Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Di tengah gegap gempita peringatan kemerdekaan, bendera Merah Putih kembali berkibar di berbagai penjuru negeri. Warna merah yang melambangkan keberanian, dan putih yang mencerminkan kesucian, seolah menegaskan ulang makna kemerdekaan: sebuah capaian yang dibayar mahal oleh darah dan nyawa para pahlawan. Namun, di balik gegap gempita itu, masih membayang ironi besar: negeri yang dibebaskan oleh pahlawan kini digerogoti oleh korupsi.
Bendera bukan sekadar kain dua warna yang dijahit bersama, melainkan lambang integritas yang dijaga dengan susah payah. Ia menjadi saksi bisu perjuangan, simbol janji kolektif, dan penanda harga diri bangsa. Saat korupsi tumbuh subur di bawah naungannya, pertanyaan besar pun muncul: apakah kita benar-benar layak mewarisi dan mengibarkan Merah Putih?
Jejak Merah Putih dalam Darah Perjuangan
Sejarah mencatat, bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan dalam konteks perjuangan kemerdekaan, bukan sekadar seremoni. Pada 17 Agustus 1945, sang saka dikibarkan di Jalan Pegangsaan Timur oleh para pemimpin bangsa sebagai simbol kemerdekaan yang telah diperjuangkan mati-matian (Wikipedia, 2025). Bendera itu dijahit oleh Fatmawati Soekarno, bukan di ruang megah, melainkan di rumah kecil, di tengah tekanan penjajahan. Merah Putih bukan bendera buatan pabrik, melainkan simbol yang dijahit oleh cinta dan darah.
Namun kini, seolah paradoks, bendera itu berkibar di gedung-gedung tinggi yang dihuni oleh para elite yang tidak semuanya bersih. Ketika tangan yang mengangkat bendera adalah tangan yang pernah menerima suap, maka simbol itu kehilangan makna. Peringatan kemerdekaan pun bisa terasa hambar, jika pengorbanan pahlawan dicederai oleh perilaku yang jauh dari semangat mereka.
Pahlawan dan Koruptor: Dua Jalan yang Bertolak Belakang
Pahlawan sejati adalah mereka yang memberikan segalanya tanpa pamrih demi bangsa. Mereka menolak tunduk pada kekuasaan yang menindas, menolak menjual idealisme mereka. Di sisi lain, koruptor adalah antitesis dari semangat ini. Mereka bukan sekadar pelanggar hukum, melainkan pengkhianat moral kolektif (Penulis Opini, 2025). Setiap rupiah yang dicuri dari uang rakyat adalah pengkhianatan terhadap mereka yang gugur di medan perang demi kemerdekaan.
Korupsi bukan hanya kriminalitas biasa; ia adalah penyakit moral yang menular dan membunuh secara perlahan. Dan ironinya, di negeri ini, koruptor bukanlah sosok yang malu tampil. Mereka masih bisa tersenyum di layar televisi, mengenakan batik, dan bersalaman dengan penuh percaya diri. Padahal, dalam diam, mereka sedang mencabik semangat Merah Putih.
Narasi Baru tentang Pahlawan
Di era kini, kita perlu memperluas definisi pahlawan. Bukan hanya mereka yang mengangkat senjata, tetapi juga yang melawan ketidakadilan dengan pena, hukum, dan keberanian moral. Tokoh seperti KH Abdurrahman Wahid adalah contoh nyata. Ia menolak kompromi dengan korupsi dan tidak segan membubarkan institusi yang rawan penyimpangan (Najmuddin, 2024). Gus Dur membuktikan bahwa integritas lebih tinggi dari popularitas. Ia tidak pernah terbukti melakukan korupsi, bahkan ketika kekuasaan berada di tangannya.
Kita juga menyaksikan pahlawan masa kini dalam wujud jurnalis investigatif yang terus menggali kasus-kasus besar meski terancam. Atau LSM yang tetap kritis terhadap kekuasaan, meski terus dikriminalisasi. Mereka adalah wajah baru patriotisme: orang-orang yang mempertaruhkan kenyamanan dan keamanan demi kebenaran dan keadilan.
