Tuhan Orang Gila

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Di pojok kota yang riuh oleh klakson dan ambisi, seseorang berjalan tanpa sepatu, bercakap sendiri dengan langit, lalu duduk dan berkata lirih, “Tuhan telah turun di gang sempit itu. Tapi kalian terlalu waras untuk menyapanya.” Orang-orang menatapnya iba. Sebagian tertawa, sebagian menghindar. Ia dianggap gila. Tapi, apakah mungkin orang yang dianggap gila itu justru sedang waras dengan cara yang tak kita mengerti?

Ada kalimat populer dari Friedrich Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra (1883): “Tuhan telah mati.” Namun di buku The Gay Science, Nietzsche memperkenalkan sosok “orang gila” yang meneriakkan kematian Tuhan di pasar, justru kepada orang-orang yang mengaku telah meninggalkan Tuhan. Ironisnya, sang “gila” itu bukan ateis. Ia justru mencari Tuhan di tengah masyarakat yang sudah melupakannya. Di situ, Nietzsche memelintir logika sosial: mungkin yang dianggap gila oleh masyarakat justru satu-satunya yang benar-benar sadar akan kehilangan Tuhan (Nietzsche, 2001).

Pertanyaan besarnya: apakah “kegilaan” itu bisa menjadi bentuk lain dari iman? Atau, lebih tajam lagi, mungkinkah orang-orang gila memiliki hubungan lebih jujur dengan Tuhan dibanding manusia modern yang tenggelam dalam algoritma dan kalkulasi untung rugi?


Iman dan Kewarasan: Sebuah Paradoks

Dalam dunia yang mendewakan rasionalitas, iman sering kali dipandang sebagai hal irasional. Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness (1956) menyebut iman sebagai bentuk “penipuan diri” — menutup lubang ketidaktahuan dengan Tuhan. Tapi dalam paradoks ini, iman justru menjadi bukti keberanian untuk hidup dengan ketidakpastian.

Sementara itu, Michel Foucault dalam Madness and Civilization (1965) menunjukkan bahwa kegilaan di masa lalu sering dianggap sebagai bentuk wahyu atau keterhubungan spiritual dengan sesuatu yang transenden. Di abad pertengahan, “orang gila” kadang dilihat sebagai utusan Tuhan, atau orang yang disentuh oleh yang Ilahi (Foucault, 2006).

Ketika zaman berganti dan ilmu kedokteran modern hadir, kegilaan direduksi menjadi gangguan neurotransmitter. Padahal, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam — sesuatu yang spiritual. Carl Jung dalam Modern Man in Search of a Soul (1933) bahkan menulis bahwa beberapa kasus skizofrenia mengandung struktur simbolik yang menyerupai mitologi religius (Jung, 1933). Ini memberi ruang pada kemungkinan bahwa ada komunikasi simbolik antara penderita gangguan jiwa dan “sesuatu yang lebih tinggi”.


Suara Tuhan di Rumah Sakit Jiwa

Sebuah studi etnografi oleh Tanya Marie Luhrmann dari Stanford University meneliti perbedaan pengalaman mendengar suara Tuhan antara pasien skizofrenia di Amerika dan India. Di India, banyak pasien mendeskripsikan suara-suara itu sebagai ramah, religius, atau berasal dari roh leluhur. Di Barat, suara-suara itu lebih sering digambarkan menghina dan mengancam (Luhrmann, 2012). Ini menunjukkan bahwa persepsi suara “Tuhan” atau makhluk spiritual juga dibentuk oleh budaya.

Jadi, apakah mungkin rumah sakit jiwa menyimpan orang-orang yang memiliki hubungan spiritual yang tak kita pahami? Mungkinkah mereka bukan mendengar halusinasi, tapi mendengar sesuatu yang kita telah mati rasa untuk merasakannya?


Kenabian dan Kegilaan: Garis Tipis

Dalam banyak kisah kenabian, para nabi awalnya dianggap gila oleh kaumnya. Nabi Nuh ditertawakan karena membangun kapal di tengah gurun. Nabi Muhammad disebut penyair gila oleh kaum Quraisy (QS. At-Tur: 30). Bahkan dalam Injil, Yesus dikatakan keluarganya sebagai “di luar akal” (Markus 3:21).

Badiou (2003) menyebut iman sebagai bentuk “kebenaran radikal” yang tak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Dan inilah yang membuat iman sering kali tampil sebagai kegilaan dalam masyarakat rasional. Yang gila bukan imannya, tapi masyarakat yang kehilangan daya untuk memahami sesuatu yang tak terukur.


