Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Dalam kehidupan sosial kita hari ini, satu kata yang kerap muncul dalam berbagai percakapan, sindiran, dan kritik adalah “lagak.” Ia bukan sekadar lelucon dalam obrolan warung kopi atau bahan guyon dalam media sosial, melainkan cermin dari kegelisahan sosial yang nyata. Lagak adalah gaya yang lebih mementingkan tampilan ketimbang esensi. Ia hadir dalam bahasa, sikap, kebijakan, hingga pencitraan media. Dalam banyak hal, lagak adalah semacam sandiwara sosial yang bisa menjadi cermin buruk dari kedangkalan berpikir.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2025), lagak berarti tingkah laku dan tutur kata yang dibuat-buat atau berlebihan, biasanya bertujuan untuk menarik perhatian atau menunjukkan kelebihan diri. Namun, dalam praktiknya, lagak bisa jadi topeng atas ketidaktahuan, kekosongan gagasan, atau bahkan kehampaan moral. Ia sering tampil dalam wujud keangkuhan, arogansi, dan kesan “serba bisa” yang sesungguhnya rapuh.
Dalam konteks budaya urban, lagak menjadi semacam identitas sosial baru. Fenomena gaya hidup konsumtif yang diperlihatkan melalui media sosial menunjukkan betapa pentingnya citra. Seseorang dianggap berhasil bukan karena capaian substansial, melainkan karena tampilannya di linimasa. Hal ini ditegaskan oleh Sobur (2006), yang menyebut bahwa gaya hidup dan pola konsumsi adalah representasi simbolik status sosial yang sering kali lebih berbicara daripada kenyataan ekonomi seseorang.
Fenomena ini juga diamini oleh Ajisatria (2003), yang dalam penelitiannya mengenai budaya bersepeda di Yogyakarta menunjukkan bahwa aktivitas fisik pun kini tak lepas dari simbolisme status. Sepeda mahal, perlengkapan eksklusif, dan komunitas elit adalah bagian dari lagak modern yang menyamarkan niat awal kebugaran menjadi ajang eksistensi.
Media massa pun tak luput dari budaya lagak. Dalam penyajian berita, sering kali lebih mementingkan efek dramatis ketimbang bobot informasi. Bahasa yang dipilih lebih menekankan sensasionalisme ketimbang substansi. Hasanah (2023) dalam analisisnya terhadap diksi di surat pembaca menyebut bahwa banyak media hari ini membentuk realitas melalui pilihan kata, bukan fakta.
Bahkan dalam pemberitaan isu-isu kebijakan, gaya penyampaian sering kali menjadi alat framing opini publik. Media tidak lagi menjadi penyampai informasi yang netral, tetapi menjadi agen yang membentuk cara pandang pembaca terhadap suatu isu (Intan, 2013). Lagak independensi media pun sering hanya sebatas jargon. Dalam praktiknya, banyak media tetap tunduk pada kepentingan tertentu, menjaga citra pihak tertentu, atau bahkan membentuk persepsi semu atas kenyataan.
Budaya lagak juga berkembang melalui media visual, terutama kartun atau karikatur yang menjadi alat kritik sosial. Roikan (2004), dalam studinya terhadap kartun budaya, menjelaskan bahwa kartun mampu mengungkapkan kebobrokan sosial melalui cara yang lucu namun tajam. Kartun tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi menelanjangi lagak-lagak kosong yang selama ini berkuasa.
Salah satu contoh paling kuat adalah karya-karya Gus Mus, seorang budayawan dan ulama, yang lewat puisinya membongkar hipokrisi publik. Dalam puisinya, Gus Mus menulis: “Banyak yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan yang menggelikan… banyak yang terus pamer kepengecutan dengan lagak yang memuakkan.” (Gus Mus, 2021). Kalimat ini menohok kita pada satu kesadaran: bahwa kadang, suara yang paling nyaring justru datang dari ruang yang paling kosong.
Di dunia politik, lagak menjadi strategi. Banyak pihak menggunakan gaya bicara tegas, tatapan tajam, atau janji-janji penuh retorika untuk menciptakan kesan kepemimpinan. Padahal, tak jarang retorika itu kosong dari makna. Menurut Oetama et al. (2001), era Reformasi membuka keran kebebasan berpendapat, namun juga membuka peluang untuk manipulasi gaya komunikasi demi pencitraan. Banyak yang “berlagak” reformis, padahal masih berpraktik otoriter.
