Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Kematian bukan sekadar peristiwa biologis. Ia adalah gejala semesta, rahasia waktu, dan dialektika kehidupan. Dalam setiap tarikan napas kita hari ini, sebenarnya kita sedang bergerak menuju suatu kepastian: kematian. Tapi apakah kita pernah berhenti sejenak dan bertanya: kenapa harus ada kematian?
Pertanyaan ini sering kali luput dalam kehidupan yang serba tergesa. Kita berkejaran dengan waktu, mengejar pencapaian dan pengakuan, seolah hidup akan terus berlanjut. Namun kehadiran kematian yang tak bisa diprediksi itu selalu menjadi titik balik, bahkan titik tanya, yang membuat manusia menunduk merenung. Bukan hanya karena duka, tapi karena ia membuka kemungkinan untuk melihat hidup secara lebih utuh.
Kematian sebagai Mekanisme Kehidupan
Dalam pandangan biologi modern, kematian adalah bagian integral dari proses kehidupan itu sendiri. Tubuh manusia, seperti halnya makhluk hidup lain, terdiri atas triliunan sel yang memiliki siklus hidup. Setiap detik, jutaan sel mati secara alami melalui proses yang disebut apoptosis atau kematian sel terprogram, untuk memberi ruang bagi regenerasi (Alberts et al., 2022). Proses ini penting agar tubuh tetap sehat dan seimbang.
Dalam skala ekosistem, kematian makhluk hidup menjadi sumber nutrisi bagi kehidupan lain. Bangkai hewan menjadi santapan bagi pemulung, kemudian terurai menjadi unsur hara yang menyuburkan tanah. Proses ini mempertahankan siklus karbon dan nitrogen yang menopang biosfer (Odum & Barrett, 2020). Tanpa kematian, tidak akan ada daur ulang energi dan materi. Artinya, kehidupan akan berhenti bukan karena kekurangan makhluk hidup, tetapi karena kelebihan yang tak tertampung oleh bumi.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa kematian bukanlah cacat dalam desain alam, melainkan bagian dari rekayasa cerdas semesta agar kehidupan terus berlangsung.
Evolusi dan Perubahan: Mengapa yang Lama Harus Pergi?
Charles Darwin (1859) pernah menulis bahwa kehidupan adalah kompetisi terus-menerus antara spesies. Dalam kompetisi ini, hanya yang mampu beradaptasi yang bertahan. Tapi adaptasi tak akan pernah ada tanpa ruang untuk perubahan. Dan ruang itu dibuka oleh kematian.
Kematian memungkinkan spesies beregenerasi, memperkenalkan mutasi genetik, dan berevolusi menjadi bentuk kehidupan yang lebih tangguh. Dari sudut pandang ini, kematian justru adalah mesin dari inovasi biologis (Dawkins, 2017). Manusia modern adalah hasil dari ribuan generasi makhluk hidup yang lahir, hidup, dan mati.
Jika tak ada kematian, makhluk hidup akan menumpuk dalam waktu tanpa batas, tanpa tempat bagi varian baru. Evolusi akan lumpuh, dan keberagaman hayati yang menjadi kekayaan bumi akan mandek. Maka kematian menjadi bagian dari sistem penyaringan alami, bukan karena kejam, tapi karena perlu.
Kematian sebagai Faktor Sosial dan Kebudayaan
Lebih dari aspek biologis, kematian memiliki peran sosial yang tak bisa diabaikan. Ia menciptakan dinamika generasional. Ketika satu generasi meninggal, generasi berikutnya mengambil alih peran, tanggung jawab, dan otoritas. Inilah mekanisme sosial yang menjaga agar masyarakat terus bergerak dan tidak statis (Elias, 2001).
Kematian orang tua, meski menyakitkan, memaksa anak-anak untuk tumbuh dan berdiri di atas kaki mereka sendiri. Dalam politik dan kepemimpinan, rotasi pemimpin terjadi karena batas usia atau kematian, memberi peluang bagi regenerasi gagasan dan pendekatan baru terhadap tantangan zaman.
