Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Dalam sejarah peradaban manusia, pemimpin zalim bukan sekadar figur otoriter yang memerintah dengan tangan besi, melainkan cerminan dari kekuasaan yang kehilangan legitimasi moral. Zalim, dalam pengertian etimologisnya, berasal dari akar kata zulm yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya—suatu bentuk ketidakadilan yang sistemik. Ketika pemimpin tidak lagi menjadi pelayan rakyat, melainkan menjadi tuan atas mereka, lahirlah wajah kepemimpinan yang menakutkan: kekuasaan yang memperalat hukum, menindas kebenaran, dan membungkam suara nurani.
Pemimpin seperti ini menjadi ancaman bukan hanya bagi rakyat, tetapi bagi fondasi negara itu sendiri. Negara yang dipimpin dengan kezaliman akan membusuk dari dalam. Dalam konteks demokrasi, kezaliman bisa berwujud dalam manipulasi konstitusi, kriminalisasi oposisi, pembiaran terhadap korupsi, hingga propaganda pencitraan yang membutakan akal sehat rakyat (Levitsky & Ziblatt, 2018).
Ketika Hukum Tak Lagi Netral
Hukum adalah instrumen yang semestinya menjaga keadilan dan menjadi penyeimbang kekuasaan. Namun, dalam rezim yang zalim, hukum justru menjadi alat kekuasaan. Kezaliman tumbuh subur ketika hukum berpihak kepada penguasa, bukan pada kebenaran (Acemoglu & Robinson, 2019). Ketika aparat penegak hukum menjadi bagian dari mesin politik penguasa, maka prinsip rule of law bergeser menjadi rule by law.
Fenomena ini bukan sekadar hipotesis. Berbagai studi menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat keadilan hukum yang rendah cenderung memiliki kepemimpinan yang represif (UNDP, 2023). Misalnya, laporan World Justice Project (2024) menunjukkan bahwa penurunan skor keadilan hukum berbanding lurus dengan meningkatnya praktik-praktik otoritarianisme.
Pemimpin zalim kerap menggunakan hukum sebagai tameng legitimasi. Hukum dibengkokkan untuk memenjarakan lawan politik, membungkam kritik, atau menghapus jejak kejahatan struktural. Ketika integritas lembaga peradilan dikorbankan demi kekuasaan, maka yang tersisa hanyalah legalisme tanpa keadilan (Butt, 2020).
Demokrasi Semu dan Zalim yang Berkedok
Di era modern, kezaliman tak selalu hadir dalam bentuk diktator klasik. Pemimpin zalim kini bisa tampil dengan wajah demokratis. Mereka dipilih lewat pemilu, tampil di media dengan senyum ramah, dan berbicara soal reformasi. Namun di balik layar, mereka mengendalikan media, menekan kebebasan sipil, dan mengatur hasil pemilu demi memperpanjang kekuasaan (Freedom House, 2024).
Inilah yang disebut sebagai electoral authoritarianism (Schedler, 2006). Kekuasaan dijalankan atas nama rakyat, tapi tanpa kedaulatan rakyat. Demokrasi direduksi menjadi sekadar ritual lima tahunan. Dalam demokrasi semu seperti ini, kezaliman justru mendapatkan legitimasi.
Pemimpin zalim dalam demokrasi semu sangat lihai memainkan pencitraan. Mereka membangun narasi kepahlawanan, padahal kenyataannya mereka memperluas kontrol atas institusi negara. Propaganda digunakan untuk membungkam kritik, sementara disinformasi dijadikan alat untuk membingkai kebenaran semu (Tufekci, 2023).
Rakyat yang Diam, Kezaliman yang Menjadi Norma
Kezaliman tidak akan tumbuh subur tanpa tanah yang mendukung: ketakutan rakyat, apatisme publik, dan kooptasi elite. Ketika rakyat diam, kezaliman menjadi norma. Hannah Arendt (1963) menyebut bahwa kejahatan terbesar dalam sejarah manusia justru dilakukan bukan oleh monster, tapi oleh manusia biasa yang “hanya menjalankan perintah”.
Ketaatan membabi buta, rasa takut terhadap kekuasaan, dan hilangnya keberanian sipil adalah pupuk bagi kezaliman. Dalam konteks ini, pemimpin zalim tidak sendirian. Ia dibantu oleh sistem birokrasi yang patuh, intelektual yang oportunis, dan rakyat yang terpecah belah (Gurr, 2022).
Sosiolog Pierre Bourdieu (1991) mengingatkan bahwa dominasi tidak selalu bersifat koersif; sering kali ia berlangsung secara simbolik, melalui bahasa, wacana, dan norma. Pemimpin zalim menggunakan simbol, agama, atau sejarah untuk membenarkan kekuasaan mereka. Rakyat dikondisikan untuk tidak berpikir kritis, melainkan tunduk dalam kesetiaan yang buta.