Dalam kehidupan remaja dan masyarakat urban, lagak dapat berkembang menjadi penyimpangan. Kartono dan Dermawan (2017) menyebutnya sebagai bentuk patologi sosial—penyimpangan yang dibungkus gaya agar terlihat normal. Fenomena ini juga diamati oleh UMSU (2025) dan UNISKA (2023) yang menyatakan bahwa gaya hidup menyimpang seringkali diawali dari kebiasaan “berlagak keren” untuk mendapat pengakuan kelompok. Mereka yang awalnya hanya mencoba “ikut-ikutan” lambat laun kehilangan identitas diri, terjerumus dalam perilaku menyimpang seperti konsumsi alkohol, narkotika, atau kekerasan.
Di era media sosial, lagak menjadi komoditas. Kita berlomba memperlihatkan yang terbaik dari hidup kita—liburan mewah, pencapaian akademik, rumah estetis—padahal tak semuanya nyata. UNDIP (2024) dalam risetnya mengungkap bahwa media sosial memperkuat kecenderungan manipulasi opini publik melalui pencitraan, bahkan dalam skala makro seperti politik dan bisnis. Sementara UNTAG Surabaya (2024) menyebutkan bahwa media massa, baik konvensional maupun digital, punya potensi besar membentuk opini masyarakat, baik secara positif maupun negatif, tergantung intensi dan integritas penyampai pesan.
Namun, bukan berarti lagak selalu buruk. Dalam seni dan sastra, lagak bisa menjadi media ekspresi estetika. Dalam kartun editorial, misalnya, gaya adalah alat untuk menyampaikan kritik sosial. Di tangan seniman yang jujur, lagak bukan tipu daya, melainkan bahasa. Komik dan ilustrasi satir, seperti yang dikaji oleh Unila (2025), dapat menyampaikan pesan sosial yang kompleks secara sederhana dan menggugah.
Yang menjadi masalah adalah ketika lagak menggantikan isi. Ketika sikap, kata, dan tindakan hanya menjadi alat pertunjukan, bukan bagian dari integritas. Masyarakat yang terbiasa dengan gaya tanpa makna akan kehilangan kepekaan terhadap substansi. Mereka akan lebih mudah terpengaruh oleh slogan, janji, dan gaya bicara yang memukau, alih-alih kebijakan yang berdampak.
Sudah saatnya kita melek gaya, tapi jangan jadi budak gaya. Kita boleh tampil, tetapi harus dengan isi. Dalam politik, budaya, media, hingga kehidupan sehari-hari, lagak harus dijinakkan. Kita perlu membangun budaya berpikir yang reflektif, bukan reaktif. Gaya boleh jadi penting, tetapi tidak boleh mengalahkan makna.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi ini, lagak adalah ilusi yang mudah digemari. Tapi makna, kejujuran, dan integritas tetap lebih tahan lama. Sebab sejarah hanya mencatat mereka yang memberi dampak nyata, bukan yang sekadar tampil memukau.
Referensi
- Ajisatria, W. (2003). Bersepeda Sebagai Gaya Hidup: Studi Kasus Empat Anggota Cycling Enthusias Yogyakarta (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
- Gus Mus. (2021, April 28). Mengkritik dengan Puisi. Jakarta: NU Online. https://www.nu.or.id
- Hasanah, U. (2023). Penggunaan Diksi dalam Surat Pembaca Surat Kabar Harian Kompas. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
- Intan, E. (2013). Framing Media dan Pembentukan Persepsi Publik. Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara.
- Kartono, K., & Dermawan, M. K. (2017). Teori Kriminologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
- KBBI. (2025). Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. https://kbbi.kemdikbud.go.id
- Oetama, B., Haryanto, M., & Nugroho, D. (2001). Sejarah Media Massa Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Penerbit Kompas.
- Roikan, M. (2004). Kartun dan Representasi Fenomena Budaya dalam Media. Surabaya: Universitas Airlangga.
- Sobur, A. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- UMSU. (2025). Perilaku Menyimpang Remaja di Era Digital: Studi Kasus Kota Medan. Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
- UNILA. (2025). Analisis Semiotika Komik Kritik Sosial di Media Daring. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
- UNDIP. (2024). Manipulasi Opini Publik di Media Sosial: Kajian Komunikasi Politik. Semarang: Universitas Diponegoro.
- UNISKA. (2023). Perilaku Merokok dan Konsumsi Alkohol Remaja Awal. Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan.
- UNTAG Surabaya. (2024). Peran Media Massa dalam Membentuk Opini Publik. Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945.
- Sudarmo, D. S. (2004). Visualisasi Kritik Sosial Melalui Kartun. Surabaya: Universitas Airlangga.