Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Nama Abdullah bin Saba’ terus menghantui narasi sejarah Islam, khususnya dalam pusaran konflik Sunni-Syiah dan fitnah besar yang mengoyak tatanan umat pada masa Khulafaur Rasyidin. Ia dianggap tokoh misterius yang berada di balik pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan dan awal mula perpecahan internal umat Islam. Namun, benarkah tokoh ini nyata? Ataukah ia hanya konstruksi ideologis untuk menjelaskan luka sejarah yang rumit?
Perdebatan tentang keberadaan Abdullah bin Saba’ lebih menyerupai perang tafsir ketimbang diskusi sejarah yang berbasis data otentik. Ia adalah contoh klasik bagaimana sejarah ditulis bukan hanya berdasarkan fakta, tetapi juga oleh kuasa dan kepentingan politik yang mengarahkan narasi.
Narasi Historis yang Kabur
Abdullah bin Saba’ pertama kali dikenalkan secara sistematis oleh sejarawan Sunni, Saif bin Umar At-Tamimi, dalam karya-karya sejarah Islam awal (Anthony, 2021). Dalam narasinya, Abdullah bin Saba’ digambarkan sebagai seorang Yahudi asal Yaman yang berpura-pura masuk Islam dan memprovokasi umat dengan ajaran ekstrem tentang keimaman Ali bin Abi Thalib. Ia disebut-sebut sebagai pendiri gerakan ghulat (ekstremis Syiah) dan penghasut utama pemberontakan terhadap Khalifah Utsman.
Namun, kredibilitas Saif bin Umar sebagai perawi sejarah banyak dipertanyakan oleh para ahli hadis dan sejarah. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib at-Tahdzib menyatakan bahwa Saif adalah “dhaif” (lemah) dan dituduh sebagai pemalsu hadis (Hajar, 1996). Bahkan al-Tabari yang mengandalkan riwayat Saif, mengakui adanya kelemahan dalam sanad dan detail informasi (Tabari, 1989). Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Abdullah bin Saba’ benar-benar ada, atau sekadar tokoh fiktif untuk mengkambinghitamkan konflik politik?
Konstruksi Politik dalam Historiografi Islam
Peneliti modern seperti M. Ali Amir-Moezzi dan Wilferd Madelung memandang sosok Abdullah bin Saba’ sebagai mitos yang dikonstruksi untuk mendeligitimasi awal kemunculan Syiah (Madelung, 1997; Amir-Moezzi, 2011). Menurut mereka, sejarah Islam awal ditulis dalam konteks dominasi ideologi Sunni, yang berusaha menjelaskan perpecahan internal umat melalui tokoh antagonis eksternal.
Konstruksi ini sejalan dengan teori Michel Foucault tentang wacana dan kekuasaan. Sejarah bukan sekadar kronik peristiwa, melainkan hasil dari kuasa epistemik yang memilih dan mengarahkan narasi untuk tujuan tertentu (Foucault, 2002). Dalam konteks ini, Abdullah bin Saba’ menjadi scapegoat politik yang ideal—asing, subversif, dan mudah disalahkan.
Abdullah bin Saba’ sebagai Simbol Ketakutan Kolektif
Terlepas dari soal keberadaannya, tokoh ini berfungsi sebagai simbol dari ketakutan kolektif terhadap pengkhianatan dalam tubuh umat. Ia menjadi “other” yang ditakuti, sejenis tokoh yang selalu muncul dalam sejarah sebagai penyebab kekacauan. Dalam mitologi politik, simbol semacam ini diperlukan untuk menjelaskan keruntuhan, dan sekaligus memurnikan pihak internal dari kesalahan.
Joseph Massad menyebut mekanisme ini sebagai “internal orientalism”—proses di mana umat menciptakan ‘musuh dalam selimut’ yang menjelaskan konflik sebagai akibat dari infiltrasi unsur asing (Massad, 2007). Dalam hal ini, Abdullah bin Saba’ adalah tokoh ‘asing’ yang digunakan untuk menutupi fakta bahwa konflik antara Ali dan Muawiyah, atau antara pendukung Utsman dan oposisi, adalah konflik politik internal yang kompleks.
Narasi Alternatif dari Tradisi Syiah
Tradisi Syiah sendiri nyaris tidak mengakui keberadaan Abdullah bin Saba’. Beberapa ulama Syiah awal seperti Al-Nawbakhti dalam Firaq al-Syi’ah hanya menyebut namanya secara sepintas, itu pun tanpa memberi peran besar dalam sejarah (Nawbakhti, 1993). Bahkan ada dugaan bahwa pengaitan Abdullah bin Saba’ dengan Syiah adalah bagian dari demonisasi kelompok tersebut sejak awal sejarahnya.
