Pemimpin

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Setiap bangsa menentukan nasibnya melalui proses politik yang berpuncak pada pemilihan pemimpin. Pemimpin bukan sekadar jabatan administratif, melainkan entitas strategis yang mengarahkan peradaban. Di tangan pemimpinlah masa depan rakyat, arah kebijakan, dan derap sejarah digerakkan. Salah memilih pemimpin bukan hanya kesalahan sesaat, melainkan potensi kehancuran sistematis yang berlarut-larut (Schmitter, 2020).

Suatu negara, dengan segala kompleksitas sosial, politik, dan budaya, terus dihadapkan pada tantangan serius dalam memilih pemimpin yang layak. Euforia demokrasi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pilihan. Kampanye elektoral kerap terjebak dalam pencitraan, bukan substansi. Akibatnya, rakyat tidak memilih berdasarkan rekam jejak dan kompetensi, tetapi atas dasar popularitas atau kedekatan emosional (Aspinall & Mietzner, 2022).


Dampak Salah Pilih Pemimpin

Kesalahan dalam memilih pemimpin memiliki konsekuensi luas, mulai dari stagnasi pembangunan, krisis moral publik, hingga melemahnya legitimasi pemerintahan. Pemimpin yang lahir dari proses manipulatif atau minim kompetensi akan menghadirkan kebijakan yang tidak efektif dan sering kali menyimpang dari kepentingan rakyat (Hadiz, 2021).

Tak jarang, ketimpangan sosial dan ekonomi melebar karena keputusan elite politik lebih berpihak pada oligarki ketimbang publik (Winters, 2020). Dalam konteks inilah, rakyat bukan hanya korban salah pilih, tetapi juga bagian dari siklus kesalahan yang terus berulang karena kurangnya kesadaran politik dan ketajaman kritis dalam menilai calon pemimpin.


Fenomena Kultus Individu dan Delegitimasi Rasionalitas

Kesalahan memilih pemimpin juga dipicu oleh lahirnya kultus individu—yakni kecenderungan mengidolakan tokoh tanpa menyelami nilai, gagasan, dan rekam jejaknya. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pemimpin mestinya diuji oleh gagasan dan kapasitas, bukan oleh mitos atau narasi personalistik (Levitsky & Ziblatt, 2018).

Namun realitas menunjukkan bahwa banyak pemilih terjebak dalam euforia emosional, menomorduakan akal sehat. Pemilu bukan lagi ruang kontestasi gagasan, tetapi panggung pencitraan. Kandidat yang tampil menawan di media sosial dengan narasi yang dikurasi dengan baik lebih mudah mendapat simpati ketimbang yang membawa program konkret (Lim, 2022).


Kepemimpinan Berbasis Etika dan Integritas

Seorang pemimpin bukan hanya dituntut cakap secara teknokratis, tetapi juga harus memiliki integritas moral. Pemimpin yang benar akan menjaga akuntabilitas, transparansi, dan keadilan. Sebaliknya, pemimpin yang salah bukan hanya merugikan institusi, tetapi menghancurkan nilai-nilai publik (Northouse, 2021).

Integritas menjadi pondasi utama dari kepemimpinan publik. Tanpa integritas, kekuasaan berubah menjadi alat eksklusif yang melayani diri dan kelompoknya. Etika kepemimpinan bukan tambahan, tetapi inti dari praktik kekuasaan itu sendiri (Ciulla, 2020).


Politik Uang dan Hilangnya Akal Sehat Kolektif

Salah satu akar dari salah pilih pemimpin adalah praktik politik uang. Uang menjadi instrumen utama untuk membeli suara, bukan gagasan. Dalam banyak kasus, kandidat tanpa kapabilitas namun memiliki modal besar dapat mengalahkan kandidat dengan rekam jejak cemerlang namun minim logistik (Mietzner, 2020).

Fenomena ini merusak struktur demokrasi dari hulu ke hilir. Pemilih yang menjual suaranya telah menegasi idealisme demokrasi. Dalam jangka panjang, masyarakat sendiri yang menanggung akibatnya dalam bentuk kebijakan yang korup, pembangunan yang tidak merata, serta krisis kepercayaan pada institusi (Aspinall, 2021).


Media Sosial dan Disinformasi Elektoral

Era digital memperparah risiko salah pilih pemimpin. Informasi yang menyebar melalui media sosial kerap tidak terverifikasi. Hoaks politik menjelma sebagai senjata kampanye yang sangat efektif dalam memanipulasi persepsi publik. Disinformasi ini menumbangkan rasionalitas dan memperkuat polarisasi (Bradshaw & Howard, 2021).

Pemilih yang tidak memiliki literasi digital memadai mudah terperangkap dalam ekosistem kebohongan. Media sosial menjadi ruang “gambaran ideal palsu” yang disusun oleh tim kampanye. Maka, masyarakat harus dibekali dengan kemampuan verifikasi informasi, membedakan antara fakta dan opini, serta tidak mudah terprovokasi (Tandoc et al., 2023).


Urgensi Pendidikan Politik Berbasis Kritis

Solusi jangka panjang untuk menghindari salah pilih pemimpin adalah pendidikan politik yang mencerdaskan. Masyarakat harus didorong untuk mengenal sistem, memahami wewenang dan tanggung jawab pemimpin, serta mampu menilai kapasitas dan integritas calon secara objektif (Rizal & Susanto, 2022).

Pendidikan politik harus menembus ruang keluarga, sekolah, kampus, hingga media massa. Ia tidak hanya mengajarkan prosedur politik, tetapi juga etika politik dan tanggung jawab warga negara. Demokrasi sejati tidak lahir dari pemilu lima tahunan, tetapi dari proses pembelajaran dan kesadaran kolektif yang terus-menerus (Fukuyama, 2019).


Kriteria Ideal Seorang Pemimpin

Dalam perspektif filosofis dan etik, seorang pemimpin ideal memiliki visi strategis, kemampuan komunikasi yang baik, kapabilitas teknokratis, serta keberanian moral. Ia mampu mempersatukan, bukan memecah. Ia melayani, bukan mengeksploitasi. Ia memberi arah, bukan menyesatkan (Burns, 2019).

Bahkan dalam tradisi Islam, seorang pemimpin dianjurkan memiliki quwwah (kekuatan), amanah (kepercayaan), dan hikmah (kebijaksanaan) (Al-Ghazali, 2005). Ketiganya merupakan prinsip universal yang menegaskan bahwa kepemimpinan bukan hak istimewa, tetapi amanah yang berat.


Belajar dari Kesalahan dan Merancang Masa Depan

Salah memilih pemimpin adalah pelajaran sejarah yang mahal. Namun, kesalahan itu bisa menjadi titik balik jika disadari secara kolektif. Rakyat harus menyadari bahwa pemimpin tidak turun dari langit. Ia dipilih dan lahir dari kehendak mayoritas. Jika mayoritas sadar, maka kualitas pemimpin akan meningkat (Diamond, 2020).

Maka, evaluasi publik pasca pemilu tidak kalah penting dari pemilu itu sendiri. Partisipasi rakyat tidak berhenti di bilik suara. Ia harus terus mengawasi, mengkritik, dan memberi masukan agar pemimpin tetap berada dalam rel tanggung jawab dan etika publik (Norris, 2022).


Penutup

Memilih pemimpin adalah tindakan moral, bukan hanya politik. Dalam pemilu, suara rakyat adalah senjata sekaligus cermin dari kualitas kesadaran politik kolektif. Jika suara diberikan kepada yang tidak layak, maka demokrasi akan menghasilkan tirani. Jika suara diberikan kepada yang amanah, maka demokrasi akan menjadi rahmat.

Maka, dalam setiap momentum pemilihan, kita harus bertanya: Apakah kita sedang memilih pemimpin yang membawa bangsa ini pada kemajuan, atau sedang menyerahkannya pada kehancuran yang tertunda?


Referensi

  • Al-Ghazali. (2005). Nasihat-Nasihat Politik Imam al-Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.
  • Aspinall, E. (2021). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
  • Aspinall, E., & Mietzner, M. (2022). Indonesian Politics in 2022: Oligarchic Consolidation and Electoral Dynamics. Asian Survey, 62(1), 1–25.
  • Bradshaw, S., & Howard, P. (2021). The Global Disinformation Order: 2021 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Oxford: Oxford Internet Institute.
  • Burns, J. M. (2019). Leadership. New York: Harper Perennial.
  • Ciulla, J. B. (2020). Ethics: The Heart of Leadership. Santa Barbara: Praeger.
  • Diamond, L. (2020). Ill Winds: Saving Democracy from Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency. New York: Penguin Press.
  • Fukuyama, F. (2019). Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment. New York: Farrar, Straus and Giroux.
  • Hadiz, V. R. (2021). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. London: Cambridge University Press.
  • Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. New York: Crown Publishing.
  • Lim, M. (2022). Digital Politics and Disinformation in Indonesia. Indonesia Journal, 113(2), 15–42.
  • Mietzner, M. (2020). Clientelism and the Limits of Electoral Authoritarianism in Indonesia. Asian Politics & Policy, 12(3), 455–475.
  • Northouse, P. G. (2021). Leadership: Theory and Practice (9th ed.). Thousand Oaks: Sage Publications.
  • Rizal, A., & Susanto, H. (2022). Pendidikan Politik dan Kesadaran Demokrasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Schmitter, P. C. (2020). The Crisis of Liberal Democracy and the Future of Democracy. Journal of Democracy, 31(1), 5–17.