Korupsi sebagai Warisan Sistemik
Penelitian menunjukkan bahwa korupsi seringkali bukan tindakan individu semata, melainkan buah dari sistem yang membusuk. Ribeiro et al. (2018) memetakan bagaimana korupsi berkembang sebagai jaringan yang saling melindungi dan memperkuat. Sejumlah elite membentuk ekosistem kekuasaan yang sulit ditembus. Ketika satu ditangkap, yang lain segera menggantikan. Seperti mitos kepala naga: potong satu, tumbuh dua.
Ini menjelaskan mengapa meski lembaga antikorupsi berdiri, korupsi tetap saja terjadi. Reformasi setengah hati hanya melahirkan “pemberantasan korupsi kosmetik”—ditampilkan sebagai prestasi, namun tak menyentuh akar.
Simbolisme Bendera dan Luka Kolektif Bangsa
Kasus-kasus besar yang terjadi selama pandemi, seperti bantuan sosial Covid-19 yang dikorupsi, merupakan tamparan keras bagi akal sehat. Di saat rakyat bertahan hidup dengan segala keterbatasan, segelintir orang memanfaatkan bencana untuk mengisi pundi-pundi pribadi (Wikipedia, 2025). Mereka tak hanya korup, tetapi kehilangan empati kemanusiaan.
Begitu juga kasus suap ekspor benih lobster, yang melibatkan elit dan kebijakan strategis, menjadi penanda betapa mudahnya pengorbanan rakyat dibarter dengan keuntungan jangka pendek. Semua ini terjadi ketika bendera Merah Putih dikibarkan, seolah-olah menutupi bau busuk pengkhianatan.
Momentum Hari Kemerdekaan: Waktu untuk Jujur pada Diri Sendiri
Setiap peringatan Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi momen refleksi, bukan sekadar perayaan. Apakah kemerdekaan yang diwariskan telah kita jaga? Apakah kita masih setia pada amanat para pahlawan?
Berbagai opini menyebut bahwa kemerdekaan sejati akan tercapai hanya jika bangsa ini lepas dari jeratan korupsi (Kumparan, 2024). Tidak cukup hanya membakar lilin kenangan, kita perlu menerangi masa depan dengan tindakan nyata.
Merayakan kemerdekaan tanpa memerangi korupsi adalah seperti mengenang cinta yang kita hianati sendiri.
Membangun Sistem Imunitas Moral
Pengalaman negara-negara seperti Finlandia, Denmark, dan Selandia Baru menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi efektif dilakukan dengan memperkuat budaya transparansi dan membangun nilai-nilai etika sejak dini (Suara Muhammadiyah, 2024). Di negara-negara ini, kejujuran bukan hanya slogan, tapi identitas nasional. Ini bisa dimulai dengan pendidikan yang menekankan integritas, bukan hanya kognisi akademik.
Sayangnya, di negeri kita, pendidikan antikorupsi masih bersifat seremonial. Di sekolah diajarkan tentang pahlawan, tapi tidak ditunjukkan bagaimana menjadi pahlawan di tengah godaan pragmatisme. Padahal, menolak sogokan di usia muda bisa menjadi fondasi integritas bangsa.
Bendera dan Anak Muda: Dari Poster ke Praktik
Mengaitkan bendera dengan budaya populer bisa menjadi jembatan edukasi yang efektif. Tokoh-tokoh fiksi seperti dalam One Piece atau Naruto, misalnya, menggambarkan keberanian, integritas, dan pengorbanan demi kebaikan bersama. Jika karakter fiksi saja bisa menolak menjadi pengkhianat, mengapa generasi muda yang memegang bendera sungguhan justru permisif terhadap korupsi? (Monitor.co.id, 2025).
Kampanye antikorupsi tidak harus kaku. Bisa melalui konten kreatif, lagu, film, bahkan meme. Yang penting adalah pesan yang sampai: bahwa menjadi pahlawan bisa dimulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menolak menyontek, hingga berani bersuara terhadap ketidakadilan.
Keteladanan: Kunci Merah Putih Tak Pudar
Bendera tidak akan pernah kehilangan warnanya, tapi nilai-nilai di baliknya bisa memudar jika tidak ada keteladanan. Ketika publik melihat bahwa pelaku korupsi justru mendapat “penghargaan” dalam bentuk pengurangan hukuman atau perlakuan khusus, maka pesan yang sampai bukan tentang keadilan, melainkan tentang impunitas.
Sistem hukum yang adil dan transparan adalah syarat mutlak agar simbol Merah Putih tidak berubah menjadi sekadar ornamen seremoni. Para penegak hukum harus menjadi garda moral, bukan bagian dari lingkaran korupsi itu sendiri.
Merah Putih sebagai Kompas Moral
Pada akhirnya, bendera Merah Putih bukan hanya tanda geografis, tetapi arah moral. Ia adalah kompas yang menunjuk pada nilai-nilai keberanian, kejujuran, dan pengorbanan. Jika bangsa ini ingin selamat dari jurang kehancuran, maka satu-satunya jalan adalah kembali menjadikan Merah Putih sebagai panduan etika kolektif.
Mengibarkan bendera bukan hanya urusan protokoler. Ia adalah janji. Janji bahwa kita tidak akan mengkhianati sejarah. Janji bahwa kita tidak akan berkompromi terhadap korupsi. Dan janji bahwa kita akan terus berjuang, meski tidak lagi dengan senjata, tapi dengan prinsip dan keteguhan hati.
Penutup: Jalan Menuju Kemerdekaan Sejati
Merdeka bukan berarti bebas berbuat sesuka hati, melainkan bebas dari ketakutan, dari kebohongan, dan dari korupsi. Pahlawan tidak pernah mati jika semangat mereka terus dihidupkan dalam tindakan. Dan bendera Merah Putih akan terus berkibar dengan gagah, jika mereka yang mengibarkannya memiliki jiwa yang bersih dan pikiran yang jernih.
Selama korupsi masih merajalela, Merah Putih tetap berkibar, tapi hampa. Maka tugas generasi kini dan mendatang bukan hanya menjaga bendera tetap tegak, tapi memastikan makna di baliknya tak pernah padam.
Referensi
- Najmuddin, A. (2024, Desember). Gus Dur dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: NU Online.
- Penulis Opini. (2025). Pahlawan dan Korupsi. Jakarta: Media Indonesia.
- Wikipedia. (2025). Bendera Pusaka. https://id.wikipedia.org/wiki/Bendera_Pusaka
- Wikipedia. (2025). Flag of Indonesia. https://en.wikipedia.org/wiki/Flag_of_Indonesia
- Wikipedia. (2025). Juliari Batubara. https://id.wikipedia.org/wiki/Juliari_Batubara
- Wikipedia. (2025). Edhy Prabowo. https://id.wikipedia.org/wiki/Edhy_Prabowo
- Ribeiro, H. V., Alves, L. G. A., Martins, A. F., Lenzi, E. K., & Perc, M. (2018). The dynamical structure of political corruption networks. Ithaca: Cornell University Library (arXiv).
- Opini Kumparan. (2024). Refleksi HUT ke-79 RI: Saatnya Indonesia Merdeka dari Korupsi. Jakarta: Kumparan.
- RMOL Aceh. (2022). Indonesia, Benar-benar Merdeka Jika Tak Ada Lagi Korupsi. Banda Aceh: RMOL Aceh.
- Suara Muhammadiyah. (2024). Pengalaman Negara yang Berhasil Mengatasi Korupsi. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
- Open Government Partnership. (2023). Anti-Corruption: Political Finance. Washington, D.C.: OGP. https://www.opengovpartnership.org
- Kumparan. (2022). Refleksi HUT ke-79 RI. Jakarta: Kumparan.
- Monitor.co.id. (2025). Bendera Merah Putih Harga Mati, One Piece Tidak Ada Masalah. Jakarta: Monitor.co.id.
- Bacasaja.id. (2025, 1 Agustus). HUT Ke-80 RI, Wali Kota: Bendera Merah Putih Jangan Sekadar Formalitas. Surabaya: Bacasaja.id.
- Jones, C. (2024). Style on Trial: The Gendered Aesthetics of Appearance, Corruption, and Piety in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.