Secara budaya, kesadaran akan kematian juga menjadi pendorong munculnya karya seni, ritual, hukum waris, dan struktur nilai. Kita ingin dikenang. Kita ingin hidup lebih lama melalui karya dan jasa. Maka, kematian justru memotivasi penciptaan dan keberlanjutan nilai.
Ketakutan dan Daya Hidup
Tak dapat dipungkiri, kematian adalah sumber ketakutan eksistensial manusia. Kita takut pada yang tak pasti, dan kematian adalah ketidakpastian paling absolut. Kita tak tahu kapan, di mana, dan bagaimana ia datang. Inilah yang mendorong manusia menciptakan sistem kepercayaan, mitologi, dan agama.
Menurut teori Terror Management dalam psikologi, manusia membangun struktur budaya untuk meredam kecemasan terhadap kematian (Solomon, Greenberg, & Pyszczynski, 2015). Karya seni, kepercayaan akan kehidupan setelah mati, dan kontribusi sosial adalah cara kita menaklukkan rasa takut itu.
Namun menariknya, justru karena ada kematian, hidup menjadi lebih berarti. Waktu menjadi bernilai karena terbatas. Hubungan menjadi penting karena fana. Seorang psikoterapis eksistensial, Irvin Yalom (2008), menyatakan bahwa kematian adalah sumber makna kehidupan. Tanpa kematian, tidak akan ada urgensi moral, tidak akan ada kesungguhan dalam mencintai, bekerja, atau berdoa.
Kematian dalam Lensa Filsafat: Menyempurnakan Kehidupan
Filsafat Barat dan Timur memiliki pandangan yang beragam tentang kematian, namun hampir semuanya sepakat bahwa kematian adalah bagian dari eksistensi manusia yang paling otentik. Heidegger (1962) dalam Being and Time menyebut bahwa hanya manusia yang sadar akan kematian yang mampu hidup secara autentik. Kesadaran itu membuat manusia menghargai waktu dan mengambil tanggung jawab eksistensial.
Camus (1991), seorang eksistensialis Prancis, melihat absurditas hidup manusia yang fana. Namun, alih-alih menyerah, ia mengajak manusia untuk merayakan absurditas itu dengan perlawanan dan keberanian: “Aku memberontak, maka aku ada.” Dari sini, kematian bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihadapi dengan semangat kehidupan.
Dalam filsafat Timur, Taoisme dan Buddhisme memandang kematian sebagai bagian dari keseimbangan yin dan yang, hidup dan mati, datang dan pergi. Tidak ada yang abadi, dan justru dalam kefanaan itu manusia bisa mencapai kedamaian (Watts, 2011).
Kematian sebagai Jalan Pulang dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah fase transisi menuju kehidupan akhirat. Allah menyatakan, “Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya” (Q.S. Al-Mulk: 2).
Dengan pandangan ini, kematian bukan tragedi, melainkan kesempatan. Ia menjadi titik awal untuk menuai hasil dari amal kehidupan. Kesadaran ini membuat umat Islam menjadikan kematian sebagai pengingat spiritual (memento mori). Dalam hadis disebutkan, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan: kematian” (HR. Tirmidzi).
Para sufi menyebut kematian sebagai mi’raj, perjalanan pulang menuju Tuhan. Maka tidak heran jika banyak ulama yang wafat dengan senyum, karena mereka memandang kematian bukan sebagai kehilangan, tetapi sebagai pertemuan.
Ekologi dan Lingkungan: Ketika Kematian Menjadi Pupuk Kehidupan
Kematian juga menyimpan pelajaran ekologis. Dalam hutan, ketika sebatang pohon tua tumbang, ia menciptakan celah bagi cahaya matahari untuk menembus lantai hutan. Di celah itu, bibit-bibit baru bertunas. Dalam istilah ekologi, proses ini disebut gap dynamics—kematian membuka jalan bagi regenerasi (Kimmerer, 2013).
Dalam konteks pemanasan global dan krisis ekologi, kematian spesies menjadi alarm bagi keserakahan manusia. Kepunahan bukan sekadar statistik, tapi sinyal bahwa manusia telah gagal memahami batas-batas kehidupan. Ironisnya, hanya saat kematian hadir dalam skala besar—pandemi, bencana, atau krisis iklim—barulah kita tersadar akan pentingnya hidup secara berkelanjutan (Kolbert, 2021).
