Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Peran santri dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah narasi pinggiran yang baru dikonstruksi pascareformasi. Jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kaum santri telah memainkan peran penting dalam menggugah kesadaran kebangsaan dan melawan penjajahan. Santri adalah representasi dari sinergi antara spiritualitas Islam dan nasionalisme yang menyala. Mereka bukan hanya ahli ibadah di pondok pesantren, melainkan juga pejuang di medan dakwah dan perlawanan.
Sejarawan Laffan (2011) menyebut bahwa pesantren dan komunitas santri telah menjadi pusat resistensi terhadap kolonialisme sejak abad ke-19. Gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro, misalnya, banyak didukung oleh ulama dan santri sebagai ekspresi jihad melawan ketidakadilan kolonial. Dalam konteks ini, perjuangan santri tidak semata-mata dimotivasi oleh nasionalisme sekuler, melainkan oleh visi keadilan yang diinspirasi nilai-nilai Islam.
Santri sebagai Penjaga Moral dan Identitas Kebangsaan
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara, memainkan peran ganda: mendidik santri agar menjadi individu yang taat secara spiritual dan aktif secara sosial. Dalam bahasa Woodward (2010), pesantren adalah tempat lahirnya “Islam Nusantara” yang toleran namun militan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas. Pendidikan moral yang diberikan oleh para kiai tidak berhenti pada dimensi individu, tetapi meluas pada kesadaran kolektif membebaskan bangsa dari penjajahan.
Konsep “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air sebagian dari iman) menjadi prinsip ideologis yang ditanamkan kepada santri. Prinsip ini tidak hanya menjadi slogan kosong, tetapi benar-benar diinternalisasi sebagai dasar keberpihakan terhadap rakyat dan bangsa. Dalam penelitian Zuhdi (2022), ditemukan bahwa banyak pondok pesantren di Jawa dan Sumatera sejak awal abad ke-20 telah menjadikan nasionalisme sebagai bagian dari kurikulum kulturalnya.
Resolusi Jihad: Titik Balik Strategis
Puncak kontribusi santri dalam perjuangan fisik terjadi pada 22 Oktober 1945 melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Resolusi ini menginstruksikan kepada umat Islam, khususnya santri, untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan dari ancaman kembalinya kolonialisme Belanda melalui NICA yang dibonceng pasukan Sekutu. Resolusi ini kemudian menjadi dasar moral dan legitimasi spiritual bagi terjadinya Battle of Surabaya yang dikenal heroik (Noer, 2016).
Momentum ini menegaskan bahwa jihad dalam pandangan santri bukanlah tindakan kekerasan yang buta, melainkan aksi bela negara yang sah secara syar’i dan konstitusional. Dalam pandangan Bruinessen (2013), fatwa tersebut merupakan ekspresi dari fikih kontekstual yang menyesuaikan doktrin Islam dengan realitas geopolitik tanah air. Dari sinilah muncul kesadaran baru bahwa perjuangan santri tidak dapat dipisahkan dari sejarah kemerdekaan Indonesia.
Ulama Pejuang di Garda Depan
Nama-nama seperti K.H. Zainal Mustafa, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Wahid Hasyim, hingga K.H. Abdul Wahab Hasbullah adalah bukti nyata keterlibatan ulama dan santri dalam perjuangan. K.H. Zainal Mustafa, misalnya, dikenal gigih menentang kebijakan fasis Jepang yang bertentangan dengan prinsip tauhid, bahkan hingga beliau gugur sebagai syuhada (Anam, 2018). K.H. Wahid Hasyim, sebagai Menteri Agama pertama RI, menjadi arsitek integrasi nilai-nilai Islam ke dalam struktur negara modern Indonesia (Fealy & Hooker, 2021).
Para santri dididik untuk tidak buta terhadap situasi sosial-politik. Dalam tradisi pesantren, istilah ngaji kitab bukan hanya mengkaji teks, melainkan juga memahami konteks. Ini memungkinkan santri memiliki kepekaan terhadap ketidakadilan dan keterpanggilan untuk memperjuangkan kebenaran. Sebagaimana dicatat oleh Madjid (2000), semangat keagamaan para santri merupakan sumber etika sosial-politik yang tak lekang oleh waktu.
Perempuan Santri dalam Perjuangan
Tidak banyak yang mengangkat kisah santri perempuan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Padahal, tokoh seperti Nyai Walidah Dahlan dan Nyai Khadijah merupakan pionir dalam membangun kesadaran kebangsaan melalui pendidikan dan pengorganisasian sosial. Nyai Walidah Dahlan mendirikan Sopo Tresno, organisasi perempuan Muhammadiyah, yang menjadi pusat kaderisasi dan pembela hak rakyat (Suryanegara, 2014).
Peran perempuan santri sangat penting dalam memperkuat basis komunitas perlawanan. Dalam catatan Hasib (2021), perempuan santri tidak hanya berjuang di dapur umum atau sebagai perawat pejuang, tetapi juga aktif menyebarkan propaganda kemerdekaan dan menjadi penghubung logistik antara desa dan kota.
