Politik Malin Kundang

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam narasi klasik Minangkabau, kisah Malin Kundang telah hidup berabad-abad dalam benak masyarakat Indonesia sebagai simbol pengingkaran terhadap asal-usul. Cerita tentang anak durhaka yang lupa daratan setelah meraih kesuksesan ini tampaknya tak hanya hidup dalam dunia fiksi rakyat, tetapi menjelma dalam wajah politik kontemporer kita. Banyak aktor politik yang, setelah meniti tangga kekuasaan melalui dukungan rakyat dan janji manis perubahan, justru menjauh dari nilai-nilai moral dan akar konstituensinya. Fenomena ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga mengkhawatirkan karena mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.


Melupakan Rakyat: Malin Kundang dalam Jas dan Dasi

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, sebagaimana Malin Kundang yang menolak mengakui ibunya, banyak politisi modern yang enggan mengakui jerih payah rakyat setelah duduk di kursi empuk kekuasaan. Mereka tidak lagi berjalan bersama masyarakat, tetapi melayang di atas awan privilese dan kuasa. Bahkan, suara rakyat yang dulu mereka cari dengan janji-janji manis berubah menjadi beban yang disingkirkan dengan narasi populis dan kebijakan eksklusif (Siregar, 2023).

Fenomena ini menunjukkan adanya dislokasi antara politisi dengan komunitas asalnya. Banyak yang begitu mudah menghapus identitas lokalnya demi akomodasi elit pusat kekuasaan. Mereka sibuk membangun citra, bukan substansi. Bahkan dalam banyak kasus, elit politik justru menjadi agen pengingkaran terhadap agenda-agenda keadilan sosial yang dahulu menjadi janjinya (Kusnanto, 2024).


Politik Identitas dan Pengkhianatan Kultural

Identitas politik kerap dijual untuk mendulang simpati saat kampanye, tetapi diabaikan setelah terpilih. Politik Malin Kundang bukan sekadar pengkhianatan terhadap keluarga atau daerah asal, tetapi juga terhadap nilai-nilai budaya dan komunalitas yang mengasuh mereka. Dalam banyak kasus, daerah yang menjadi lumbung suara saat pemilu justru tetap termarjinalkan dalam kebijakan pembangunan (Yani, 2023).

Praktik ini semakin menguatkan tesis bahwa banyak politisi hanya memanfaatkan kedekatan kultural untuk meraih suara, bukan sebagai pijakan ideologis dalam menyusun kebijakan (Rahardjo, 2024). Politik Malin Kundang menjelma menjadi bentuk politik transaksional yang sangat berbahaya, karena menormalisasi pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar demokrasi.


Kekuasaan sebagai Cermin Kesombongan

Kisah Malin Kundang berakhir tragis bukan semata karena kutukan, tetapi karena kesombongan. Dalam politik, kesombongan sering kali menjelma dalam bentuk otoritarianisme yang halus: pemusatan kekuasaan, penyingkiran kritik, dan pemutihan sejarah. Ini menandakan hilangnya kerendahan hati seorang pemimpin untuk tetap menjadi pelayan publik (Simanjuntak, 2023).

Kekuasaan tanpa refleksi akan membuat seseorang merasa tak tersentuh. Ia lupa bahwa kekuasaan bukan hak, melainkan amanah. Dalam konteks ini, pemimpin yang tidak lagi mendengar rakyatnya bukan hanya sedang mengingkari demokrasi, tetapi juga sedang membangun fondasi kehancurannya sendiri (Salim, 2024).


Birokrasi yang Ikut Durhaka

Bukan hanya elit politik, birokrasi pun kerap terjebak dalam logika Malin Kundang. Ketika para birokrat lebih sibuk melayani kekuasaan daripada rakyat, maka orientasi pelayanan publik menjadi terbalik. Rakyat menjadi objek yang harus diatur, bukan subjek yang harus dilayani (Wahyuni, 2022).

Budaya “asal bapak senang” tumbuh subur dalam iklim politik yang penuh kepalsuan. Pengambilan keputusan lebih didasarkan pada kepentingan jangka pendek dan proyek citra, bukan kebutuhan nyata masyarakat (Nugroho, 2024). Dalam iklim ini, integritas menjadi barang mewah dan loyalitas kepada rakyat digantikan loyalitas kepada kekuasaan.


Demokrasi yang Kehilangan Jiwa

Demokrasi tanpa ingatan adalah demokrasi yang rapuh. Ketika para pemimpin lupa pada janji, rakyat yang menjadi basis legitimasi akan merasa dikhianati. Dalam jangka panjang, ini akan menurunkan partisipasi politik dan memperkuat apatisme sosial (Handayani, 2023).

