Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Dalam pengertian klasiknya, politik adalah seni mengelola kekuasaan demi kebaikan bersama. Tetapi dalam praktik kontemporer, politik kerap melenceng menjadi seni tipu-tipu—rekayasa citra, manipulasi kata, hingga pengkhianatan ideologi. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi, istilah “politik tipu-tipu” mencuat sebagai bentuk frustrasi masyarakat atas praktik politik yang lebih mementingkan kepentingan sesaat ketimbang integritas.
Menurut Norris dan Inglehart (2019), erosi kepercayaan terhadap aktor politik mencerminkan kegagalan representasi dalam demokrasi modern. Di Indonesia, gejala ini tampak dari survei Edelman Trust Barometer (2024) yang menunjukkan bahwa hanya 34% responden percaya bahwa politisi menyampaikan kebenaran secara konsisten.
Bahasa yang Dipelintir
Salah satu instrumen utama dalam politik tipu-tipu adalah bahasa. Bahasa bukan lagi alat komunikasi, melainkan instrumen manipulasi. Janji kampanye, misalnya, tidak lagi dianggap kontrak moral, melainkan sekadar strategi memikat suara. Politisi lihai menyusun diksi ambigu seperti “akan diupayakan”, “sedang dikaji”, atau “pada waktunya akan direalisasikan” tanpa batas waktu dan ukuran yang jelas.
Fairclough (2015) menyebut ini sebagai praktik discursive manipulation—yakni penggunaan wacana untuk menutupi relasi kuasa yang timpang. Manipulasi bahasa menutupi intensi sebenarnya dari kebijakan atau pernyataan politik, sehingga rakyat hanya menjadi penonton yang dibuai retorika.
Citra vs Kinerja
Era media sosial menambah dimensi baru dalam politik tipu-tipu: citra lebih penting daripada kinerja. Politisi yang gemar membagikan aktivitas keseharian di media sosial kerap dianggap lebih “peduli” dibanding mereka yang bekerja dalam senyap. Maka, pencitraan menjadi strategi utama. Foto bersama rakyat, memberi bantuan langsung, atau menghadiri pengajian rutin, lebih mudah dipahami dan dinilai oleh publik daripada membaca dokumen kebijakan.
Menurut Thompson (2021), masyarakat digital mendorong munculnya performative politics, yaitu tindakan politik yang lebih mengutamakan impresi dibandingkan dampak nyata. Media sosial menjadi panggung sandiwara, di mana setiap aktor berusaha tampil seolah-olah “merakyat” demi meraih simpati.
Koalisi Tanpa Ideologi
Fenomena lain dari politik tipu-tipu adalah koalisi yang tidak lagi berbasis ideologi, tetapi pragmatisme kekuasaan. Partai-partai yang dahulu saling bertentangan dalam visi dan narasi, tiba-tiba berkoalisi dalam satu gerbong kekuasaan tanpa penjelasan rasional ke publik. Ini melanggengkan kesan bahwa politik hanya permainan kursi, bukan pertarungan ide.
Webber (2022) mencatat bahwa fleksibilitas ideologi dalam sistem multipartai di Indonesia membuka celah bagi transaksi kekuasaan yang jauh dari akuntabilitas publik. Tanpa garis ideologis yang tegas, koalisi menjadi ladang kompromi elitis, bukan kerja sama demi program yang berkesinambungan.
Politik Transaksional: Menjual Aspirasi Rakyat
Dalam politik tipu-tipu, rakyat kerap diposisikan sebagai objek. Suara rakyat hanya dihitung saat pemilu, bukan didengar setelahnya. Dalam politik transaksional, suara rakyat ditukar dengan sembako, uang, atau janji-janji palsu. Setelah berkuasa, aspirasi itu dilupakan.
Fenomena ini diperkuat oleh temuan Aspinall dan Mietzner (2020) yang menunjukkan bahwa politik patron-klien masih menjadi praktik umum dalam pemilu lokal di Indonesia. Rakyat diposisikan dalam relasi subordinat, bukan sebagai subjek demokrasi.
Elitisme Demokrasi
Meski Indonesia disebut sebagai negara demokratis, kenyataannya demokrasi kerap dikooptasi elit. Kebijakan strategis tidak melalui partisipasi publik yang luas, melainkan diputuskan dalam ruang-ruang tertutup oleh segelintir elite. Akibatnya, publik merasa tercerabut dari proses pengambilan keputusan.
Dahl (2020) menyebut ini sebagai pseudo-democracy, di mana prosedur demokratis dipenuhi secara formal, tetapi substansinya dikendalikan elite. Dalam konteks ini, politik tipu-tipu berkamuflase dalam kostum demokrasi, padahal sejatinya otoriter dalam praktik.
Relasi Media dan Kekuasaan
Media semestinya menjadi penjaga demokrasi, tapi dalam praktiknya sering menjadi alat kekuasaan. Alih-alih kritis, media kadang menjadi corong propaganda, menyiarkan narasi tunggal dan menyingkirkan suara-suara kritis. Relasi simbiosis antara media dan elite politik menciptakan iklim informasi yang bias.
