Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Di balik setiap tarikan napas manusia, kehidupan tampak sebagai sesuatu yang lumrah, bahkan otomatis. Kita bangun, makan, bekerja, berbicara, mencinta, berkonflik, dan akhirnya mati. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak untuk bertanya: kenapa harus ada kehidupan? Mengapa semesta ini tidak memilih sunyi sebagai jawaban final? Mengapa dari kehampaan bisa lahir kesadaran, dari debu bisa muncul cinta?
Pertanyaan ini bukan hanya refleksi eksistensial. Ia mengakar dalam rentang panjang peradaban manusia, dari gumaman mistik suku-suku kuno, hingga debat dalam jurnal-jurnal filsafat dan astrobiologi modern. Di tengah hiruk pikuk zaman digital yang serbacepat, merenung tentang keberadaan hidup adalah bentuk perlawanan terhadap banalitas rutinitas.
Antara Kebermaknaan dan Kebetulan
Bagi sebagian ilmuwan, kehidupan adalah hasil dari proses kebetulan yang sangat langka namun mungkin secara statistik. Asal-usul kehidupan, atau abiogenesis, menjelaskan bagaimana senyawa organik sederhana bisa bertransformasi menjadi sistem yang mampu mereplikasi diri (Deamer, 2020). Hipotesis kolam purba, lubang hidrotermal, hingga panspermia—yang menyebut kehidupan berasal dari luar bumi—semuanya mengarahkan pada kesimpulan yang sama: kehidupan adalah probabilitas yang berhasil.
Namun apakah probabilitas cukup menjelaskan kenapa kehidupan “harus” ada?
Filsuf seperti Thomas Nagel (2012) meragukan bahwa kesadaran, sebagai bentuk tertinggi dari kehidupan, bisa dijelaskan semata-mata melalui reduksionisme biologis. Baginya, kehidupan memiliki arah teleologis—yaitu menuju kesadaran, keindahan, dan nilai. Artinya, kehidupan bukan sekadar terjadi, tapi menuju sesuatu. Ada maksud.
Semesta Tidak Netral
Kosmolog terkenal, Paul Davies (2010), menyatakan bahwa hukum-hukum fisika tampak “ramah kehidupan”. Konstanta fisika seperti gravitasi, gaya elektromagnetik, dan kecepatan cahaya berada dalam batas yang sangat presisi untuk memungkinkan terbentuknya bintang, planet, air cair, dan karbon—semua elemen penting bagi kehidupan. Jika salah satu saja bergeser, semesta akan mandul.
Fenomena ini disebut sebagai prinsip antropik. Tegasnya, semesta tampak seperti “disetel” agar kehidupan bisa muncul (Barrow & Tipler, 1986). Ini menggelitik pertanyaan metafisik: apakah kehidupan memang menjadi tujuan semesta?
Makna, Kesadaran, dan Tanggung Jawab
Di balik struktur biologis dan hukum fisika, kehidupan membawa sesuatu yang tidak bisa diukur: makna. Manusia, sebagai makhluk hidup yang sadar diri, menanggung beban pertanyaan tentang nilai, moral, dan tujuan. Ini bukan sekadar bonus evolusi. Bagi Viktor Frankl (2006), pencarian makna adalah inti dari eksistensi manusia. Ia bahkan lebih penting daripada kebahagiaan itu sendiri.
Kehidupan memberi ruang untuk harapan, tanggung jawab, dan perubahan. Dalam setiap perjuangan melawan penyakit, kemiskinan, atau ketidakadilan, terdapat semangat yang hanya bisa lahir dari entitas hidup. Tanpa kehidupan, tidak ada penderitaan—benar. Tapi juga tak ada kasih sayang, seni, dan perjuangan menuju yang lebih baik.
Islam dan Perspektif Kehidupan
Dalam Islam, kehidupan bukan sekadar hasil dari reaksi kimia atau kebetulan kosmik. Ia adalah amanah dan ujian. Allah berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Q.S. Al-Mulk: 2).
