Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Ketika sejarah mencatat kelahiran Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, banyak nama besar yang menghiasi naskah kemerdekaan itu. Namun, di balik para pemimpin yang membacakan proklamasi dan menyusun konstitusi, berdirilah sebuah kekuatan yang sering kali luput dari sorotan: pemuda. Sejak awal abad ke-20, pemuda Indonesia telah menjadi motor perubahan, penggugah kesadaran nasional, dan jembatan antara mimpi kolektif dan kenyataan kemerdekaan.
Peran pemuda tidak hanya hadir dalam momentum-momentum besar seperti Sumpah Pemuda 1928 atau peristiwa Rengasdengklok 1945, tetapi juga dalam gerakan bawah tanah, pendidikan, pers, dan perlawanan bersenjata. Dalam konteks perjuangan nasional, pemuda tidak hanya berperan sebagai pelengkap sejarah, melainkan sebagai subjek utama dalam perubahan sosial dan politik bangsa ini (Kusuma, 2022).
Sumpah Pemuda dan Lahirnya Kesadaran Nasional
Tonggak penting kebangkitan pemuda dalam sejarah Indonesia adalah Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Di tengah penjajahan yang brutal dan strategi politik adu domba kolonial, para pemuda dari berbagai latar belakang etnis dan kedaerahan menyatakan satu tekad: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia (Simanjuntak, 2021).
Sumpah Pemuda bukan sekadar deklarasi simbolik, tetapi manifestasi kesadaran politik kolektif yang melampaui identitas sempit. Menurut Harsasto (2020), peristiwa ini merupakan bentuk artikulasi pemuda terhadap gagasan nasionalisme modern yang dipengaruhi oleh arus pemikiran global dan realitas penjajahan. Mereka sadar, kemerdekaan tidak akan datang dari atas, melainkan harus diperjuangkan dari bawah melalui solidaritas dan identitas nasional yang kokoh.
Rengasdengklok: Ketegangan Antargenerasi
Peran pemuda mencapai klimaksnya pada malam menjelang proklamasi kemerdekaan. Kelompok pemuda yang terdiri dari Wikana, Sutan Sjahrir, dan Chairul Saleh menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 untuk mendesak segera diproklamasikannya kemerdekaan tanpa menunggu keputusan Jepang (Anhar, 2019). Peristiwa ini menunjukkan adanya ketegangan ideologis antara generasi tua yang cenderung berhati-hati dan generasi muda yang radikal dan mendesak percepatan.
Sejarawan seperti Reid (2023) menyebut peristiwa Rengasdengklok sebagai bentuk “intervensi strategis pemuda” dalam proses transisi kekuasaan. Keberanian mereka membuktikan bahwa pemuda tidak hanya sebagai penggerak massa, tetapi juga pengambil keputusan politik yang kritis terhadap keadaan.
Pemuda dalam Gerakan Bawah Tanah dan Pendidikan
Sebelum proklamasi, peran pemuda juga terlihat dalam aktivitas gerakan bawah tanah. Organisasi seperti Perhimpunan Indonesia di Belanda memainkan peran penting dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia di forum internasional (Suryanegara, 2020). Di dalam negeri, pelajar dan mahasiswa aktif dalam kelompok studi dan diskusi yang mengembangkan pemikiran kebangsaan.
Lembaga pendidikan seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah menjadi ruang penting bagi kaderisasi pemuda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral dan sosial (Yamin, 2023). Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh pendidikan lainnya sadar bahwa membangun bangsa berarti membangun generasi muda sebagai agen perubahan.
Pemuda dan Perlawanan Bersenjata
Pada masa penjajahan Jepang dan pasca-proklamasi, pemuda mengambil peran penting dalam perlawanan bersenjata. Laskar-laskar rakyat, seperti Tentara Pelajar, Pemuda Republik Indonesia, dan kelompok Barisan Banteng, menjadi kekuatan nyata di medan tempur (Siregar, 2022). Mereka bertempur bukan karena kewajiban militer, tetapi karena dorongan idealisme dan cinta tanah air.
Pemuda seperti Bung Tomo, yang memimpin perlawanan dalam Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, menjadi simbol kepahlawanan dan keberanian. Dalam siaran radionya yang menggugah, Bung Tomo menyalakan semangat juang yang membakar semangat seluruh pemuda di penjuru nusantara (Latief, 2021).
Menurut Alwi (2022), pertempuran ini tidak hanya menjadi peristiwa militer, tetapi juga tonggak psikologis yang membentuk narasi kepahlawanan pemuda dalam membela republik yang baru lahir.