McChesney (2015) menekankan pentingnya independent media untuk menjaga check and balance. Namun, di tengah kepemilikan media oleh para oligark yang juga berpolitik, independensi menjadi ilusi. Rakyat disuguhi narasi yang dibingkai untuk memperkuat legitimasi kekuasaan.
Pendidikan Politik yang Mandek
Salah satu akar dari politik tipu-tipu adalah rendahnya literasi politik masyarakat. Ketika pemilih tidak memahami fungsi lembaga negara, peran wakil rakyat, atau isi undang-undang, mereka mudah dimanipulasi. Pendidikan politik yang ideal seharusnya membekali rakyat dengan kemampuan berpikir kritis, bukan hanya menghafal slogan.
Survei dari LIPI (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% responden tidak mengetahui tugas pokok lembaga legislatif di tingkat pusat. Kondisi ini menciptakan ruang kosong yang diisi oleh hoaks, sentimen identitas, dan politik kebencian.
Politik Identitas: Senjata Lama yang Masih Ampuh
Dalam politik tipu-tipu, identitas etnis, agama, dan kelompok sering digunakan sebagai alat mobilisasi. Narasi “kita versus mereka” dikobarkan untuk menciptakan solidaritas semu yang sesungguhnya menutupi kemiskinan program. Ketika kontestasi politik dikuasai oleh retorika sektarian, substansi perdebatan pun terpinggirkan.
Heywood (2022) menyebut politik identitas sebagai bentuk dari populisme negatif, di mana emosi dimanfaatkan untuk meminggirkan rasionalitas. Hal ini tidak hanya merusak demokrasi deliberatif, tetapi juga menciptakan segregasi sosial yang berbahaya.
Ketika Kebenaran Dikalahkan Strategi
Dalam atmosfer politik tipu-tipu, kebenaran bukan lagi nilai yang diperjuangkan, tetapi barang dagangan yang bisa ditawar. Fakta dikalahkan oleh opini, bukti diganti dengan narasi, dan kejujuran dikalahkan oleh strategi komunikasi.
Arendt (2017) dalam The Origins of Totalitarianism menegaskan bahwa manipulasi kebenaran adalah pintu masuk menuju otoritarianisme. Ketika rakyat tidak bisa lagi membedakan antara fakta dan fiksi, maka kontrol atas opini publik bisa digenggam oleh pihak-pihak yang paling lihai dalam memanipulasi persepsi.
Menagih Etika dalam Politik
Apa yang hilang dari politik hari ini bukan hanya kebenaran, tapi juga etika. Politik tidak lagi menjadi ruang pengabdian, tetapi ladang perburuan kekuasaan. Etika politik—seperti kejujuran, tanggung jawab, dan pengabdian—sering dikorbankan demi kemenangan.
Menurut Sandel (2020), demokrasi tanpa etika akan menjadi hampa dan mudah dirusak. Oleh sebab itu, reformasi politik tidak cukup berhenti pada perubahan prosedural, tetapi harus menjangkau dimensi etis dan moral.
Harapan dari Rakyat Kritis
Di tengah suramnya praktik politik tipu-tipu, harapan tetap ada. Masyarakat sipil, media alternatif, dan generasi muda yang melek informasi menjadi benteng terakhir melawan manipulasi. Gerakan akar rumput yang berani mengawasi kekuasaan dan memproduksi informasi independen harus terus diperkuat.
Sebagaimana dicatat oleh Fung (2023), deliberative democracy hanya bisa hidup bila rakyat aktif berdiskusi, bertanya, dan menuntut transparansi. Dengan partisipasi aktif, rakyat tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga pengawas dan penentu arah bangsa.
Referensi
- Arendt, H. (2017). The Origins of Totalitarianism. New York: Schocken Books.
- Aspinall, E., & Mietzner, M. (2020). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
- Dahl, R. A. (2020). On Democracy. New Haven: Yale University Press.
- Edelman. (2024). Trust Barometer 2024: Indonesia Country Report. Jakarta: Edelman Indonesia.
- Fairclough, N. (2015). Language and Power. London: Routledge.
- Fung, A. (2023). Empowered Participation: Reinventing Urban Democracy. Princeton: Princeton University Press.
- Heywood, A. (2022). Political Ideologies: An Introduction. London: Macmillan.
- LIPI. (2023). Survei Nasional Literasi Politik Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
- McChesney, R. W. (2015). Rich Media, Poor Democracy. New York: The New Press.
- Norris, P., & Inglehart, R. (2019). Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism. Cambridge: Cambridge University Press.
- Sandel, M. J. (2020). The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? New York: Farrar, Straus and Giroux.
- Thompson, J. B. (2021). Political Scandal: Power and Visibility in the Media Age. Cambridge: Polity Press.
- Webber, D. (2022). Southeast Asian Politics Today. London: Palgrave Macmillan.
- Zubaidah, R. (2023). “Citra Politik dan Manipulasi Media Sosial.” Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, 12(2), 101-117.
- Wijaya, A. (2024). “Retorika Politik dan Kehilangan Etika Publik.” Jurnal Demokrasi Indonesia, 10(1), 45-58.