Sang Tikus

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam lanskap politik dan sosial Indonesia, metafora “tikus” tak pernah kehilangan relevansi. Tikus menjadi simbol makhluk penggerogot: diam-diam, gesit, dan sulit ditangkap. Dalam diskursus publik, terutama pemberitaan media daring dan satir budaya populer, tikus digunakan untuk melabeli para pelaku korupsi—mereka yang menyedot harta negara demi kepentingan pribadi, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Tikus di sini bukan hanya hewan pengerat; ia menjelma sebagai karakter, sebagai arketipe dari keserakahan yang terstruktur.

Haula dalam Metafora Korupsi dalam Bahasa Indonesia di Portal Berita Daring menjelaskan bahwa kata “tikus” telah menjadi idiom universal dalam pemberitaan korupsi di Indonesia, menyimbolkan kejahatan berulang yang dilakukan oleh mereka yang punya kuasa, namun kehilangan etika (Haula, 2023). Media daring seperti Kumparan bahkan membuat ilustrasi editorial dengan judul Tikus di Lumbung, Koruptor di Kursi, menyandingkan kekuasaan dan kerakusan secara visual dan naratif.

Tikus Berdasi: Simbol Kekuasaan yang Menyimpang

Berbeda dari tikus got yang menjijikkan, metafora “tikus berdasi” adalah bentuk kritik yang menyakitkan namun subtil. Ia menggambarkan mereka yang tampil rapi, mengenakan jas, mengisi ruang-ruang keputusan penting, tetapi berwatak predator terhadap anggaran negara. Fenomena ini bukan sekadar kritik sosial, melainkan juga cerminan dari struktur korupsi yang melembaga. Lagu satire Tikus-Tikus Kantor karya Iwan Fals menyindir bagaimana para petinggi bisa menggerogoti negara secara sistematis, sembari tetap tersenyum dan dihormati.

Ria dalam artikelnya di SSCQ Media menyoroti bagaimana struktur birokrasi yang hierarkis justru membuka ruang bagi para tikus berdasi untuk berlindung di balik regulasi yang kabur (Ria, 2022). Korupsi bukan lagi sekadar kelalaian moral individu, melainkan hasil dari sistem yang memproduksi impunitas.

Jaringan Tikus dalam Skema Sistemik

Korupsi di Indonesia bukanlah tindakan individual yang sporadis. Ia tumbuh dalam jaringan. Dalam riset yang dilakukan oleh Martins dkk. melalui pendekatan network analysis terhadap kasus-kasus korupsi politik di beberapa negara, ditemukan bahwa pelaku korupsi kerap terkoneksi dalam jejaring yang saling menopang dan membentuk sistem kekebalan internal (Martins et al., 2022). Jika satu tikus tertangkap, masih banyak yang bergerak di lorong-lorong lain.

Hal serupa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Di ruang-ruang kekuasaan, tikus-tikus itu tidak sendiri. Mereka terhubung lewat patronase, uang, dan kepentingan bersama. Skema ini membuat upaya pemberantasan korupsi seperti menebas air: tampak keras, namun tak menyentuh inti.

Dampak Korupsi: Lumbung yang Kosong

Tikus tidak hanya mencuri, tapi juga merusak. Begitu pula korupsi: tidak hanya mengambil uang negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik, mengikis integritas institusi, dan mematahkan harapan rakyat. Dalam narasi yang dibangun oleh Jakartamu, tikus diibaratkan mengendalikan burung garuda, simbol negara, dan mengubahnya menjadi mesin pelayanan bagi kepentingan pribadi (Jakartamu, 2025). Ketika simbol negara dipelintir oleh hasrat rakus, bangsa ini kehilangan arah moral.

Gagarin menulis bahwa korupsi membuat anggaran pendidikan tersendat, pembangunan jalan mandek, dan rumah sakit kekurangan alat medis. Tikus-tikus itu mencuri kesempatan hidup yang layak bagi rakyat kecil (Gagarin, 2025). Dampaknya tak kasatmata dalam satu malam, tapi menghancurkan perlahan—seperti tikus yang meninggalkan jejak busuk di balik tembok.

Melawan Tikus: Strategi Pemberantasan Korupsi

Kesadaran publik adalah kunci pertama. Tikus hanya bisa berkembang di tempat yang gelap dan tak terawasi. Maka dari itu, pendidikan antikorupsi sejak dini menjadi kebutuhan mutlak. Media Mahasiswa Indonesia menyoroti pentingnya kurikulum pendidikan karakter yang tidak hanya berisi hafalan Pancasila, tapi juga praktik akuntabilitas dan transparansi di lingkungan sekolah dan kampus (Mahasiswa Indonesia, 2024). Anak-anak harus tumbuh dengan nilai “tidak mengambil yang bukan haknya”, bukan sekadar takut hukuman.

Transparansi institusional juga tak kalah penting. Sistem anggaran digital yang dapat diawasi publik bisa mengurangi celah manipulasi. Manado News menyoroti pentingnya e-procurement yang disertai pelaporan terbuka, sehingga rakyat bisa ikut memantau aliran dana (Manado News, 2025). Jika lumbung diterangi lampu dan pintunya diawasi, tikus-tikus akan berpikir dua kali sebelum masuk.