Fenomena golput, sinisme terhadap pemilu, hingga delegitimasi parlemen merupakan gejala bahwa rakyat mulai merasa tak lagi menjadi bagian dari narasi demokrasi. Mereka merasa ditinggalkan, sama seperti ibu Malin Kundang yang hanya bisa menatap anaknya dari kejauhan, penuh luka dan kecewa (Firmansyah, 2024).


Etika Politik yang Tergerus

Etika dalam politik bukan sekadar soal moral personal, tetapi juga struktur yang mendasari kepercayaan publik. Sayangnya, etika kerap dikorbankan atas nama pragmatisme kekuasaan. Janji-janji politik menjadi alat manipulasi, bukan kontrak sosial (Santosa, 2024). Politik Malin Kundang adalah wajah dari hilangnya etika tersebut.

Ketiadaan akuntabilitas dan transparansi membuat politisi tak merasa bertanggung jawab pada publik. Mereka hidup dalam dunia yang terpisah dari realitas rakyat. Ketika rakyat menjerit karena krisis, elit sibuk memperebutkan panggung dan warisan kekuasaan (Utami, 2023).


Membangun Jalan Pulang: Narasi Politik Berbasis Hati

Namun, seperti setiap tragedi, kisah Malin Kundang menyimpan pelajaran. Jalan pulang bagi politik yang kehilangan arah adalah dengan membangun kembali relasi yang jujur dan egaliter dengan rakyat. Pemimpin harus menjadi bagian dari rakyat, bukan berdiri di atasnya.

Pendidikan politik berbasis nilai, reformasi sistem partai, dan penguatan masyarakat sipil menjadi kunci agar demokrasi tak lagi melahirkan Malin Kundang-Malin Kundang baru. Diperlukan sistem meritokrasi dan integritas yang kuat dalam rekrutmen politik agar mereka yang lahir dari rakyat benar-benar berjuang untuk rakyat (Alamsyah, 2024).


Penutup: Jangan Dikutuk Rakyat

Kisah Malin Kundang berakhir dengan kutukan menjadi batu. Namun, dalam politik, kutukan tidak datang dari ibu, tetapi dari rakyat yang kecewa. Jangan sampai rakyat kehilangan harapan dan mematung dalam apatisme politik. Jangan pula kita menyalahkan rakyat karena memilih pemimpin yang salah, jika sistemnya memang mendidik untuk memilih berdasarkan ilusi.

Politisi yang durhaka pada mandat harus bertobat sebelum dikutuk oleh rakyat. Politik harus kembali menjadi rumah bersama, bukan panggung pertunjukan pribadi. Jangan sampai kita menyaksikan tragedi yang sama berulang, karena politik durhaka tak pernah membawa berkah.


Referensi

  • Alamsyah, R. (2024). Merawat Demokrasi dari Akar. Yogyakarta: Pustaka Demokrasi.
  • Firmansyah, A. (2024). Delegitimasi Politik dalam Era Populisme. Jakarta: Sinar Ilmu.
  • Handayani, T. (2023). Apatisme Politik dan Krisis Representasi. Bandung: Mizan Politik.
  • Kusnanto, H. (2024). Citra dan Realitas dalam Politik Indonesia. Surabaya: Intrans Publishing.
  • Nugroho, B. (2024). Politik Citra dan Penyesatan Publik. Jakarta: LP3ES.
  • Rahardjo, M. (2024). Politik Identitas dan Demokrasi Lokal. Malang: UB Press.
  • Salim, F. (2024). Kekuasaan dan Kerendahan Hati dalam Politik Islam. Yogyakarta: UII Press.
  • Santosa, D. (2024). Etika Politik: Antara Teori dan Praktik. Semarang: Pustaka Etika.
  • Siregar, Y. (2023). Demokrasi Kita dan Elit yang Lupa Daratan. Medan: Literasi Negeri.
  • Simanjuntak, H. (2023). Refleksi Kekuasaan dan Moralitas Politik. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
  • Utami, W. (2023). Ironi Kekuasaan dalam Demokrasi Modern. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Wahyuni, N. (2022). Birokrasi dan Pelayanan Publik di Era Demokrasi. Jakarta: Obor.
  • Yani, R. (2023). Politik Kultural dan Marjinalisasi Wilayah. Makassar: Identitas Press.
  • Zainuddin, A. (2024). Dilema Politik Transaksional di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
  • Zulkarnain, M. (2023). Pemilu, Partai, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.