Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Dalam berbagai tradisi spiritual, termasuk dalam Islam, setan digambarkan bukan hanya sebagai entitas metafisik, melainkan simbol dari kecenderungan manusia yang destruktif: kesombongan, tipu daya, kerakusan, dan manipulasi. Ketika wacana ini dibawa ke dalam dunia politik, bukan berarti memperalat agama untuk menyerang lawan, tetapi mengangkat cermin reflektif tentang bagaimana politik bisa terperangkap dalam godaan “setan politik”.
Setan dalam perspektif Al-Qur’an tidak sekadar penggoda dalam urusan ibadah individual, tetapi juga aktor simbolik dalam percaturan sosial dan kekuasaan. Dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 16-17, setan bersumpah akan menggoda manusia dari segala arah—depan, belakang, kanan, dan kiri—yang oleh para mufassir dipahami sebagai upaya menyusup ke seluruh aspek kehidupan, termasuk politik (Nasution, 2020). Ketika politik hanya menjadi ajang adu siasat dan bukan medan adu gagasan, di sanalah setan berbisik paling nyaring.
Politik sebagai Medan Perang Moral
Dalam sejarah, politik selalu mengandung dimensi moral. Namun moralitas politik kerap dikaburkan oleh kepentingan pragmatis. Hannah Arendt (2019) menyebutkan bahwa kekuasaan yang kehilangan akar etiknya akan cenderung bersifat totaliter. Dengan demikian, politik tidak netral secara nilai. Ketika aktor-aktor politik mulai menormalisasi kebohongan, menyembunyikan agenda tersembunyi, dan membungkus ambisi pribadi dalam narasi publik, maka praktik politik telah jatuh ke dalam wilayah yang bisa disebut sebagai setanisasi politik (Baudrillard, 2018).
Politik yang sehat seharusnya menjadi ekspresi etika kolektif, namun seringkali justru menjadi ekspresi kehendak menguasai yang dikamuflasekan dalam retorika populisme. Godaan akan kekuasaan yang absolut mengingatkan kita pada adagium klasik: power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Acton, 2022).
Simbolisme Setan dalam Wacana Politik
Simbol setan dalam politik tidak selalu muncul sebagai kejahatan frontal. Ia sering menyaru sebagai “malaikat penyelamat” dengan janji-janji manis dan slogan-slogan perubahan yang semu. Machiavelli (2021) dalam The Prince menyatakan bahwa dalam politik, tampil baik seringkali lebih penting daripada menjadi baik. Maka, politisi yang tampil suci di depan publik bisa jadi menyembunyikan agenda gelap di balik layar. Inilah politik setan: menggoda publik dengan citra, tetapi mengingkari kebenaran.
Contoh konkret adalah praktik manipulasi opini publik lewat buzzer, framing media, dan rekayasa citra. Dalam hal ini, Jean Baudrillard (2018) menyebutnya sebagai “hiperrealitas”—di mana publik hidup dalam ilusi tentang kebenaran yang dikonstruksi, bukan kebenaran yang nyata.
Retorika, Kebohongan, dan Kekuasaan
Dalam dunia politik, kata-kata adalah senjata. Namun, ketika retorika digunakan untuk menutupi kebohongan, politik tidak lagi menjadi seni memimpin, melainkan seni menipu. Orwell (2017) dalam Politics and the English Language mengingatkan bahwa bahasa dalam politik sering disusun sedemikian rupa untuk “membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan tampak terhormat.”
Politik semacam ini mereproduksi kebohongan secara sistemik. Saat kebenaran dianggap relatif dan kebohongan dianggap strategi, maka kita sebenarnya sedang menyaksikan kemenangan setan dalam ruang kekuasaan (Zuboff, 2019). Kebenaran tidak lagi menjadi panglima, melainkan hanya alat legitimasi.
Populisme sebagai Tipu Daya Setan Politik
Fenomena populisme kontemporer menjadi lahan subur bagi setan politik untuk tumbuh. Populisme cenderung mengedepankan emosi ketimbang rasionalitas, loyalitas ketimbang kompetensi, dan identitas ketimbang integritas (Mounk, 2018). Dalam atmosfer semacam itu, setan politik masuk melalui celah kesenjangan sosial, memanipulasi rasa takut, dan memanfaatkan kemarahan kolektif.
Populisme menjanjikan surga, namun seringkali berujung pada neraka institusional: melemahnya demokrasi, rusaknya mekanisme checks and balances, dan pudarnya etika kepemimpinan (Levitsky & Ziblatt, 2018). Ketika rakyat dimanipulasi oleh narasi “kita versus mereka”, maka politik telah terkontaminasi oleh virus iblis: memecah belah untuk menguasai.
Setan Digital dalam Demokrasi Teknologi
Di era digital, setan politik mengambil wujud algoritma dan disinformasi. Teknologi yang seharusnya menjadi alat emansipasi justru menjadi senjata kontrol. Platform media sosial digunakan bukan untuk memperluas dialog publik, melainkan mempersempitnya dalam gelembung opini. Fenomena echo chamber menciptakan radikalisasi wacana dan menyingkirkan perbedaan (Pariser, 2021).
Shoshana Zuboff (2019) menyebut kondisi ini sebagai surveillance capitalism, di mana data rakyat dieksploitasi untuk tujuan politik, memperkuat kekuasaan, dan memperlemah otonomi individu. Di sinilah setan digital berbisik dalam bentuk notifikasi, iklan politik, dan manipulasi algoritma yang tak kasatmata.
