Api Islam: Telaah Pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Ahmad Mansur Suryanegara, seorang sejarawan Muslim kontemporer Indonesia, hadir membawa bara api pembebasan intelektual melalui perspektif Islam dalam membaca sejarah bangsa. Pemikirannya menantang dominasi narasi sejarah sekuler yang selama ini mendominasi kurikulum pendidikan nasional. Melalui karyanya, terutama Api Sejarah, Suryanegara menyulut kesadaran historis umat Islam untuk memahami sejarah Indonesia dengan roh tauhid dan semangat perlawanan terhadap penjajahan.

Menurut Suryanegara (2010), sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran sentral umat Islam. Namun, dalam konstruksi sejarah arus utama, peran Islam kerap direduksi atau bahkan dihilangkan. Dalam perspektifnya, pembacaan sejarah harus dilandasi oleh nilai-nilai keimanan dan keberpihakan terhadap kebenaran. Hal ini selaras dengan gagasan Al-Attas (1993) tentang pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah.

Dekonstruksi Sejarah Kolonial: Antara Fakta dan Ideologi

Salah satu kontribusi paling penting dari Ahmad Suryanegara adalah dekonstruksi terhadap narasi sejarah kolonial. Ia menolak pendekatan positivistik dan netralitas semu dalam historiografi Barat. Dalam pandangannya, sejarah kolonial tidaklah objektif, melainkan sarat dengan kepentingan ideologis yang merugikan umat Islam (Suryanegara, 2010). Ini sejalan dengan pendapat Said (1994) dalam Culture and Imperialism, bahwa ilmu pengetahuan kolonial tidak bebas dari bias kekuasaan.

Pendekatan Suryanegara bersifat kritis dan hermeneutik. Ia membaca dokumen-dokumen sejarah dengan menyandingkannya bersama sumber-sumber Islam klasik dan lokal. Misalnya, peran para ulama dan pesantren dalam memimpin perlawanan terhadap kolonialisme Belanda bukan sekadar episode heroik, melainkan manifestasi dari ajaran Islam tentang jihad dan amar ma’ruf nahi munkar (Alatas, 2017).

Ulama dan Nasionalisme Islam

Salah satu fokus utama dalam pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara adalah hubungan antara Islam dan nasionalisme. Ia menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dari rahim Islam, bukan dari sekularisme Eropa. Dalam konteks ini, organisasi-organisasi Islam seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia (Burhani, 2020).

Pandangan ini menantang asumsi umum yang memisahkan agama dan kebangsaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Suryanegara (2010), para ulama tidak hanya terlibat dalam ranah spiritual, tetapi juga aktif dalam medan politik, pendidikan, dan sosial. Ini membuktikan bahwa Islam tidak menghambat kemajuan bangsa, melainkan justru menjadi penggeraknya.

Dalam banyak karyanya, termasuk ceramah-ceramah publik, Suryanegara menampilkan figur-figur pejuang Muslim seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, K.H. Hasyim Asy’ari, dan K.H. Ahmad Dahlan sebagai teladan perjuangan Islam yang integral dengan semangat kebangsaan (Lubis, 2023). Sejarah mereka bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi energi moral yang dapat membangkitkan peradaban.

Islam dan Pendidikan Sejarah

Salah satu kritik tajam Suryanegara tertuju pada kurikulum sejarah nasional yang dinilainya menjauhkan pelajar dari identitas Islam. Ia berpendapat bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah banyak menghilangkan kontribusi umat Islam dan terlalu menekankan peran tokoh-tokoh sekuler (Wibowo, 2021). Hal ini menyebabkan generasi muda mengalami alienasi identitas dan krisis jati diri.

Dalam konteks ini, pemikiran Suryanegara mendapat dukungan dari para pendidik Islam kontemporer seperti Nasir (2020) yang menekankan pentingnya integrasi antara ilmu umum dan nilai-nilai Islam dalam pendidikan. Kurikulum sejarah harus direvisi agar mencerminkan nilai-nilai tauhid, keadilan, dan perjuangan moral dalam membangun bangsa.

Sebagaimana disampaikan oleh Al-Faruqi (1992), pendidikan Islam harus menanamkan pandangan dunia Islam yang integral. Maka, pendidikan sejarah tidak boleh semata menjadi alat narasi kekuasaan sekuler, tetapi harus menjadi ruang pembentukan kesadaran spiritual dan sosial umat.

Relevansi Api Islam dalam Konteks Kontemporer

Pemikiran Ahmad Suryanegara tidak berhenti pada kajian akademik, tetapi memiliki dampak praksis yang luas. Di tengah krisis identitas generasi muda, narasi Islam yang dibawanya menjadi alternatif yang kuat untuk mengisi kekosongan ideologis. Ia menawarkan sejarah sebagai medium dakwah dan kebangkitan umat.