Media, Sastra, dan Seni sebagai Alat Perjuangan
Pemuda juga memainkan peran vital dalam dunia pers dan kebudayaan. Majalah Indonesia Merdeka, Sikap, dan Pemandangan adalah contoh media yang dikelola oleh kaum muda dengan semangat nasionalisme. Lewat tulisan dan puisi, mereka menyampaikan kritik terhadap penjajahan serta harapan akan masa depan (Prasetyo, 2020).
Sastrawan muda seperti Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menggunakan bahasa sebagai senjata untuk membangkitkan kesadaran rakyat. Menurut Foulcher (2023), karya sastra pada masa itu adalah bagian dari “estetika perlawanan” yang dipelopori oleh pemuda yang tidak hanya mahir berlogika, tetapi juga peka terhadap rasa dan makna.
Refleksi untuk Pemuda Hari Ini
Sejarah peran pemuda dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin untuk menilai posisi pemuda masa kini. Tantangan yang dihadapi generasi sekarang tentu berbeda: penjajahan bukan lagi datang dari kolonialisme militer, melainkan dari ketimpangan sosial, radikalisme digital, disinformasi, dan krisis identitas (Hidayat, 2024).
Menurut Kleden (2023), tantangan pemuda hari ini adalah menemukan relevansi perjuangan di tengah dunia yang semakin kompleks. Pemuda dituntut tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki etika publik, keberanian moral, dan kepedulian sosial.
Gerakan sosial digital, aktivisme lingkungan, literasi media, dan inovasi teknologi bisa menjadi medium baru perjuangan pemuda. Dalam ruang-ruang inilah, semangat Sumpah Pemuda, Rengasdengklok, dan Surabaya harus menemukan bentuk barunya.
Pemuda sebagai Penjaga Demokrasi
Di era demokrasi, pemuda memiliki peluang besar untuk terlibat aktif dalam menentukan arah bangsa. Namun ironisnya, partisipasi pemuda dalam politik formal cenderung rendah. Padahal, menurut survei LIPI (2023), pemuda memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu keadilan sosial, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan.
Hal ini menunjukkan bahwa pemuda memiliki potensi untuk menjadi aktor politik yang lebih bersih dan visioner. Seperti dicatat oleh Anies Baswedan (2020), “pemuda bukan pemilik masa depan, melainkan pencipta masa depan.” Maka, menciptakan ruang aman, inklusif, dan produktif bagi pemuda untuk berkarya menjadi tugas kolektif bangsa.
Penutup: Menyala Tak Pernah Padam
Jika dahulu pemuda Indonesia mengangkat bambu runcing dan pena sebagai alat perjuangan, maka hari ini mereka memiliki media sosial, teknologi, dan kreativitas tanpa batas. Namun semangat yang dibutuhkan tetap sama: keberanian, solidaritas, dan cinta tanah air.
Kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan ruang awal untuk perjuangan baru. Dan dalam setiap perjuangan, pemuda akan selalu menjadi nyala pertama yang menerangi jalan. Maka, seperti api yang menyala dari jiwa muda, biarlah semangat itu tak pernah padam.
Referensi
- Alwi, A. (2022). Revolusi Rakyat: Bung Tomo dan Surabaya 1945. Yogyakarta: Ombak.
- Anhar, G. (2019). Rengasdengklok: Kronologi, Kontroversi, dan Konsekuensi. Jakarta: Komunitas Bambu.
- Baswedan, A. (2020). Masa Depan Ada di Tangan Pemuda. Jakarta: Mizan Publika.
- Foulcher, K. (2023). Sastra Indonesia dan Politik Nasionalisme. Yogyakarta: LKiS.
- Harsasto, P. (2020). Nasionalisme dan Generasi Muda: Kajian Politik Pemuda Indonesia. Semarang: Unnes Press.
- Hidayat, D. (2024). Digitalisasi dan Identitas Generasi Muda. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Kleden, I. (2023). Etika Politik dan Tanggung Jawab Pemuda. Jakarta: Obor Indonesia.
- Kusuma, A. (2022). Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Latief, H. (2021). Narasi Bung Tomo dan Semangat Arek-Arek Suroboyo. Surabaya: Pustaka Pelajar.
- Prasetyo, R. (2020). Pers, Pemuda, dan Perjuangan. Jakarta: Penerbit Gramedia.
- Reid, A. (2023). Perjuangan Indonesia Menuju Kemerdekaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Simanjuntak, B. (2021). Sumpah Pemuda dan Kesadaran Kebangsaan. Jakarta: LP3ES.
- Siregar, A. (2022). Laskar Pemuda: Dinamika Perjuangan Militer Non-formal 1945-1949. Medan: Pustaka Bangsa.
- Suryanegara, A. (2020). Api Sejarah II. Bandung: Salamadani.
- Yamin, M. (2023). Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Kemerdekaan. Solo: Tiga Serangkai.