Lelang Jabatan

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam narasi besar reformasi birokrasi, sistem seleksi terbuka atau yang populer disebut “lelang jabatan” sejatinya adalah etalase dari prinsip meritokrasi. Ini adalah upaya negara menjaring aparatur terbaik melalui proses yang transparan, adil, dan berbasis kompetensi. Namun realitasnya tak selalu ideal. Di balik layar lelang jabatan, kerap kali tersembunyi dagang sapi, intervensi politis, dan afiliasi kelompok kekuasaan.

Idealnya, setiap aparatur yang mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi (JPT) adalah mereka yang memiliki integritas, kapasitas manajerial, serta pengalaman yang relevan. Namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa tak sedikit peserta seleksi yang sekadar formalitas, karena “pemenang” telah ditentukan jauh sebelum uji makalah digelar atau wawancara berlangsung.

Ini merupakan pelanggaran nyata terhadap amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang menegaskan bahwa sistem manajemen ASN harus berdasarkan sistem merit, yakni kebijakan dan manajemen SDM ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa diskriminasi. Jika sistem merit ini disubordinasikan oleh kepentingan pribadi, politik, atau kelompok, maka makna ASN sebagai pelayan publik yang profesional, netral, dan berintegritas menjadi ilusi belaka.

Ketika Seleksi Menjadi Simulasi

Fakta di berbagai daerah memperlihatkan kecenderungan bahwa proses seleksi terbuka hanya menjadi “simulasi administratif” untuk melegitimasi figur tertentu yang sebelumnya telah dikunci. Nama-nama peserta lain hanya menjadi pelengkap administrasi. Bahkan terkadang, mereka diminta mengikuti seleksi atas permintaan langsung atasan sebagai bagian dari skenario sandiwara yang rapi. Fenomena ini kerap muncul dalam laporan investigatif lembaga masyarakat sipil, media, dan hasil riset akademik.

Dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), ditemukan bahwa proses lelang jabatan di sejumlah daerah tak lebih dari formalitas belaka dengan aktor pemenang telah ditentukan sebelum proses dimulai (ICW, 2023). Dalam studi lainnya, peneliti LIPI (kini BRIN), Siti Zuhro, mencatat bahwa praktik seperti ini telah mengakar karena relasi kuasa dalam birokrasi yang sangat patrimonial, di mana loyalitas kepada kepala daerah lebih menentukan daripada kompetensi dan integritas (Zuhro, 2020).

Praktik ini tidak hanya menciderai semangat meritokrasi, tetapi juga menjadi pintu masuk politisasi birokrasi. Laporan dari Kementerian PANRB bahkan menyebut bahwa salah satu tantangan besar dalam reformasi birokrasi adalah intervensi kepala daerah dalam proses pengisian jabatan struktural, yang kerap berujung pada konflik kepentingan dan lemahnya independensi aparatur (KemenPANRB, 2022). Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dari Komisi ASN, terutama karena keterbatasan wewenang yang lebih bersifat rekomendatif daripada eksekutif (Komisi ASN, 2021).

Fenomena ini berdampak serius pada iklim organisasi dan budaya kerja di birokrasi daerah. ASN yang menyadari bahwa jabatan diperoleh bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan atau pesanan, cenderung kehilangan semangat profesionalisme. Sebaliknya, yang “terpilih” karena alasan non-meritokratis justru merasa aman dan enggan berbenah. Situasi inilah yang kemudian memicu stagnasi kinerja instansi serta suburnya praktik transaksional dalam pelayanan publik (Syamsuddin, 2021).

Dalam laporan Ombudsman, praktik maladministrasi dalam proses seleksi jabatan yang masih cukup tinggi ini terjadi karena celah regulasi dan lemahnya pengawasan publik (Ombudsman RI, 2024). Akibatnya, posisi strategis di birokrasi yang mestinya diisi oleh sosok yang kompeten dan visioner, justru ditempati oleh “orang dalam” yang loyal pada kekuasaan, bukan pada pelayanan.

Lebih buruk lagi, kerap muncul indikasi barter politik. Posisi jabatan tinggi dijadikan alat tawar untuk konsolidasi dukungan, atau sebagai “balas jasa” terhadap aktor politik yang berperan di balik pemilihan kepala daerah atau pejabat eksekutif lainnya. Ini yang disebut oleh Riccucci (2023) sebagai patronage masquerading as merit, yakni praktik patronase yang dibungkus secara artifisial dalam sistem meritokrasi.

Sistem Merit yang Dikerdilkan

Lahirnya UU ASN terbaru memberikan landasan kuat bagi implementasi sistem merit yang lebih ketat. Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) diberi mandat untuk mengawasi pelaksanaan seleksi terbuka, termasuk memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran prinsip merit. Namun efektivitas kedua lembaga ini sangat bergantung pada kemauan politik (political will) pimpinan instansi, serta kekuatan sipil society dalam melakukan kontrol publik.

