hidup tidak dapat dipisahkan dari kematian.

Kesadaran ini seharusnya menumbuhkan sikap empati. Dalam masyarakat yang kompleks, wafat menjadi momen untuk menyingkirkan sekat sosial, merangkul yang ditinggalkan, dan mengakui bahwa di hadapan kematian, semua manusia berada pada titik yang setara.


Penutup

Wafat bukan sekadar akhir biologis, melainkan pintu bagi renungan sosial, budaya, dan spiritual. Ia menguji solidaritas masyarakat, mempertahankan tradisi, dan memperdalam keyakinan. Dalam setiap perpisahan, ada kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang kadang terpinggirkan oleh hiruk pikuk dunia.

Mungkin inilah paradoks terbesar wafat: ia memisahkan, namun sekaligus menyatukan; ia mengakhiri, namun juga memulai. Dengan memahami wafat, kita belajar untuk lebih menghargai hidup—dan dengan menghargai hidup, kita bersiap menghadapi wafat dengan hati yang lebih lapang.


Referensi

  • Aday, S., & Tavares, L. (2021). Virtual memorials in pandemic times: Collective mourning in digital spaces. Death Studies, 45(3), 250–262.
  • Al-Ghazali. (n.d.). Ihya Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Ma’arif.
  • Becker, E. (1973). The Denial of Death. New York: Free Press.
  • Brubaker, J. R., Hayes, G. R., & Dourish, P. (2013). Beyond the grave: Facebook as a site for the expansion of death and mourning. Information Society, 29(3), 152–163.
  • Durkheim, É. (1912). The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press.
  • Korn, R. (2019). Death positivity and modern spirituality: Reframing fears of dying. Journal of Contemporary Spirituality, 11(1), 45–60.
  • Marmot, M. (2005). The Status Syndrome: How Social Standing Affects Our Health and Longevity. London: Bloomsbury.
  • Martin, D. (2013). Mourning in Islamic contexts: Religious discourse and quiet comfort. Journal for the Scientific Study of Religion, 52(2), 320–337.
  • Metcalf, P., & Huntington, R. (1991). Celebrations of Death: The Anthropology of Mortuary Ritual. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Mobbs, D., et al. (2015). Brain mechanisms underlying spiritual experiences centered on perception of near-death phenomena. PNAS, 112(4), 1465–1470.
  • Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperSanFrancisco.
  • Turner, V. (1969). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine.
  • Wallace, C. L., Wladkowski, S. P., Gibson, A., & White, P. (2020). About “those who are gone”: Bereavement, grief, and loss during the COVID-19 pandemic. Journal of Pain and Symptom Management, 60(1), e70–e76.
  • Walter, T., Hourizi, R., Moncur, W., & Pitsillides, S. (2011). Does the internet change how we die and mourn? Overview and analysis. Omega – Journal of Death and Dying, 64(4), 275–302.
  • Wilkinson, R., & Pickett, K. (2010). The Spirit Level: Why Greater Equality Makes Societies Stronger. London: Bloomsbury.