Budaya, Ritual, dan Identitas
Berbagai budaya di dunia memaknai kematian secara unik. Dalam masyarakat Toraja, upacara kematian adalah pesta besar, penghormatan terakhir yang merayakan kehidupan orang yang wafat. Di Bali, kremasi adalah prosesi sakral untuk membebaskan roh menuju alam selanjutnya. Di Jawa, tradisi tahlilan dan ziarah kubur menjadi ruang spiritual untuk mengingat asal dan tujuan.
Kematian, dalam hal ini, menjadi media pemersatu komunitas, pembangun narasi identitas, dan pengikat memori lintas generasi. Dari ritual hingga puisi, dari kidung duka hingga prosesi adat, semua menunjukkan bahwa kematian bukan akhir narasi, tapi bagian dari narasi manusia itu sendiri.
Transhumanisme dan Keabadian Digital: Apakah Kita Harus Hidup Selamanya?
Kemajuan teknologi, terutama di bidang kecerdasan buatan dan rekayasa genetika, kini membuka kemungkinan menghapus kematian. Proyek mind uploading, cryonics, dan neuro-chip menjanjikan hidup tanpa batas (Kurzweil, 2020).
Namun, benarkah manusia siap hidup tanpa akhir? Bukankah keabadian akan menghapus makna? Tanpa kematian, semua hari menjadi sama. Tidak ada “terakhir” dalam pertemuan, tidak ada “perpisahan” yang membuat cinta menjadi dalam. Bahkan Bostrom (2008), dalam esainya tentang etika keabadian, mengingatkan bahwa manusia bisa kehilangan kemanusiaannya ketika tak lagi menghadapi batas.
Maka pertanyaannya bukan hanya “bisakah kita menghindari kematian?”, tetapi juga “haruskah kita menghindarinya?”
Penutup: Kematian, Kehidupan, dan Kemanusiaan
Akhirnya, kematian bukanlah lawan dari kehidupan. Ia adalah sisi lain dari koin yang sama. Tanpa kematian, hidup akan kehilangan urgensi, kedalaman, dan makna. Kematian adalah penutup yang memberi tekanan pada isi. Ia adalah bingkai yang membuat lukisan kehidupan menjadi utuh.
Seperti kata Rumi, “Kematian bukanlah kehilangan, melainkan pulang.” Maka daripada menghindarinya, barangkali kita harus berdamai dengannya. Menjadikannya pengingat agar hidup lebih jujur, lebih rendah hati, dan lebih bermakna.
Referensi
- Alberts, B., Johnson, A., Lewis, J., et al. (2022). Molecular Biology of the Cell (7th ed.). New York: Garland Science.
- Bostrom, N. (2008). Why Make a Life? Oxford: Oxford University Press.
- Becker, E. (2020). The Denial of Death. New York: Free Press.
- Camus, A. (1991). The Myth of Sisyphus. New York: Vintage International.
- Dawkins, R. (2017). The Greatest Show on Earth. London: Bantam Press.
- Elias, N. (2001). The Loneliness of the Dying. Oxford: Blackwell Publishers.
- Eliade, M. (1987). The Sacred and the Profane. New York: Harcourt.
- Greenberg, J., Solomon, S., & Pyszczynski, T. (2015). The Worm at the Core: On the Role of Death in Life. New York: Random House.
- Heidegger, M. (1962). Being and Time. New York: Harper & Row.
- Kimmerer, R. W. (2013). Braiding Sweetgrass. Minneapolis: Milkweed Editions.
- Kolbert, E. (2021). Under a White Sky: The Nature of the Future. New York: Crown Publishing.
- Kurzweil, R. (2020). The Singularity Is Nearer. New York: Viking.
- Mulhall, S. (2002). On Film. London: Routledge.
- Nasr, S. H. (2006). The Garden of Truth. New York: HarperOne.
- Yalom, I. D. (2008). Staring at the Sun: Overcoming the Terror of Death. San Francisco: Jossey-Bass.