Dalam konteks global, merit system menjadi prasyarat utama bagi birokrasi modern yang efisien dan responsif (Peters, 2021). Negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura berhasil membangun birokrasi yang berorientasi pada kinerja karena konsisten menerapkan sistem merit. Dalam konteks Indonesia, tantangan kita bukan hanya membangun sistem merit, tetapi juga melindunginya dari kontaminasi politik dan budaya feodalistik.

Penting untuk diingat bahwa sistem merit bukanlah prosedur teknis semata, melainkan fondasi etika dalam manajemen sumber daya manusia negara. Ketika seseorang dipilih bukan karena prestasi, melainkan karena relasi, maka yang rusak bukan hanya organisasi birokrasi, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara.

Birokrasi sebagai Alat Kepentingan

Dalam demokrasi yang belum matang, birokrasi sering diperlakukan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai institusi netral yang melayani warga negara. Maka tak heran jika dalam banyak momentum politik, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur birokrasi, termasuk dalam pengisian jabatan strategis.

Seleksi terbuka pun kerap digunakan untuk menyingkirkan sosok-sosok profesional yang dianggap tidak “sejalan”, digantikan oleh figur yang “aman secara politik”. Inilah yang oleh Weber disebut sebagai de-professionalization of bureaucracy—ketika birokrasi tak lagi dikelola oleh ahli, tapi oleh loyalis.

Jika praktik ini terus dibiarkan, maka birokrasi akan terjebak dalam siklus politisasi, di mana orientasi pelayanan publik dikaburkan oleh loyalitas sempit pada penguasa. Rakyat pun menjadi korban ganda: dibebani oleh kebijakan tidak kompeten dan ditinggalkan oleh birokrasi yang tidak independen.

Menata Ulang Mekanisme Seleksi

Untuk menyelamatkan wajah birokrasi dan mengembalikan martabat seleksi jabatan, perlu dilakukan penataan ulang. Pertama, independensi panitia seleksi harus dijamin secara hukum. Anggota pansel tidak boleh berasal dari kalangan yang memiliki konflik kepentingan, baik politik maupun ekonomi.

Kedua, proses seleksi harus membuka ruang partisipasi publik. Masyarakat perlu diberi ruang menyampaikan masukan atau keberatan terhadap calon-calon pejabat yang sedang diseleksi. Hal ini akan memperkuat kontrol sosial dan mempersempit ruang manipulasi.

Ketiga, seluruh proses seleksi harus direkam dan diumumkan secara terbuka. Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan transparansi—mulai dari penilaian makalah, presentasi, hingga wawancara. Dengan begitu, tidak ada ruang gelap tempat berlangsungnya “transaksi”.

Terakhir, sanksi bagi pelanggar prinsip merit harus ditegakkan secara nyata. Mulai dari pembatalan hasil seleksi, pemecatan pejabat yang terbukti melanggar, hingga pencabutan hak ikut seleksi bagi peserta atau panitia yang terlibat manipulasi.

ASN Bukan Komoditas Politik

Aparatur Sipil Negara bukanlah instrumen kekuasaan. Mereka adalah pengemban mandat rakyat yang harus bekerja secara netral, profesional, dan berintegritas. Karena itu, posisi ASN tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas politik yang bisa diperjualbelikan. Praktik menjadikan jabatan birokrasi sebagai alat transaksi politik tidak hanya mencederai nilai etika pelayanan publik, tapi juga secara langsung melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) (Denhardt & Denhardt, 2023).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara secara eksplisit menegaskan bahwa penyelenggaraan manajemen ASN harus berdasarkan pada sistem merit, serta menjunjung tinggi nilai dasar ASN yakni berakhlak, yang merupakan akronim dari berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif (UU ASN, 2023). Penegasan ini merupakan respons atas berbagai kritik terhadap lemahnya netralitas ASN dan kecenderungan politisasi birokrasi, khususnya dalam periode pilkada maupun pemilu (KASN, 2023).

Namun, tanpa konsistensi dalam implementasi, regulasi sebaik apapun akan mandul. Jika prinsip-prinsip tersebut hanya menjadi jargon di atas kertas, maka yang terjadi adalah pemusnahan terhadap cita-cita reformasi birokrasi itu sendiri. Studi dari Wahyudi (2023) menunjukkan bahwa keberhasilan meritokrasi sangat ditentukan oleh keberanian pemimpin instansi dalam menolak tekanan politik dan mengedepankan integritas dalam pengambilan keputusan strategis, termasuk dalam pengisian jabatan.