Agama dan Etika dalam Menghadapi Kezaliman
Dalam Islam, kezaliman adalah dosa besar yang mengundang murka Tuhan. Nabi Muhammad bersabda, “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat” (H.R. Bukhari dan Muslim). Pemimpin yang zalim bukan hanya mencelakakan dirinya, tetapi juga membawa kehancuran pada umatnya (Shihab, 2021).
Dalam perspektif Kristen, ajaran Yesus juga menyerukan keadilan dan mengutuk pemimpin yang menindas. Dalam ajaran Buddha, kekuasaan yang penuh keserakahan dan kebencian adalah bentuk ketidaksadaran spiritual. Artinya, lintas tradisi agama mengutuk kezaliman dan mendorong kepemimpinan berbasis welas asih dan keadilan (Eck, 2022).
Etika publik menuntut pemimpin untuk bertindak berdasarkan integritas, bukan ambisi. Etika politik yang diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti John Rawls dan Amartya Sen menempatkan keadilan sebagai prinsip dasar dalam kehidupan publik (Rawls, 1999; Sen, 2009). Pemimpin zalim adalah antitesis dari prinsip tersebut.
Sejarah Tak Pernah Lupa
Dari Firaun hingga Hitler, dari Nero hingga Mussolini, sejarah penuh dengan catatan kelam para pemimpin zalim. Mereka sering kali naik dengan dukungan rakyat, tapi jatuh karena keangkuhan mereka sendiri. Kezaliman mungkin menang dalam jangka pendek, tetapi tidak akan bertahan selamanya.
Studi sejarah menunjukkan bahwa rezim yang menindas cenderung berumur pendek dan berakhir tragis (Diamond, 2019). Kezaliman tidak menciptakan stabilitas, melainkan membangun bom waktu berupa krisis legitimasi, perlawanan rakyat, dan kehancuran sosial.
Pemimpin zalim, meski tampak kuat di permukaan, pada dasarnya rapuh. Mereka bergantung pada sistem kontrol, bukan pada cinta rakyat. Ketika rakyat sadar dan bangkit, kezaliman akan runtuh seperti menara pasir.
Membangun Kesadaran, Menolak Kezaliman
Tugas kita sebagai warga negara bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga mengawasi mereka. Demokrasi bukan hanya hak suara, tetapi juga hak untuk bersuara. Kezaliman hanya bisa dilawan dengan kesadaran, keberanian, dan solidaritas publik.
Aktivisme sipil, jurnalisme independen, pendidikan kritis, dan gerakan masyarakat adalah pilar penting dalam membangun perlawanan terhadap kezaliman (Cammaerts, 2022). Kita tidak bisa berharap keadilan turun dari langit; ia harus diperjuangkan di bumi.
Dalam kata-kata Martin Luther King Jr., “Ketidakadilan di satu tempat adalah ancaman bagi keadilan di mana pun.” Maka, ketika kita diam melihat kezaliman, kita bukan hanya menjadi korban, tapi juga menjadi bagian dari masalah.
Referensi
- Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2019). The narrow corridor: States, societies, and the fate of liberty. New York, NY: Penguin Press.
- Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. New York, NY: Viking Press.
- Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power. Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Butt, S. (2020). Corruption and law in Indonesia. London, UK: Routledge.
- Cammaerts, B. (2022). Post-truth politics and the emotional turn in democracy. London, UK: Palgrave Macmillan.
- Diamond, L. (2019). Ill winds: Saving democracy from Russian rage, Chinese ambition, and American complacency. New York, NY: Penguin.
- Eck, D. L. (2022). Encountering God: A spiritual journey from Bozeman to Banaras. Boston, MA: Beacon Press.
- Freedom House. (2024). Freedom in the World 2024: Democracy in Decline. Washington, DC: Freedom House.
- Gurr, T. R. (2022). Why men rebel. London, UK: Routledge.
- Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. New York, NY: Crown Publishing.
- Quraisy Shihab, M. (2021). Wawasan al-Qur’an: Tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat. Jakarta: Lentera Hati.
- Rawls, J. (1999). A theory of justice (rev. ed.). Cambridge, MA: Belknap Press.
- Schedler, A. (2006). Electoral authoritarianism: The dynamics of unfree competition. Boulder, CO: Lynne Rienner.
- Sen, A. (2009). The idea of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Tufekci, Z. (2023). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. New Haven, CT: Yale University Press.
- UNDP. (2023). Human Development Report 2023: Reimagining democratic governance. New York, NY: United Nations Development Programme.
- World Justice Project. (2024). Rule of Law Index 2024. Washington, DC: WJP.