Si Kaya dan Si Miskin

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Kita hidup di negeri yang sama, namun pengalaman kemakmuran seringkali seperti dua buku berbeda: salah satu tebal, penuh gambar, dan sampul berlapis; satunya tipis, halaman menguning, dan tepi robek. Perbedaan itu bukan sekadar soal pendapatan bulanan atau akses konsumsi; ia meresap ke pilihan hidup, kesempatan anak, keamanan sosial, dan bahkan martabat sehari-hari. Fenomena jurang antara si kaya dan si miskin bukan sekadar statistik—ia merupakan cerita kolektif yang merekatkan dan merobek tatanan sosial kita (Piketty, 2014; Stiglitz, 2012).

Dalam dekade terakhir, wacana tentang ketimpangan global mendapat momentum baru. Para ekonom besar telah mengingatkan bahwa akumulasi modal, kelemahan sistem perpajakan, dan kekuatan pasar yang terkonsentrasi memperlebar jarak antara pemilik modal besar dan para buruh atau keluarga berpendapatan menengah-bawah (Piketty, 2014; Saez & Zucman, 2019). Data global menunjukkan bahwa di banyak negara kekayaan terakumulasi di tangan segelintir orang, sementara jutaan tetap terperangkap dalam kerentanan ekonomi (Saez & Zucman, 2019; Oxfam, 2024).

Indonesia juga bukan pengecualian. Meskipun pencapaian makro ekonomi sering dirayakan—pertumbuhan yang stabil dan penurunan kemiskinan dalam beberapa dekade—ketimpangan tetap membayangi. Gini Ratio yang diukur BPS pada Maret 2023 sekitar 0,388 menunjukkan distribusi pengeluaran masih jauh dari ideal; ketimpangan di wilayah perkotaan bahkan lebih tinggi (BPS, 2023; World Bank, 2023). Dampak nyata ketimpangan ini terlihat pada akses pelayanan dasar, mobilitas sosial, dan risiko jatuh miskin akibat kejutan ekonomi kecil.

Pandangan Islam: Kekayaan adalah Amanah

Dalam Islam, kekayaan bukanlah milik mutlak manusia, melainkan titipan Allah yang harus dikelola dengan amanah. Al-Qur’an menegaskan: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…” (Q.S. Al-Hadid: 7). Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan atas harta hanyalah bersifat pengelolaan, bukan kepemilikan absolut.

Konsep ini melahirkan dua konsekuensi moral: pertama, larangan menumpuk kekayaan tanpa memberi manfaat sosial; kedua, perintah menyalurkan sebagian harta untuk menolong yang membutuhkan. Nabi Muhammad bersabda: “Bukanlah seorang mukmin yang kenyang sementara tetangganya lapar di sisinya” (H.R. Bukhari dan Muslim). Pesan ini menegaskan bahwa kesejahteraan individu harus diimbangi dengan kepedulian sosial yang nyata.

Dalam fikih, ketimpangan ekonomi diatasi melalui mekanisme distribusi seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Al-Qardhawi, 1999). Zakat, misalnya, tidak hanya berfungsi membersihkan harta, tetapi juga menjadi instrumen distribusi kekayaan yang langsung mengalir kepada delapan golongan penerima (asnaf) sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 60. Dengan kata lain, zakat adalah kebijakan redistribusi yang diwajibkan secara teologis.

Struktur Ketimpangan dan Tanggung Jawab Kolektif

Si kaya dalam pengertian kontemporer bukan hanya mereka yang berlebih dalam barang mewah, melainkan mereka yang menikmati kebebasan pilihan: tempat tinggal aman, layanan kesehatan berkualitas, pendidikan yang membuka akses, serta jaringan sosial yang mendukung peluang usaha. Si miskin, sebaliknya, hidup di batas ketahanan—sedikit tabungan, pekerjaan rentan, dan satu kejutan kesehatan atau ekonomi dapat menjatuhkan kembali ke jurang kemiskinan (Sen, 1999; Wilkinson & Pickett, 2009).

Perbedaan ini memiliki akar struktural. Perubahan teknologi dan pasar tenaga kerja telah menguntungkan keterampilan tertentu, sementara pekerja sektor informal atau dengan pendidikan rendah stagnan (Atkinson, 2015; Piketty, 2020). Kebijakan fiskal yang kurang progresif juga memberi ruang akumulasi kekayaan di puncak piramida (Saez & Zucman, 2019).

Islam memandang bahwa salah satu sebab ketimpangan adalah ihtikar (penimbunan), riba (bunga berlipat), dan distribusi harta yang hanya berputar di kalangan tertentu (kay la yakuna dulatan baina al-aghniyaa minkum (Q.S. Al-Hasyr: 7). Ayat ini menggarisbawahi prinsip keadilan distributif—bahwa kekayaan tidak boleh hanya beredar di tangan segelintir elite.