Ketika Kapitalisme Menghapus Tuhan

Di dunia kapitalistik, segala sesuatu diukur dengan nilai guna. Tuhan pun dipasarkan. Ada “Tuhan untuk karier”, “Tuhan untuk kekayaan”, “Tuhan untuk ketenangan psikologis”. Dalam lanskap seperti ini, orang gila yang berdialog dengan Tuhan tanpa pamrih menjadi anomali. Ia tidak menjadikan Tuhan sebagai alat. Ia berbicara karena cinta, bukan transaksi.

Zygmunt Bauman (2007) menyebut era modern sebagai “masyarakat cair” — tak ada yang abadi, bahkan iman. Maka, ketika seseorang masih menggenggam Tuhan dengan cara yang polos, mungkin bahkan “gila”, ia justru sedang melawan arus zaman.


Teologi Kesaksian di Jalanan

Orang gila di jalanan kadang menjadi saksi Tuhan secara diam-diam. Ia tidak berkhotbah di mimbar, tapi hidup dalam absurditas yang membongkar hipokrisi kita. Saat ia memeluk selembar kardus dan berbicara dengan angin, mungkin ia sedang lebih jujur dari kita yang pura-pura bahagia dengan gawai mahal.

Teolog Johann Baptist Metz dalam Faith in History and Society (1980) memperkenalkan “teologi kesaksian” — sebuah konsep bahwa Tuhan hadir dalam penderitaan, dalam luka sejarah, dan dalam suara-suara yang direpresi masyarakat. Mungkin, “orang gila” itu bukan kesalahan sistem, tapi peringatan dari langit.


Perspektif Islam: Majnun dan Cinta Ilahi

Dalam dunia Islam, ada legenda Layla dan Majnun, yang digunakan oleh Jalaluddin Rumi sebagai simbol cinta transendental. Majnun dianggap gila karena cintanya pada Layla. Tapi dalam tafsir sufistik, Layla adalah simbol Tuhan, dan Majnun adalah manusia yang mabuk cinta Ilahi (Schimmel, 1975).

Dalam sufisme, kegilaan karena cinta pada Tuhan bukan aib, tapi kebajikan tertinggi. Al-Hallaj, yang mengatakan “Ana al-Haqq” (Akulah Kebenaran), dianggap gila dan dihukum mati. Tapi ia justru dianggap oleh para sufi sebagai martir cinta Tuhan (Nasr, 2007).


Menggugat Definisi Kewarasan

American Psychiatric Association mendefinisikan gangguan jiwa sebagai penyimpangan dari norma fungsi psikologis yang sehat. Tapi siapa yang menentukan “normal”? Apakah seseorang yang hidup untuk mengejar profit sepanjang hidupnya, namun tak pernah bertanya tentang makna, lebih waras daripada orang yang berbicara dengan Tuhan sepanjang malam?

Thomas Szasz (2010) dalam The Myth of Mental Illness berpendapat bahwa banyak diagnosis gangguan jiwa adalah hasil dari konstruksi sosial, bukan kebenaran medis mutlak. Maka, apa yang dianggap “gila” bisa saja bentuk lain dari spiritualitas yang tak diakui.


Tuhan Tidak Takut Gila

Jika Tuhan hadir di tempat yang tak kita duga — di tubuh yang gemetar di pinggir jalan, di suara yang tergagap tanpa logika — maka tugas kita bukan menertawakannya, tapi mendengarnya. Bukan dengan telinga, tapi dengan hati. Karena mungkin, Tuhan sedang bicara melalui cara yang tak bisa dinalar.

Dalam dunia yang menolak keajaiban, hanya yang gila yang masih percaya mukjizat. Dan dalam masyarakat yang menyembah algoritma, hanya orang-orang seperti “Majnun” yang masih memanggil nama Tuhan di gang-gang sempit.


Referensi

  • Bauman, Z. (2007). Liquid Times: Living in an Age of Uncertainty. Cambridge: Polity Press.
  • Badiou, A. (2003). Saint Paul: The Foundation of Universalism. Stanford: Stanford University Press.
  • Foucault, M. (2006). Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. New York: Vintage.
  • Jung, C. G. (1933). Modern Man in Search of a Soul. New York: Harcourt, Brace.
  • Luhrmann, T. M. (2012). When God Talks Back: Understanding the American Evangelical Relationship with God. New York: Vintage.
  • Metz, J. B. (1980). Faith in History and Society. New York: Crossroad.
  • Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism. New York: HarperOne.
  • Nietzsche, F. (2001). The Gay Science. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Nietzsche, F. (1883). Thus Spoke Zarathustra. Leipzig: Ernst Schmeitzner.
  • Sartre, J. P. (1956). Being and Nothingness. New York: Philosophical Library.
  • Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
  • Szasz, T. (2010). The Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct. New York: Harper Perennial.
  • Quran. Surah At-Tur (52): 30.
  • Bible. Mark 3:21.
  • American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5-TR). Washington, DC: APA Publishing.