Kenapa Harus Ada Tuhan?

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Di tengah kerumitan hidup modern, perdebatan tentang keberadaan Tuhan bukan lagi sekadar tema usang filsafat, tetapi menjadi cermin dari kegelisahan eksistensial manusia. Ketika sains menjanjikan keajaiban teknologi, dan kapitalisme menyulap dunia menjadi pasar yang tak berujung, muncul satu pertanyaan yang tak kunjung redup: Kenapa harus ada Tuhan? Bagi sebagian orang, pertanyaan ini adalah pencarian akan makna. Bagi sebagian lain, ini adalah bentuk protes atas penderitaan yang tak terjelaskan. Tapi bagi mereka yang berpikir lebih dalam, ini adalah panggilan untuk memahami kemanusiaan itu sendiri.

Fitrah Manusia yang Beriman

Sejak awal sejarah peradaban, manusia selalu mencari makna atas keberadaannya. Dalam kondisi primitif sekalipun, ditemukan jejak-jejak penghambaan — entah pada matahari, batu, atau kekuatan gaib. Psikolog Viktor Frankl (2006) menyebutnya sebagai will to meaning, dorongan eksistensial untuk menemukan tujuan hidup. Ini bukan sekadar naluri biologis, melainkan struktur bawaan dalam batin manusia. Karen Armstrong (2020) menegaskan bahwa agama muncul bukan karena ketakutan atau ketidaktahuan semata, tetapi karena hasrat mendalam untuk memahami keberadaan yang lebih besar dari dirinya.

Fitrah ini bukan fiksi. Studi neuroteologi menunjukkan bahwa otak manusia memiliki kecenderungan spiritual (Newberg & Waldman, 2016). Dalam eksperimen pemindaian otak, aktivitas religius memicu bagian yang berkaitan dengan kasih sayang, empati, dan keteraturan. Artinya, kepercayaan kepada Tuhan bukan hasil rekayasa sosial, melainkan bagian dari desain biologis kita.

Tuhan sebagai Jawaban atas Ketakterhinggaan

Dunia ini terlalu kompleks untuk disebut kebetulan. Dari keteraturan hukum fisika hingga kehalusan struktur DNA, ada semacam pola cerdas yang menyelimuti semesta. Fisikawan Paul Davies (2010) menyatakan bahwa alam semesta tampak fine-tuned — seolah-olah dirancang khusus agar kehidupan bisa ada. Jika gravitasi sedikit lebih kuat atau lebih lemah, alam semesta akan runtuh atau meledak. Dari mana asal semua itu?

Sains boleh menjelaskan “bagaimana”, tetapi tetap terbata menjawab “mengapa”. Mengapa ada hukum-hukum alam? Mengapa ada sesuatu, dan bukannya ketiadaan? Immanuel Kant (1781) dalam Critique of Pure Reason menegaskan bahwa akal budi manusia akan selalu berhenti di sebuah batas: sesuatu yang mutlak, yang tak bergantung pada apapun — yang disebutnya das Ding an sich.

Dalam kerangka ini, Tuhan adalah titik akhir dari setiap pertanyaan kausalitas. Tanpa Tuhan, kita terperangkap dalam regresi tak berujung: siapa penyebab dari penyebab? Aristoteles menyebut Tuhan sebagai the Unmoved Mover, penggerak yang tak digerakkan. Dalam istilah Islam, ini sejalan dengan konsep wajibul wujud, keberadaan yang tidak mungkin tidak ada (Al-Attas, 1995).

Tuhan dan Moralitas

Jika semua nilai adalah konstruksi sosial, lalu apa yang menjadi standar moralitas? Apa yang membuat pembunuhan itu salah dan kasih sayang itu mulia? Richard Dawkins (2006), seorang ateis, mencoba menjelaskan moral sebagai hasil seleksi alam. Tapi mengapa kita harus mengikuti seleksi alam? Bukankah dalam alam, yang kuat memangsa yang lemah?

Moralitas sejati membutuhkan landasan objektif, bukan sekadar kesepakatan mayoritas. C.S. Lewis (2001) berpendapat bahwa kesadaran moral universal yang dimiliki manusia menunjuk pada adanya hukum moral objektif. Dan hukum moral ini, jika eksis, mensyaratkan keberadaan pembuat hukum — yaitu Tuhan.

Tanpa Tuhan, keadilan menjadi relatif, dan kebaikan menjadi preferensi. Sejarah menunjukkan bagaimana ideologi tanpa Tuhan — entah dalam bentuk totalitarianisme atau nihilisme — dengan mudah berubah menjadi mesin kekerasan yang sah secara hukum tetapi jahat secara moral (Taylor, 2007).

Spiritualitas di Era Posmodern

Di era posmodern ini, Tuhan tidak lagi “dibutuhkan” oleh sistem. Teknologi menggantikan mukjizat, pasar menggantikan doa, dan algoritma menggantikan intuisi. Tapi justru di tengah kemajuan itulah, manusia merasa makin kosong. Depresi, bunuh diri, dan krisis identitas meningkat drastis di negara-negara maju (Twenge et al., 2019). Apa yang salah?

Manusia tidak cukup hanya diberi kenikmatan material. Ia butuh makna. Dan makna tertinggi lahir dari relasi dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Tuhan bukan sekadar keyakinan pribadi, tapi kebutuhan spiritual yang membentuk ketahanan jiwa (Koenig, 2012).