Imam Al-Ghazali melihat kehidupan sebagai peluang untuk mengenal Tuhan, memahami diri, dan membentuk karakter menuju kebahagiaan abadi (Al-Ghazali, 2005). Kehidupan dunia hanyalah satu fase dari totalitas eksistensi. Tapi fase ini menentukan.
Sementara Ibnu Sina menekankan bahwa jiwa manusia bersifat kekal dan kehidupan jasmani hanya media untuk aktualisasi rasionalitas dan spiritualitas (Nasr, 2006).
Satire Kosmik: Seandainya Tak Ada Kehidupan
Bayangkan semesta tanpa kehidupan. Bintang-bintang tetap menyala, planet berputar, galaksi menari dalam kehampaan. Tapi tak ada yang menulis puisi tentangnya. Tak ada yang menyanyikan simfoni tentang kesunyian Saturnus. Tak ada yang menciptakan teori gravitasi atau menggambar wajah kekasih.
Tanpa kehidupan, semesta adalah panggung tanpa drama. Cahaya tanpa mata untuk melihat. Hukum fisika tanpa subjek untuk mengagumi.
Apakah Kehidupan Bernilai jika Singkat?
Banyak yang mempertanyakan nilai kehidupan karena ia berujung pada kematian. Tapi apakah nilai diukur dari durasi?
Stephen Jay Gould (1997) menjawab dengan analogi: “Tidak semua hal berharga harus bertahan lama. Pelangi tidak abadi, tapi siapa yang berani bilang ia tidak indah?” Dalam keterbatasannya, justru kehidupan menjadi intens, penuh makna, dan layak diperjuangkan.
Tantangan Moral Zaman Modern
Ironisnya, justru di era kehidupan paling canggih, ancaman terhadap hidup semakin kompleks. Krisis iklim, perang, ketimpangan, dan kecemasan mental mencerminkan kegagalan manusia merawat kehidupan. Di tengah teknologi yang menjanjikan keabadian, manusia justru lupa bagaimana cara hidup.
Yuval Harari (2015) menyatakan bahwa kita kini lebih fokus untuk menjadi seperti Tuhan—menguasai hidup dan mati—daripada menjadi manusia yang bijak. Ini paradoks zaman modern.
Kehidupan adalah Tanggung Jawab
Jadi, kenapa harus ada kehidupan?
Karena tanpa kehidupan, tidak ada kesadaran. Tanpa kesadaran, tidak ada makna. Tanpa makna, tidak ada nilai. Tanpa nilai, tidak ada alasan untuk apa pun.
Kehidupan adalah rahmat sekaligus amanah. Ia tidak harus ada, tapi justru karena itu, kehadirannya sangat berharga. Ia tidak otomatis, maka ia layak disyukuri. Ia tidak abadi, maka ia harus dijaga.
Referensi
- Barrow, J. D., & Tipler, F. J. (1986). The Anthropic Cosmological Principle. Oxford: Oxford University Press.
- Davies, P. (2010). The Eerie Silence: Renewing Our Search for Alien Intelligence. Boston: Houghton Mifflin Harcourt.
- Deamer, D. (2020). Assembling Life: How Can Life Begin on Earth and Other Habitable Planets? New York: Oxford University Press.
- Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.
- Gould, S. J. (1997). Full House: The Spread of Excellence from Plato to Darwin. New York: Three Rivers Press.
- Harari, Y. N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. London: Harvill Secker.
- Nagel, T. (2012). Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False. New York: Oxford University Press.
- Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
- Nasr, S. H. (2006). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
- Lane, N. (2015). The Vital Question: Energy, Evolution, and the Origins of Complex Life. New York: Norton.
- Ward, P., & Brownlee, D. (2003). Rare Earth: Why Complex Life Is Uncommon in the Universe. New York: Copernicus Books.
- Kauffman, S. A. (2019). A World Beyond Physics: The Emergence and Evolution of Life. New York: Oxford University Press.
- Hazen, R. M. (2012). The Story of Earth: The First 4.5 Billion Years, from Stardust to Living Planet. New York: Viking.
- Penrose, R. (2004). The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe. London: Jonathan Cape.
- Carroll, S. (2016). The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself. New York: Dutton.