Yang kita butuhkan bukan hanya penguatan hukum, tetapi keberanian etis dan moral untuk menolak praktik koruptif yang terselubung dalam bungkus seleksi terbuka. Karena pada akhirnya, jabatan publik bukanlah hak istimewa yang bisa diwariskan atau dinegosiasikan, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan keterbukaan.

Menolak Normalisasi Kemunafikan

Seleksi jabatan yang manipulatif adalah bentuk kemunafikan administratif. Ia mengklaim transparansi, namun menyembunyikan keputusan. Ia menyebut diri adil, namun melanggengkan ketimpangan. Ia memakai retorika meritokrasi, namun dioperasionalkan dengan logika loyalitas. Ini harus dihentikan.

Sudah terlalu lama publik dibuat percaya bahwa seleksi terbuka adalah instrumen kemajuan birokrasi, padahal kerap kali hanya menjadi ruang legitimasi untuk “orang-orang dalam”. Praktik ini, jika dibiarkan, akan melanggengkan budaya pseudo-meritokrasi, sebuah sistem yang tampak formal namun sarat kepalsuan, sebagaimana dikritisi oleh Riccucci (2023) dalam kajian tentang birokrasi global.

Dalam konteks Indonesia, normalisasi terhadap pelanggaran merit justru sering didukung oleh pembiaran sistemik dan lemahnya akuntabilitas. Pemerintah pusat pun tidak selalu tegas menindak pelanggaran ini, terutama ketika yang terlibat adalah kepala daerah atau pejabat tinggi yang memiliki dukungan politik kuat (Dwiyanto, 2022). Hal ini diperparah oleh ketidakterlibatan masyarakat sipil dalam memantau proses seleksi jabatan secara aktif (Lestari, 2024).

Sudah waktunya kita bersikap tegas. Jabatan bukan barang lelang. ASN bukan alat politik. Dan sistem merit bukan sekadar formalitas. Ia adalah prinsip etik yang harus dijaga dengan keberanian dan integritas. Jika tidak, maka masa depan birokrasi kita akan terus dibajak oleh kepentingan sempit yang membunuh profesionalisme dari dalam.


Referensi

  • BKN. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Merit dalam Manajemen ASN. Jakarta: BKN Press.
  • Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2023). The New Public Service: Serving, Not Steering (4th ed.). New York: Routledge.
  • Dwiyanto, A. (2022). Mewujudkan Good Governance Melalui Reformasi Birokrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • KASN. (2024). Laporan Tahunan Sistem Merit ASN di Indonesia. Jakarta: KASN.
  • Komisi ASN. (2023). Laporan Tahunan KASN: Penguatan Netralitas dan Sistem Merit. Jakarta: KASN.
  • Lestari, D. (2024). Meritokrasi di Indonesia: Harapan dan Realitas. Jurnal Administrasi Publik, 16(1), 33–47.
  • Mahsun, M. (2023). Pengawasan Seleksi Jabatan di Pemerintahan Daerah. Surabaya: Airlangga Press.
  • Moleong, L. J. (2023). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Ombudsman RI. (2024). Laporan Khusus Pelanggaran dalam Seleksi Terbuka JPT. Jakarta: Ombudsman Press.
  • Peters, B. G. (2021). The Politics of Bureaucracy (7th ed.). New York: Routledge.
  • Prasojo, E. T. (2023). Reformasi Birokrasi dan Sistem Merit. Jakarta: UI Press.
  • Riccucci, N. M. (2023). Public Administration: Traditions of Inquiry and Philosophies of Knowledge. New York: Routledge.
  • Siregar, F. (2024). Dinamika Lelang Jabatan dalam Perspektif Politik Administrasi. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 19(2), 117–134.
  • UU RI No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Lembaran Negara RI Tahun 2023 Nomor 153.
  • Wahyudi, R. (2023). ASN dalam Pusaran Kekuasaan. Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik, 11(4), 215–228.
  • Zaini, I. (2023). Meritokrasi dan Kepemimpinan ASN di Era Digital. Bandung: Pustaka Setia.
  • ICW. (2023). Laporan Tahunan: Seleksi Jabatan Publik dan Konflik Kepentingan di Daerah. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
  • Zuhro, S. (2020). Meritokrasi Birokrasi dalam Bayang-Bayang Politik Dinasti. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 9(2), 157-174.
  • KemenPANRB. (2022). Laporan Kinerja Kementerian PANRB Tahun 2022. Jakarta: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
  • Komisi ASN. (2021). Evaluasi Pengawasan Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi di Daerah. Jakarta: Komisi Aparatur Sipil Negara.
  • Syamsuddin, S. (2021). Politik Birokrasi dan Merit System di Indonesia. Jurnal Administrasi Negara, 11(3), 201–219.