Konsep “api Islam” bukan sekadar metafora, tetapi semangat yang menggerakkan umat menuju pencerahan. Dalam konteks kekinian, ketika sekularisme, materialisme, dan relativisme nilai semakin dominan, pemikiran Suryanegara hadir sebagai penawar sekaligus tantangan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sardar (2018), umat Islam membutuhkan paradigma baru dalam memahami sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan. Ahmad Mansur Suryanegara telah membuka jalan ke arah itu. Kini, tinggal bagaimana umat Islam dan para intelektual Muslim meneruskan dan mengembangkan warisannya.

Kritik dan Tantangan terhadap Pendekatan Suryanegara

Meskipun dihargai luas, pendekatan Ahmad Mansur Suryanegara tidak lepas dari kritik. Beberapa akademisi menilai pendekatannya terlalu apologetik dan bias ideologis. Misalnya, menurut Abdullah (2022), pendekatan historis Islamis seringkali mengabaikan kompleksitas sosial-politik dan cenderung menarasikan sejarah secara hitam-putih.

Namun, kritik ini perlu dilihat secara proporsional. Semua pendekatan sejarah pasti membawa nilai dan perspektif. Yang penting adalah transparansi metodologis dan keterbukaan terhadap sumber. Dalam hal ini, Suryanegara telah menunjukkan etos intelektual yang tinggi dengan merujuk pada berbagai sumber primer dan sekunder yang luas.

Lebih dari itu, pemikirannya menjadi koreksi terhadap dominasi sejarah sekuler yang telah berlangsung lama. Pendekatan historis yang berakar pada Islam justru membuka ruang pluralitas epistemologis dalam ilmu sejarah (Asad, 2003).

Kesadaran Sejarah sebagai Jalan Kebangkitan Umat

Ahmad Mansur Suryanegara percaya bahwa kesadaran sejarah adalah prasyarat kebangkitan umat. Tanpa mengenal jati diri dan sejarah perjuangannya, umat Islam akan mudah terombang-ambing oleh arus zaman. Dalam pandangannya, sejarah adalah cermin masa lalu sekaligus kompas masa depan.

Ia sering mengutip ayat Al-Qur’an, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” (Q.S. Yusuf: 111), sebagai dasar bahwa sejarah bukan hanya kajian masa silam, tetapi pelajaran ilahiah untuk membimbing umat dalam menata masa kini dan masa depan (Khan, 2015).

Dengan demikian, pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara tidak hanya menawarkan rekonstruksi sejarah, tetapi juga memberikan fondasi spiritual bagi gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Ia adalah jembatan antara masa lalu yang gemilang dan masa depan yang penuh harapan.

Penutup: Menjaga Api, Menyalakan Harapan

Ahmad Suryanegara bukan hanya penulis sejarah, tetapi penyulut kesadaran. Ia membawa “api Islam” yang membakar sekat-sekat ideologi sekuler dan menghidupkan kembali semangat perjuangan Islam dalam membangun peradaban. Ia adalah saksi sekaligus penggerak kebangkitan sejarah Islam di Indonesia.

Tugas kita hari ini adalah menjaga api itu tetap menyala. Menjadikannya suluh dalam kegelapan zaman. Api Islam bukanlah simbol kekerasan, melainkan cahaya petunjuk, keberanian berpikir, dan komitmen terhadap keadilan. Dalam bara pemikiran Ahmad Suryanegara, kita temukan harapan bagi Indonesia yang berakar pada iman, ilmu, dan sejarah yang jujur.


Referensi

  • Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
  • Al-Faruqi, I. R. (1992). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon: IIIT.
  • Alatas, S. H. (2017). Islam dan Tantangan Modernisasi. Jakarta: LP3ES.
  • Abdullah, T. (2022). Sejarah sebagai Kritik Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Asad, T. (2003). Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford: Stanford University Press.
  • Burhani, A. N. (2020). Islam Nusantara: Dari Konsep ke Gerakan. Jakarta: Mizan.
  • Khan, M. A. (2015). Quranic Studies in Historical Context. Oxford: Oxford University Press.
  • Lubis, H. A. (2023). Ulama dan Nasionalisme di Indonesia. Bandung: Marjin Kiri.
  • Nasir, M. (2020). Pendidikan Islam dan Rekonstruksi Identitas. Jakarta: Kencana.
  • Said, E. W. (1994). Culture and Imperialism. New York: Vintage.
  • Sardar, Z. (2018). Reclaiming Modernity: Muslim Thought for the Future. London: Hurst & Co.
  • Suryanegara, A. (2010). Api Sejarah 1. Bandung: Salamadani.
  • Suryanegara, A. M. (2011). Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani.
  • Wibowo, B. (2021). Kurikulum dan Politik Sejarah Nasional. Jakarta: Prenadamedia.
  • Zaman, M. Q. (2020). Islam in the Modern World. Princeton: Princeton University Press.