Politik dan Multiple Intelligence

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Di tengah polarisasi politik dan dominasi narasi teknokratis, wacana kecerdasan pun dipertaruhkan—siapa yang berhak mewarnai panggung politik? Banyak yang masih menafsirkan “kecerdasan” secara sempit: kemampuan berhitung, hafalan, atau keberhasilan dalam tes IQ. Namun, teori Multiple Intelligences (MI) dari Howard Gardner mengajak kita melihat jauh lebih luas—bahwa manusia memiliki sekurangnya delapan jenis kecerdasan (linguistik, logis-matematis, spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis), bahkan lebih (Gardner, 1983; Verywell Health, 2022).

Mengapa Politik Butuh Multiple Intelligence

Politik bukan sekadar siapa paling cepat berbicara atau paling lihai mengolah angka. Politik adalah tentang persuasi, kolaborasi, empati, visi kreatif, dan tindakan nyata. Tanpa kecerdasan interpersonal—misalnya, kemampuan memahami dan meyakinkan orang lain—sebuah ide hebat bisa saja tak pernah mencapai hati warga. Tanpa kecerdasan spasial atau musikal, kampanye bisa kehilangan simbol visual dan suara yang resonan. Tanpa kecerdasan kinestetik, gerakan massa gagal menggerakkan perubahan. Mengabaikan ragam kecerdasan ini berarti menyisihkan bagian masyarakat yang potensial—karena mereka tak “pintar” menurut standar semata. Hal ini sekaligus mencerminkan demokrasi yang rapuh dan sempit.

Wawasan Genetik dan Politik

Belakangan, penelitian genetika politik menambah dimensi lain: konflik antara narasi “IQ = politik liberal” atau sebaliknya. Edwards, Giannelis, Willoughby, dan Lee (2024) melaporkan bahwa skor poli­genik—yang mengukur predisposisi genetik terhadap performa kognitif dan pendidikan—memprediksi orientasi politik; lebih tinggi kecerdasan genetik diasosiasikan dengan liberalisme sosial dan rendahnya otoritarianisme, bahkan dalam analisis dalam-keluarga (within-family). Temuan ini membuka wacana bahwa kognisi (baik diukur secara tradisional maupun lewat genetik) berkontribusi terhadap pandangan politik—namun tidak bersifat deterministik. Banyak variabel sosial, pengalaman, dan budaya yang mediasi hubungan ini (Wikipedia: politik dan orientasi biologis, 2025) .

Implikasi pada Pendidikan Politik

Untuk menjadikan MI alat nyata dalam demokrasi, pendidikan politik (civic education) harus merespons ragam kecerdasan. Kurikulum saat ini umumnya menekankan pengetahuan prosedural: “Bagaimana mekanisme pemilu?” atau “Apa saja lembaga negara?” Tanpa menumbuhkan empati, kecakapan argumentasi, kolaborasi, atau kreativitas, pengetahuan politik tetap hampa. Winthrop (2020) menekankan perlunya pendidikan kewargaan yang mengembangkan disposisi—seperti kemampuan berdialog, berpikir kritis, dan partisipasi bermakna .

Riset lokal mendukung ini: Makantika, Barus, dan Muzaki (2024) menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis MI di sekolah dasar meningkatkan pemahaman dan keterlibatan siswa dalam IPA—metode yang sama dapat diterapkan dalam pendidikan politik: melalui debat, simulasi legislatif, mural kolaboratif, atau lagu kampanye partisipatif .

Risiko dan Kritik

MI tak kebal kritik. Banyak ilmuwan menilai “kecerdasan” dalam teori Gardner lebih menyerupai bakat atau gaya belajar, bukan entitas psikometris yang terkonseptualisasi secara ketat (Verywell Mind, 2008; Wikipedia, 2025). Kritik juga datang karena MI bisa disalahgunakan sebagai strategi komunikasi politik manipulatif, jika guru atau politisi hanya menargetkan kecerdasan interpersonal atau musikal tanpa membuka diskursus kritis. Oleh karena itu, pengajaran MI harus memadukan metakognisi—apa yang kita pikir tentang cara kita berpikir—sebagai bagian dari intrapersonal intelligence yang penting (Gardner, 1999) .

Strategi Praktis untuk Demokrasi Lebih Kaya

  1. Reformasi Pendidikan Kewargaan
    • Desain kurikulum dengan saluran ganda: debat (linguistik), visual kampanye (spasial), simulasi legislatif (kinestetik & interpersonal), refleksi mandiri (intrapersonal).
  2. Partisipasi Publik yang Diversifikasi
    • Kegiatan seperti forum warga berbasis seni, mural komunitas, teater rakyat, atau konser lokal, yang mengajak warga “berbicara” melalui kecerdasan mereka sendiri.
  3. Pemimpin dengan Spektrum Kecerdasan
    • Kepemimpinan ideal bukan hanya soal fasih retorik—pemimpin seharusnya juga mampu mendengar lawan politik, memahami limitasi diri, menciptakan visi visual yang menyatu, dan menerjemahkan gagasan ke aksi riil.

Penutup

Menghubungkan politik dan multiple intelligences bukan sekadar wacana akademis, tapi strategi demokrasi masa depan—yang lebih inklusif, kreatif, dan tahan polarisasi. Demokrasi bukan milik mereka yang pintar menurut IQ, tetapi milik mereka yang mampu berpikir, merasakan, berkreasi, dan bertindak. Siapa yang kita ajak bicara, siapa yang kita dengar, dan siapa yang kita libatkan, menentukan kualitas demokrasi kita.


Referensi