Dari sisi penegakan hukum, diperlukan pendekatan proaktif. Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak lama mendorong penggunaan metode undercover investigation dan sting operation untuk menangkap pelaku yang sulit dijerat melalui cara biasa (ICW, 2005). Hukum tidak bisa terus menunggu pelapor; ia harus aktif menyusup ke jaringan, seperti kucing pemburu yang tahu di mana tikus bersembunyi.

Di sisi lain, riset oleh Ribeiro dkk. menunjukkan bahwa memiskinkan jaringan korupsi lebih efektif ketimbang menghukum individu saja. Jika jejaring diputus dan hubungan finansial mereka terblokir, maka sistem kekebalan internal para tikus akan runtuh (Ribeiro et al., 2018). Ini menjadi penting dalam desain kebijakan hukum ke depan.

Antitesis Tikus: Semut yang Jujur

Bangsa ini tak hanya terdiri dari tikus. Ada semut—rakyat kecil yang bekerja keras, tak banyak bicara, tapi berintegritas. Mereka menyapu jalan, mengajar di desa, atau bertani di lereng gunung tanpa pernah menyentuh dana bansos atau memanipulasi anggaran. Namun suara mereka sering tak terdengar, dikalahkan oleh gemuruh pesta para tikus.

Dalam ruang publik, semut-semut ini harus diberi panggung. Media massa berperan penting dalam mengangkat narasi kejujuran dan keberanian sipil, bukan hanya skandal dan tangkapan. Jika yang kita rayakan hanyalah kesalahan, maka yang baik akan memilih diam.

Sang Kucing: Harapan Baru Pemberantasan Korupsi

Metafora tikus tak akan lengkap tanpa kucing. Siapa kucing itu? Ia adalah simbol hukum yang berani, presisi, dan tak bisa disuap. Dalam cerita rakyat, kucing yang kenyang tak akan lagi memburu tikus. Maka sistem hukum pun harus dibuat lapar akan keadilan, bukan kenyang karena konsesi politik atau jabatan.

Dalam laporan Kajian Hukum 2025 tentang reformasi KPK, dibahas bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi sangat bergantung pada independensi institusi hukum, keberanian hakim, dan keberpihakan pada transparansi (Kajian Hukum, 2025). Kucing yang baik bukan hanya mengejar tikus, tapi juga mencegah mereka berkembang biak.

Menulis Ulang Narasi Bangsa

Sang Tikus adalah metafora, tapi ia mewakili realitas yang menghantui republik ini. Korupsi bukan dongeng, tapi cerita sehari-hari. Dan jika kisah ini terus dibiarkan, lumbung bangsa akan kosong, kepercayaan publik tergerus, dan anak-anak bangsa mewarisi puing, bukan masa depan.

Namun, narasi bisa diubah. Dengan membangun budaya transparansi, pendidikan etis, hukum yang tajam, dan media yang berpihak pada kebenaran, kita bisa menulis ulang cerita ini. Tikus mungkin masih berkeliaran. Tapi jika kita menjadi semut yang jujur, dan memelihara kucing yang waspada, maka lumbung bisa diselamatkan.


Referensi

  • Gagarin, D. (2025). Tikus di Lumbung, Koruptor di Kursi: Kisah Kerakusan yang Tak Usai. Jakarta: Kumparan Press.
  • Haula, H. (2023). Metafora Korupsi dalam Bahasa Indonesia di Portal Berita Daring. Bandung: Edukasia Institute.
  • Indonesia Corruption Watch. (2005). Jebak Semua Koruptor. Jakarta: ICW Press.
  • Jakartamu. (2025). Tikus Menguasai Garuda: Oligarki, Korupsi, dan Ketidakadilan Sosial. Jakarta: Jakartamu Media.
  • Kajian Hukum. (2025). Reformasi Penegakan Hukum Antikorupsi: Evaluasi UU KPK. Yogyakarta: Pusat Kajian Konstitusi.
  • Mahasiswa Indonesia. (2024). Melawan Tikus Berdasi: Bersama Melawan Tindak Korupsi!. Malang: Mahasiswa Indonesia Press.
  • Manado News. (2025). BUMN dan Metafora Tikus yang Menggerogoti Negeri. Manado: Manado News Media.
  • Martins, A. F., da Cunha, B. R., Hanley, Q. S., Goncalves, S., Perc, M., & Ribeiro, H. V. (2022). Universality of Political Corruption Networks. New York: Arxiv Academic Publishing.
  • Minanews. (2025). Mengapa Koruptor Diibaratkan Tikus? Ini Jawabannya. Jakarta: Mina News Agency.
  • Ria, R. (2022). Tikus-Tikus Berdasi dalam Sistem Demokrasi Kita. Surabaya: SSCQ Media.
  • Ribeiro, H. V., Alves, L. G. A., Martins, A. F., Lenzi, E. K., & Perc, M. (2018). The Dynamical Structure of Political Corruption Networks. Boston: Arxiv Academic Press.
  • Sugiyono, S., & Moleong, L. (2024). Triangulasi Data dalam Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Tirtayasa, H. (2025). Korupsi sebagai Tindak Kekerasan Struktural. Jakarta: Islamika Research Center.
  • Wibowo, A. (2025). Krisis Kepercayaan Publik terhadap Hukum. Bandung: Padjadjaran Publishing.
  • Yusuf, F. (2025). Lumbung yang Dirampok: Narasi Korupsi dalam Perspektif Kultural. Semarang: Lentera Nusantara.
Exit mobile version