Agama, Politik, dan Eksploitasi Moral
Salah satu arena paling rawan dalam politik setan adalah eksploitasi agama. Ketika nilai-nilai spiritual dijadikan alat legitimasi kekuasaan, maka agama kehilangan kesuciannya. Agama tidak dimaksudkan untuk memenangkan pemilu, tetapi untuk membimbing moralitas publik. Namun dalam politik setan, agama hanya dipakai sebagai kostum, bukan kompas (Asad, 2020).
Eksploitasi agama untuk politik kekuasaan menyalahi prinsip tauhid itu sendiri: hanya Allah yang layak ditunduki. Ketika pemimpin dianggap “berkuasa atas segalanya”, maka yang sedang berlangsung bukan lagi pemerintahan demokratis, tapi penyembahan terhadap berhala politik. Inilah bentuk modern dari shirk struktural (Abou El Fadl, 2019).
Kebenaran sebagai Korban Pertama
Di medan politik yang dikuasai setan, kebenaran adalah korban pertama. Fakta dibengkokkan, data dimanipulasi, dan sejarah disusun ulang demi kepentingan penguasa. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, transparansi adalah fondasi utama. Ketika narasi diatur, sensor diperluas, dan kritik dibungkam, maka kebenaran terkubur di bawah reruntuhan propaganda (Fukuyama, 2022).
Yang lebih mengerikan, masyarakat yang terbiasa dengan kebohongan lama-lama akan menjadi apatis. Mereka kehilangan sensitivitas moral. Inilah tahap akhir kemenangan setan: bukan ketika kejahatan menang, tapi ketika kebaikan berhenti melawan (Arendt, 2019).
Etika sebagai Jalan Eksorsisme Politik
Jika setan adalah metafora dari kebohongan, keserakahan, dan tipu daya, maka eksorsismenya adalah etika. Politik etis tidak hanya menolak korupsi, tetapi juga menolak kompromi terhadap kebenaran. Etika dalam politik harus menjadi panglima, bukan sekadar slogan.
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah, bukan privilege. Pemimpin adalah pelayan umat, bukan tuan atas rakyat. Nabi Muhammad bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (H.R. Bukhari dan Muslim). Etika tanggung jawab inilah yang harus menjadi pagar agar politik tidak menjadi medan setan.
Di Barat, filsuf seperti Habermas (2020) juga menekankan pentingnya public reason—akal sehat publik yang berlandaskan dialog, transparansi, dan kejujuran. Politik seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kebaikan bersama, bukan medan untuk saling menjatuhkan.
Harapan pada Generasi Baru
Harapan terbesar untuk membebaskan politik dari cengkeraman setan adalah generasi muda. Kaum muda dengan literasi digital, kesadaran politik, dan keberanian moralnya harus menjadi ujung tombak perlawanan terhadap politik setan. Mereka harus menghidupkan kembali etika publik dan merestorasi makna politik sebagai seni melayani, bukan seni mencitrakan.
Pendidikan politik yang kritis dan inklusif harus diperkuat agar generasi muda tidak terjebak dalam kultus individu, narasi kebencian, dan jebakan populisme. Seperti kata Paulo Freire (2021), pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mampu membangkitkan kesadaran akan struktur penindasan dan menumbuhkan semangat untuk merombaknya.
Penutup: Politik Tanpa Setan
Setan dalam politik bukanlah entitas gaib semata, tetapi simbol dari kebusukan struktural, kebohongan sistemik, dan kerakusan yang dilembagakan. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga agar politik tetap berada di jalur etik dan rasional. Politik harus dibersihkan dari bisikan setan, agar kekuasaan tidak menjadi alat pembinasaan, tetapi menjadi jalan kemaslahatan.
Jika kebenaran tetap dijaga, integritas tetap dibela, dan etika tetap ditegakkan, maka kita akan menyaksikan bukan hanya demokrasi yang sehat, tetapi juga politik yang bermartabat. Politik tanpa setan adalah mungkin—jika kita bersedia memeranginya bersama.
Referensi
- Abou El Fadl, K. (2019). Reasoning with God: Reclaiming Shari’ah in the Modern Age. New Haven: Yale University Press.
- Acton, L. (2022). The History of Freedom and Other Essays. Cambridge: Cambridge University Press.
- Arendt, H. (2019). The Origins of Totalitarianism. New York: Harcourt.
- Asad, T. (2020). Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford: Stanford University Press.
- Baudrillard, J. (2018). Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press.
- Freire, P. (2021). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
- Fukuyama, F. (2022). Liberalism and Its Discontents. New York: Farrar, Straus and Giroux.
- Habermas, J. (2020). Between Facts and Norms. Boston: MIT Press.
- Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. New York: Crown Publishing.
- Machiavelli, N. (2021). The Prince. London: Penguin Classics.
- Mounk, Y. (2018). The People vs. Democracy. Cambridge: Harvard University Press.
- Nasution, H. (2020). Tafsir Tematik tentang Iblis dan Setan dalam Al-Qur’an. Jakarta: Prenadamedia.
- Orwell, G. (2017). Politics and the English Language. London: Penguin.
- Pariser, E. (2021). The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. New York: Penguin.
- Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs.