Merdeka

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Setiap bulan Agustus, rakyat Indonesia kembali menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dengan semangat membara, mengibarkan bendera, dan mengenang jasa para pahlawan. Namun, seiring waktu, makna “merdeka” dalam kehidupan sehari-hari makin menjauh dari substansi. Alih-alih menjadi fondasi untuk kemandirian dan keadilan sosial, kemerdekaan justru kerap direduksi menjadi seremoni dan simbolisme kosong.

Pertanyaan mendasarnya adalah: benarkah kita telah merdeka? Atau jangan-jangan, seperti diungkap Pramoedya Ananta Toer, “kita hanya berpindah dari satu bentuk penjajahan ke bentuk lainnya yang lebih halus dan kompleks”?

Merdeka bukanlah terminologi statis, melainkan proyek yang terus diperjuangkan. Ia bukan hadiah, tetapi amanah sejarah yang harus ditunaikan secara kolektif dan berkelanjutan (Komaruddin, 2021).

Kolonialisme Gaya Baru

Jika pada masa lalu penjajahan bersifat fisik dan militeristik, maka kini hadir dalam bentuk neoliberalisme ekonomi, dominasi teknologi, dan infiltrasi budaya (Haryatmoko, 2023). Ketergantungan ekonomi pada investasi asing, eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi transnasional, serta ketidakmampuan negara dalam melindungi kepentingan rakyat adalah wajah-wajah kolonialisme gaya baru (Pambudi, 2022).

Bentuk lain dari ketergantungan ini juga hadir dalam struktur digital global. Data warga negara menjadi komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional tanpa kedaulatan (Nasution, 2023). Kedaulatan digital yang mestinya menjadi bagian integral dari kemerdekaan modern belum menjadi prioritas.

Padahal, menurut Ismail (2022), negara yang tidak mengendalikan data rakyatnya, sesungguhnya telah kehilangan kendali atas masa depannya. Merdeka, dalam konteks ini, adalah memiliki kontrol penuh atas informasi dan sistem distribusinya.

Kemiskinan: Penjajahan dalam Rumah Sendiri

Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 25 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin melebar. Gini ratio yang stagnan menandakan bahwa distribusi kesejahteraan tak kunjung merata.

Kemiskinan bukan semata soal ekonomi, tapi juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang (Sukmono, 2024). Merdeka dari penjajahan berarti juga merdeka dari belenggu ketimpangan struktural.

Menurut Alatas (2023), kemiskinan di Indonesia bukanlah ketidaksengajaan, melainkan hasil dari pola kebijakan yang eksploitatif, diskriminatif, dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Dalam konteks ini, kemerdekaan sosial masih jauh dari cita-cita.

Demokrasi yang Belum Membebaskan

Demokrasi adalah janji kemerdekaan politik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi justru menjadi ruang bagi kapital untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Politik uang, manipulasi opini publik melalui media, serta kooptasi partai oleh oligarki menandakan bahwa demokrasi belum mewujudkan kebebasan substantif (Hadiz, 2023).

Pemilu yang semestinya menjadi momentum rakyat menyuarakan aspirasi, sering kali menjadi panggung elite yang mengatur segalanya di belakang layar (Subekti, 2022). Dalam situasi seperti ini, rakyat hanya menjadi penonton yang diberi hak suara tanpa makna.

Demokrasi yang membebaskan seharusnya mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, bukan menjadikan mereka sekadar alat legitimasi (Sihombing, 2024). Maka, merdeka berarti memiliki demokrasi yang inklusif, transparan, dan benar-benar representatif.

Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan

Ki Hadjar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan adalah alat untuk memerdekakan manusia, bukan menundukkannya. Namun, pendidikan hari ini sering kali melahirkan manusia-manusia yang terlatih, bukan merdeka; pintar, tetapi tidak bijak; cerdas, namun tanpa keberpihakan sosial (Wulandari, 2024).

Kurikulum yang kaku, beban administratif guru yang berlebihan, dan komersialisasi pendidikan menjadi penghalang utama bagi cita-cita pendidikan yang memanusiakan (Santoso, 2023). Sekolah menjadi tempat transmisi nilai-nilai kapitalisme, bukan arena pembebasan.

Friere (2021) menyebut pendidikan yang membebaskan sebagai proses dialogis, kritis, dan berakar pada realitas sosial. Jika pendidikan masih menjauh dari prinsip ini, maka kita belum sungguh-sungguh merdeka.

Bahaya Ketergantungan Budaya

Penjajahan budaya adalah bentuk penjajahan yang paling halus. Melalui produk hiburan, gaya hidup, bahasa, dan norma-norma sosial, masyarakat digiring untuk meninggalkan identitasnya dan menjadi konsumen budaya global (Yuliani, 2023).

Dominasi budaya luar bukan hanya terjadi pada generasi muda, tapi juga merasuk ke dalam institusi pendidikan, media, hingga ruang-ruang publik. Menjadi “modern” sering kali dimaknai sebagai menjadi “barat”, bukan menjadi mandiri (Hidayat, 2024).

Padahal, menurut Kleden (2022), bangsa yang tidak mampu merawat kebudayaannya akan kehilangan arah pembangunan. Merdeka berarti juga menjaga keberagaman identitas budaya sebagai sumber kekuatan, bukan sekadar simbol masa lalu.

Ekologis yang Terjajah

Kerusakan lingkungan yang masif akibat eksploitasi sumber daya alam menandakan bahwa alam Indonesia belum merdeka dari kerakusan manusia. Hutan-hutan dibabat untuk kepentingan tambang, sawit, dan properti. Sungai tercemar, laut rusak, dan udara beracun (Tambunan, 2023).

Kemerdekaan ekologis adalah bagian tak terpisahkan dari kemerdekaan bangsa. Tanah air yang merdeka adalah tanah air yang hidup, lestari, dan berkelanjutan (Rahmawati, 2023).

Lebih dari itu, krisis iklim telah mengancam masa depan generasi mendatang. Jika pembangunan tidak diletakkan dalam kerangka keberlanjutan, maka kemerdekaan hari ini adalah penjara bagi anak cucu kita (Firmansyah, 2024).

Keadilan Sosial sebagai Ujung Jalan

Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan dengan janji keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Namun, tujuh dekade lebih merdeka, keadilan sosial masih terasa sebagai utopia (Winata, 2023).

Keadilan sosial menuntut distribusi kekayaan, pelayanan publik yang setara, serta pengakuan terhadap hak-hak kelompok rentan. Jika masyarakat adat masih digusur, buruh masih dieksploitasi, dan petani kehilangan tanahnya, maka sesungguhnya kita belum merdeka (Marbun, 2023).

Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat dapat hidup dengan martabat, bebas dari ketakutan dan kekurangan, serta memiliki kendali atas nasibnya sendiri. Bukan hanya dari penjajah luar, tetapi juga dari sistem yang menindas dari dalam.

Menafsir Ulang Kemerdekaan

Sudah waktunya menafsir ulang makna kemerdekaan sebagai proyek kebangsaan yang berkelanjutan. Ia bukan slogan atau ritual, tetapi proses kolektif yang harus melibatkan seluruh elemen bangsa.

Merdeka adalah keberanian untuk memperjuangkan keadilan, bukan hanya mengenangnya. Merdeka adalah kedaulatan atas tanah, air, data, dan nasib rakyat. Merdeka adalah ketika semua warga negara, tanpa kecuali, merasakan manfaat dari cita-cita republik ini.

Karena itu, setiap 17 Agustus bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi mengevaluasi masa kini dan memperjuangkan masa depan. Kemerdekaan bukan milik pemerintah atau elite, tapi milik rakyat. Dan ia harus terus diperjuangkan.


Referensi

  • Alatas, H. (2023). Struktur Sosial dan Ketimpangan di Indonesia. Jakarta: Obor Press.
  • Firmansyah, R. (2024). Krisis Iklim dan Masa Depan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
  • Freire, P. (2021). Pendidikan Kaum Tertindas. Bandung: Pustaka Pelajar.
  • Hadiz, V. (2023). Demokrasi dan Oligarki di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
  • Haryatmoko. (2023). Kuasa dan Moral dalam Politik Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Hidayat, M. (2024). Budaya, Identitas, dan Globalisasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Ismail, F. (2022). Kedaulatan Digital dan Tantangan Bangsa. Jakarta: ICT Policy Center.
  • Kleden, I. (2022). Budaya dan Modernisasi: Perspektif Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Komaruddin, M. (2021). Merdeka dan Proyek Bangsa. Bandung: Humaniora Press.
  • Marbun, J. (2023). Keadilan Sosial dan Gerakan Rakyat. Medan: Reform Institute.
  • Nasution, R. (2023). Big Data dan Kedaulatan Nasional. Bandung: Informatika.
  • Pambudi, A. (2022). Neokolonialisme Ekonomi Global. Jakarta: LP3ES.
  • Rahmawati, S. (2023). Ekologi dan Kemerdekaan Alam Indonesia. Surabaya: Pustaka Hijau.
  • Santoso, D. (2023). Komersialisasi Pendidikan di Indonesia. Malang: Literasi Nusantara.
  • Sihombing, B. (2024). Krisis Demokrasi dan Harapan Rakyat. Jakarta: Demokrasi Watch.
  • Subekti, N. (2022). Pemilu dan Oligarki di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.
  • Sukmono, H. (2024). Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Publik. Semarang: Pustaka Adil.
  • Tambunan, S. (2023). Krisis Lingkungan dan Kebijakan Ekonomi. Jakarta: Paramadina.
  • Winata, L. (2023). Utopia Keadilan Sosial dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Nuansa Cendekia.
  • Wulandari, N. (2024). Pendidikan yang Membebaskan. Surabaya: Penerbit Cerdas.