Dalam perspektif Islam, keberadaan Tuhan adalah titik poros dari seluruh aktivitas manusia. Segala sesuatu dimulai dari bismillah (dengan nama Tuhan) dan berakhir dengan inna lillah (kepada Tuhan kita kembali). Inilah kesadaran teosentris yang menstabilkan batin dalam menghadapi perubahan dunia.

Tuhan sebagai Kritik terhadap Kekuasaan

Menariknya, keberadaan Tuhan tidak hanya menjadi pelipur lara, tetapi juga kritik sosial. Dalam sejarah, ide tentang Tuhan kerap menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan absolut manusia. Nabi Musa melawan Firaun bukan karena motivasi ekonomi, tapi karena perintah Tuhan. Dengan percaya kepada Tuhan, manusia menjadi berani menolak tirani.

Tuhan adalah pengingat bahwa kekuasaan manusia ada batasnya. Ia adalah penyeimbang terhadap keangkuhan teknologi dan kekuatan negara. Dalam konteks ini, Tuhan bukan candu, seperti dituduhkan Marx (1844), tapi justru antidot dari candu kekuasaan dan ketamakan. Michel Foucault (1977) bahkan menunjukkan bagaimana wacana religius sering menjadi arena kontestasi terhadap rezim kebenaran yang hegemonik.

Argumentasi Filosofis: Dari Descartes hingga Ghazali

René Descartes dalam Meditations menyatakan bahwa gagasan tentang Tuhan adalah bukti eksistensi Tuhan itu sendiri. Ia menyebutnya sebagai ide yang innate — melekat pada rasio manusia. Sementara itu, Blaise Pascal memilih jalan pragmatis dengan taruhan terkenalnya: lebih baik percaya kepada Tuhan dan ternyata Ia tidak ada, daripada tidak percaya dan ternyata Ia ada (Pascal, 1670).

Dalam Islam, Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah (1095) membongkar keterbatasan akal dalam menjangkau yang absolut. Ia beralih ke pengalaman spiritual sebagai jalan valid untuk mengenal Tuhan. Di sisi lain, Ibn Rusyd menekankan rasionalitas dalam mengenal Tuhan, selama tetap dalam bingkai wahyu. Perbedaan ini menunjukkan kekayaan warisan Islam dalam mendekati isu teologis.

Ketidakhadiran Tuhan atau Ketidakhadiran Kesadaran?

Sebagian orang berpendapat bahwa Tuhan tak perlu ada karena dunia tetap berjalan. Tapi benarkah demikian? Dunia tetap berjalan, ya. Tapi manusia yang menjalani hidup tanpa Tuhan sering kehilangan orientasi. Di balik klaim otonomi dan kebebasan, ada kehampaan yang tak tersembuhkan.

Nietzsche mengumumkan “Tuhan telah mati” bukan sebagai perayaan, tetapi sebagai peringatan akan krisis nilai yang akan melanda Eropa. Dan ramalan itu terbukti. Tanpa Tuhan, manusia menggantikan Tuhan — dan sejarah mencatat betapa brutalnya manusia saat menjadi tuhan bagi sesama.

Penutup: Tuhan Adalah Keperluan Eksistensial

Tuhan bukan asumsi metafisik yang tak berguna. Ia adalah kebutuhan eksistensial manusia. Bukan untuk membuat kita takut, tapi untuk membuat kita sadar. Sadar bahwa hidup ini bukan sekadar rantai sebab akibat, tapi rangkaian makna. Bahwa cinta, keadilan, dan kebaikan bukan ilusi kimiawi, tapi cerminan dari sifat-sifat Ilahi yang tercermin dalam diri manusia.

Kenapa harus ada Tuhan? Karena tanpanya, kita tak lebih dari debu kosmik yang kebetulan hidup, lalu punah. Tapi dengan-Nya, kita adalah makhluk yang dititipi makna — sekaligus tanggung jawab. Dan hanya dengan kesadaran itu, peradaban manusia bisa bertahan dari jurang kehancuran moral, spiritual, dan ekologis yang kini mengintai.


Referensi

  • Armstrong, K. (2020). The Lost Art of Scripture: Rescuing the Sacred Texts. London: Bodley Head.
  • Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
  • Davies, P. (2010). The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? Boston: Mariner Books.
  • Dawkins, R. (2006). The God Delusion. London: Bantam.
  • Descartes, R. (1641). Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon.
  • Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.
  • Ghazali, A. (1095). Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers). Beirut: Dar al-Fikr.
  • Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason. London: Macmillan.
  • Koenig, H. G. (2012). Religion, Spirituality, and Health: The Research and Clinical Implications. ISRN Psychiatry, 2012, Article ID 278730.
  • Lewis, C. S. (2001). Mere Christianity. New York: HarperOne.
  • Marx, K. (1844). Critique of Hegel’s Philosophy of Right. New York: Cambridge University Press.
  • Newberg, A., & Waldman, M. R. (2016). How God Changes Your Brain. New York: Ballantine Books.
  • Pascal, B. (1670). Pensées. Paris: Editions du Seuil.
  • Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Twenge, J. M., Cooper, A. B., Joiner, T. E., Duffy, M. E., & Binau, S. G. (2019). Age, Period, and Cohort Trends in Mood Disorder Indicators. Journal of Abnormal Psychology, 128(3), 185–199.