Waspada Penyalahgunaan NIK dan NPWP

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Di era digital yang serba cepat, identitas kita — yang dulu aman di dompet — kini menjadi aset bernilai tinggi di dunia maya. Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sering diminta saat mengurus administrasi, membuka rekening, atau mengakses layanan keuangan. Namun, kedua nomor itu juga menjadi pintu masuk besar bagi penyalahgunaan: mulai dari pengajuan kredit tanpa izin hingga macet di pihak korban (Direktorat Jenderal Pajak, 2024).

Dua faktor membuat NIK dan NPWP sangat rentan. Pertama, keduanya unik dan permanen: NIK melekat seumur hidup, NPWP menjadi identitas fiskal profesional yang tetap digunakan (Undang-Undang Republik Indonesia, 2022). Kedua, kombinasi NIK, nama lengkap, foto KTP/NPWP, dan nomor telepon sering kali cukup untuk membuka layanan daring—terutama layanan nonbank dengan verifikasi lemah (Otoritas Jasa Keuangan, 2024). Bila data jatuh ke tangan yang salah, korban bisa menerima tagihan atas nama mereka, mengalami skor kredit rusak, hingga harus mengurus nama baiknya kembali (Tempo, 2024).

Rekam kebocoran data berulang menunjukkan bahwa ini bukan masalah teknis semata. Setiap tahun, puluhan hingga ratusan dugaan kebocoran data muncul, dengan sektor pemerintahan, keuangan, dan teknologi informasi menjadi yang paling sering terdampak (Badan Siber dan Sandi Negara, 2024). Dampaknya meluas: menurunkan kepercayaan publik, meningkatkan biaya pemulihan, dan mempermudah eksploitasi siber (Tempo, 2024).

Secara hukum, Indonesia telah mengatur perlindungan data melalui UU Pelindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022), yang memberi hak kepada warga untuk menuntut kompensasi jika data mereka diproses secara ilegal dan mewajibkan pengelola data menerapkan keamanan serius (Undang-Undang Republik Indonesia, 2022). Namun demikian, kendala implementasi, sumber daya, dan kesiapan budaya compliance masih menjadi penghambat utama (Hukumonline, 2023). Karena itu, literasi data dan langkah preventif masyarakat menjadi krusial (Komdigi, 2024).

Modus penyalahgunaan NIK dan NPWP beragam: dari ajukan kredit/KPR atas nama orang lain, klaim pajak fiktif, hingga dokumen perpajakan palsu (Direktorat Jenderal Pajak, 2024). Social engineering, agen palsu, dan pinjol ilegal tetap menjadi saluran utama penyalahgunaan (Otoritas Jasa Keuangan, 2024). Banyak korban baru menyadari ketika tagihan muncul—maka, individu perlu menjaga foto KTP/NPWP, tidak membagikannya di WhatsApp atau formulir online meragukan (Hukumonline, 2022).

Pencegahan harus dari tiga arah: individu, penyelenggara, dan regulator. Individu perlu berhati-hati: jangan unggah identitas secara publik, verifikasi agen yang meminta data secara langsung, aktifkan notifikasi transaksi, dan cek catatan kredit melalui SLIK OJK bila curiga terkena penyalahgunaan (Antara News, 2024). Bila terjadi, segera laporkan ke OJK maupun aparat penegak hukum (Suara Surabaya, 2024).

Penyelenggara layanan, terutama institusi keuangan dan digital, wajib menerapkan privacy by design: verifikasi multi-faktor, enkripsi data, audit keamanan berkala, dan akses internal terbatas (Komdigi, 2024). Pengabaian akan berujung pada sanksi baik administratif maupun perdata berdasarkan UU PDP (Badan Siber dan Sandi Negara, 2024).

Regulator perlu bersinergi: memblokir penyebaran tautan data bocor, menindak pinjol ilegal, serta menghukum perantara jual-beli data (Otoritas Jasa Keuangan, 2024). Selain itu, penting juga meluncurkan literasi digital nasional dan program sertifikasi keamanan layanan (Komdigi, 2024). Tanpa ini, korban akan terus berjatuhan, dan biaya sosial ekonomi meningkat (Tempo, 2024).

Ada kekhawatiran bahwa pembatasan data akan menghambat ekonomi digital. Padahal, negara-negara sukses membuktikan bahwa layanan efisien tetap bisa berkembang dengan membangun kepercayaan publik melalui perlindungan data yang kredibel (Undang-Undang Republik Indonesia, 2022). Dengan regulasi yang baik dan teknologi mumpuni, inovasi tidak harus mengorbankan keamanan (Komdigi, 2024).

Kewaspadaan terhadap penyalahgunaan NIK dan NPWP bukan sekadar soal administrasi; ia soal martabat warga negara—siapa yang berhak atas nama dan riwayat hidup seseorang. Mengembalikan kontrol atas data pribadi, menegakkan aturan bagi pihak lalai, serta menumbuhkan budaya tanggung jawab dalam pengelolaan data adalah kewajiban bersama (Hukumonline, 2023).

Berikut langkah praktis yang segera bisa dilakukan:

  1. Publikasikan panduan aman berbagi data oleh instansi resmi.
  2. Wajibkan audit keamanan tahunan bagi layanan yang mengelola data identitas.
  3. Sediakan mekanisme aduan yang cepat dan transparan bagi korban.
  4. Perkuat sanksi terhadap pelaku jual-beli data dan pinjol ilegal.
  5. Kampanye literasi digital sejak sekolah menengah.

Jika ini dijalankan sungguh-sungguh, bukan sekadar menjaga angka—kita menjaga kepercayaan yang menjadi pondasi kehidupan bermasyarakat di era digital.


Referensi