Implikasi Sosial dan Politik

Ketimpangan yang tajam merusak kohesi sosial dan menghambat pembangunan jangka panjang. Jika akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi terfragmentasi, maka potensi sumber daya manusia tidak teraktualisasi. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang lebih setara memiliki kesehatan lebih baik, tingkat kriminalitas rendah, dan kepercayaan sosial tinggi (Wilkinson & Pickett, 2009).

Islam memberi instrumen moral dan hukum untuk menjaga keseimbangan itu. Konsep mashlahah (kemaslahatan umum) dalam teori maqashid syari’ah menempatkan perlindungan harta (hifzh al-mal) dan perlindungan jiwa (hifzh al-nafs) sebagai tujuan utama hukum. Kebijakan publik yang berpihak pada pemerataan kesempatan dapat dibingkai sebagai upaya mencapai kemaslahatan ini (Chapra, 1992).

Jalan Keluar: Antara Kebijakan Modern dan Prinsip Islam

Solusi modern terhadap ketimpangan mencakup reformasi perpajakan progresif, penguatan layanan publik universal, investasi pendidikan, dan regulasi pasar untuk menahan monopoli (Atkinson, 2015; Piketty, 2020). Dalam kerangka Islam, langkah-langkah ini selaras dengan perintah menegakkan keadilan (al-‘adl) dan tolong-menolong dalam kebajikan (ta‘awun ‘ala al-birr wa al-taqwa, QS. Al-Ma’idah [5]:2).

Instrumen seperti zakat dapat diintegrasikan dengan kebijakan fiskal modern untuk memastikan redistribusi yang sistematis. Program wakaf produktif dapat mendanai pendidikan dan kesehatan gratis bagi kelompok rentan (Kahf, 2003). Sementara itu, sedekah dan infak dapat menjadi katalis solidaritas sosial di luar kewajiban formal.

Dimensi Nilai dan Budaya

Perubahan distribusi kekayaan bukan hanya soal teknis fiskal, tetapi juga pembicaraan nilai bersama. Pilihan politik dan kebijakan adalah cerminan preferensi moral. Islam mengajarkan bahwa kekayaan yang diberkahi adalah kekayaan yang bermanfaat bagi orang lain (khairunnas anfa‘uhum linnas, H.R. Ahmad). Ini mengubah logika kepemilikan menjadi logika pelayanan sosial.

Ketika si kaya melihat harta sebagai amanah untuk kemaslahatan bersama, dan si miskin mendapatkan akses nyata ke peluang, kita sedang menjalankan pesan profetik yang memadukan kesejahteraan dunia dan akhirat. Pada titik inilah pandangan Islam bertemu dengan temuan ekonomi modern: pemerataan bukan hanya baik secara moral, tetapi juga menguntungkan secara kolektif.

Penutup

Si kaya dan si miskin hidup berdekatan—tetapi jarak yang memisahkan mereka bisa dipersempit. Itu bukan tugas satu institusi saja, melainkan tugas generasi. Islam memberi prinsip, ekonomi modern memberi instrumen. Jika keduanya disinergikan, kita tidak hanya membangun pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membangun peradaban yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.


Referensi

  • Atkinson, A. B. (2015). Inequality: What can be done? Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Badan Pusat Statistik. (2023). Gini ratio in March 2023 was 0.388 (Press release). Jakarta: BPS. Retrieved from https://www.bps.go.id
  • Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Leicester, UK: Islamic Foundation.
  • Hill, H. (2014). What’s happened to poverty and inequality in Indonesia over half a century? Manila: Asian Development Bank Institute.
  • Kahf, M. (2003). The role of waqf in improving the ummah welfare. Jeddah: IRTI-Islamic Development Bank.
  • Oxfam. (2024). Inequality Inc.: How corporate power drives unequal wealth and what to do about it. Oxford, UK: Oxfam International.
  • Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Cambridge, MA: Belknap Press.
  • Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A. Goldhammer, Trans.). Cambridge, MA: Belknap Press.
  • Qardhawi, Y. (1999). Fiqh al-zakat. Beirut: Muassasah al-Risalah.
  • Saez, E., & Zucman, G. (2019). The triumph of injustice: How the rich dodge taxes and how to make them pay. New York, NY: W. W. Norton & Company.
  • Sen, A. (1999). Development as freedom. New York, NY: Alfred A. Knopf.
  • Stiglitz, J. E. (2012). The price of inequality. New York, NY: W. W. Norton & Company.
  • The World Bank. (2023). Indonesia overview. Washington, DC: World Bank. Retrieved from https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/overview
  • Wilkinson, R., & Pickett, K. (2009). The spirit level: Why more equal societies almost always do better. London, England: Allen Lane.
  • Qur’an al-Karim. (n.d.). Madinah Mushaf. Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba‘at al-Mushaf al-Sharif.