Santri sebagai Agen Intelektualisme Islam
Santri tidak hanya berjuang secara fisik, tetapi juga secara intelektual. Tradisi literasi yang kuat di kalangan pesantren menghasilkan banyak karya yang menjadi rujukan perlawanan. Misalnya, tafsir-tafsir lokal seperti Tafsir Al-Ibriz karya K.H. Bisri Mustofa menjadi sumber penguatan ideologis umat dalam menghadapi kolonialisme (Azra, 2015). Selain itu, terbitan media seperti Soeara Nahdlatoel Oelama dan Al-Mawaidz menjadi wadah artikulasi politik santri terhadap penjajahan.
Menurut Latif (2008), santri berkontribusi besar dalam merumuskan narasi keindonesiaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Mereka menjembatani dua kutub besar bangsa ini: tradisi dan modernitas, Islam dan nasionalisme. Bahkan dalam sidang-sidang BPUPKI, KH Wahid Hasyim dan sejumlah ulama lain turut menyusun dasar negara yang pluralistik tanpa kehilangan identitas Islam.
Setelah Proklamasi: Santri Menjaga NKRI
Peran santri tidak berhenti setelah kemerdekaan diproklamasikan. Mereka terus mengawal nilai-nilai kebangsaan dari rongrongan ideologi transnasional yang tidak sesuai dengan akar budaya Indonesia. Pesantren menjadi benteng keislaman yang moderat dan berorientasi pada keutuhan NKRI. Ini terbukti dalam berbagai inisiatif seperti Islam Wasathiyah, dialog lintas agama, hingga program deradikalisasi berbasis pesantren (Ichwan, 2020).
Santri juga mulai tampil dalam dunia birokrasi, politik, dan akademisi. Mereka membawa nilai-nilai pesantren yang bersahaja, jujur, dan adil dalam struktur negara. Dalam pandangan Wahid (2022), transisi santri dari ruang privat ke ruang publik merupakan keniscayaan sejarah yang memperkuat posisi Islam sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.
Refleksi Historis dan Tantangan Masa Kini
Hari ini, ketika kemerdekaan telah diraih, tugas santri justru menjadi lebih kompleks. Tantangan ideologis, seperti radikalisme dan sekularisme ekstrem, menuntut santri untuk lebih cerdas dalam memosisikan diri. Tugas mereka kini bukan lagi mengangkat senjata, tetapi mengangkat pena, gagasan, dan etika untuk membangun Indonesia yang adil dan beradab.
Santri harus menjadi teladan dalam merawat demokrasi yang berkeadaban, bukan justru terjebak dalam polarisasi politik atau kepentingan jangka pendek. Dalam pandangan Amin Abdullah (2019), santri masa kini harus mengusung integrative epistemology—menggabungkan ilmu agama dan ilmu modern dalam merespons tantangan zaman.
Penutup: Santri, Pewaris Sah Kemerdekaan
Sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari ruang hampa. Ia diperjuangkan oleh darah, air mata, dan doa—termasuk oleh para santri. Mereka bukan hanya objek sejarah, tetapi subjek yang secara aktif membentuk jalan kemerdekaan. Dari resolusi jihad hingga ruang-ruang sidang kemerdekaan, dari medan tempur hingga bilik pesantren, jejak santri tak pernah padam.
Tugas kita hari ini bukan sekadar mengenang jasa santri, tetapi meneruskan perjuangan mereka. Menjadi santri bukan hanya status pendidikan, tetapi sikap hidup: berilmu, beriman, dan berani membela kebenaran. Dalam semangat itulah, santri tetap relevan sebagai pewaris sah kemerdekaan dan penjaga masa depan Indonesia.
Referensi
- Amin Abdullah, M. (2019). Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika Keilmuan dalam Islam. Yogyakarta: SUKA Press.
- Anam, K. (2018). KH Zainal Mustafa: Ulama Pejuang dari Tasikmalaya. Bandung: Pustaka Nusa.
- Azra, A. (2015). Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Jakarta: Kompas.
- Bruinessen, M. van. (2013). Ulama dan Politik di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
- Fealy, G., & Hooker, V. (2021). Voices of Islam in Southeast Asia. Singapore: ISEAS Publishing.
- Hasib, F. (2021). Perempuan Santri dalam Lintasan Sejarah Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Alif Nusantara.
- Ichwan, M. N. (2020). Moderasi Islam dan Tantangan Transnasionalisme. Jakarta: Kemenag Press.
- Laffan, M. (2011). The Makings of Indonesian Islam. Princeton: Princeton University Press.
- Latif, Y. (2008). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan.
- Madjid, N. (2000). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
- Noer, D. (2016). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
- Suryanegara, A. M. (2014). Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Kemerdekaan. Bandung: Salamadani.
- Wahid, Z. (2022). Santri dan Identitas Nasional. Yogyakarta: Gading Publishing.
- Woodward, M. (2010). Java, Indonesia and Islam. New York: Springer.
- Zuhdi, M. (2022). Peran Pesantren dalam Pembentukan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: UIN Press.