Abdulaziz Sachedina berpendapat bahwa Syiah awal berkembang sebagai respons teologis dan politis terhadap marginalisasi keluarga Nabi, bukan karena hasutan sosok radikal semacam Abdullah bin Saba’ (Sachedina, 1988). Artinya, gerakan Syiah tidak lahir karena provokasi individu, melainkan dari realitas politik pasca wafatnya Nabi Muhammad.
Historiografi Kritis dan Tantangan Masa Kini
Masalah Abdullah bin Saba’ menunjukkan perlunya pendekatan historiografi kritis dalam membaca sejarah Islam. Para sejarawan kontemporer seperti Fred Donner dan Patricia Crone menyerukan pentingnya analisis lintas sumber, baik teks klasik maupun temuan arkeologis, untuk memahami sejarah Islam awal secara lebih objektif (Donner, 2010; Crone, 2004). Mereka mengajak untuk membedakan antara sejarah sebagai fakta dan sejarah sebagai narasi.
Dalam konteks Indonesia, diskursus semacam ini penting agar umat tidak terjebak dalam romantisme sejarah atau kebencian sektarian. Isu-isu klasik seperti ini kerap dijadikan bahan bakar untuk konflik identitas yang sebetulnya telah kehilangan relevansinya. Sejarah harus menjadi pelajaran, bukan alat propaganda.
Pembelajaran dari Kontroversi Sejarah
Abdullah bin Saba’ bukan sekadar soal keberadaan atau ketidakberadaannya. Ia adalah cermin dari bagaimana umat Islam membaca sejarahnya sendiri—apakah dengan pendekatan kritis, atau dengan kacamata ideologis sempit. Mengutip Khaled Abou El Fadl, membaca sejarah secara etis adalah bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral umat (Abou El Fadl, 2007).
Saat ini, ketika konflik sektarian masih mengakar di berbagai tempat, termasuk Timur Tengah dan beberapa wilayah Asia, penting bagi umat Islam untuk mengedepankan pendekatan sejarah yang menyejukkan dan membangun. Narasi-narasi antagonistik seperti Abdullah bin Saba’ harus diletakkan dalam konteks politik zamannya, bukan dijadikan dalih untuk saling mencurigai.
Menutup Tirai Mitos
Abdullah bin Saba’, dengan segala kontroversinya, menjadi simbol bagaimana sejarah bisa dipolitisasi. Kisahnya mengingatkan kita akan pentingnya skeptisisme intelektual dan pentingnya membangun narasi sejarah yang adil, akurat, dan bebas dari kepentingan dominasi.
Membuka kembali sejarah Islam awal dengan pendekatan akademik, bukan sektarian, adalah langkah penting dalam membangun kesadaran umat yang dewasa dan bertanggung jawab. Dengan demikian, sejarah menjadi guru, bukan penjaga dendam.
Referensi
- Abou El Fadl, K. (2007). The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Books. Lanham: Rowman & Littlefield.
- Amir-Moezzi, M. A. (2011). The Spirituality of Shi’i Islam: Beliefs and Practices. London: I.B. Tauris.
- Anthony, S. (2021). Forging History: The Origins of Shi’a-Sunni Conflict. New York: Routledge.
- Crone, P. (2004). God’s Rule: Government and Islam. New York: Columbia University Press.
- Donner, F. M. (2010). Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam. Cambridge: Harvard University Press.
- Foucault, M. (2002). The Archaeology of Knowledge. London: Routledge.
- Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. (1996). Tahdzib at-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr.
- Madelung, W. (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press.
- Massad, J. (2007). Desiring Arabs. Chicago: University of Chicago Press.
- Nawbakhti, A. (1993). Firaq al-Syi’ah. Tehran: Al-Maktabah al-Mar’ashiyah.
- Sachedina, A. (1988). Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in Twelver Shi’ism. Albany: SUNY Press.
- Al-Tabari, M. (1989). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Cairo: Dar al-Ma’arif.
- Walker, P. E. (2013). Exploring an Islamic Empire: Fatimid History and Its Sources. London: I.B. Tauris.
- Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic Thought in a Radical Age. Cambridge: Cambridge University Press.
- Williams, J. A. (2016). Islam: Theory and Practice. Oxford: Oneworld Publications.