Kenapa Aku Ingin Mati?

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Di tengah dunia yang terus terhubung oleh teknologi dan media sosial, paradoks eksistensial justru makin menampakkan wajahnya. Di satu sisi, kita hidup dalam era keterbukaan informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Namun di sisi lain, statistik global memperlihatkan lonjakan angka depresi, kecemasan, dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Sebuah pertanyaan yang menghantui ruang batin dan ruang publik adalah: kenapa aku ingin mati?

Suara yang Tak Terdengar

Keinginan untuk mati bukan selalu soal kemauan, melainkan jeritan batin yang tidak tertangkap oleh telinga sosial. Banyak orang tidak ingin benar-benar mati. Mereka hanya ingin mengakhiri rasa sakit yang tidak tertanggungkan—perasaan hampa, kegagalan relasi, tekanan ekonomi, perasaan tidak berarti, atau luka psikologis yang terus menganga.

Menurut World Health Organization (2023), sekitar 700 ribu orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya, dan banyak lagi yang mencoba. Sebagian besar berasal dari negara berpenghasilan menengah ke bawah, menunjukkan korelasi erat antara stres sosial-ekonomi dan tekanan mental.

Lebih dari itu, keinginan untuk mati seringkali tidak datang tiba-tiba. Ia hadir perlahan, dalam senyap. Kadang dibungkus dengan senyum yang dibuat-buat, tawa yang dipaksa, atau status media sosial yang mencerminkan kebingungan eksistensial. Durkheim (1897) menyebut kondisi ini sebagai anomie, yaitu keterasingan sosial yang membuat individu merasa tak lagi memiliki tempat di dunia.

Kesehatan Mental yang Terlupakan

Di banyak masyarakat, kesehatan mental belum diposisikan setara dengan kesehatan fisik. Padahal, keduanya saling berkaitan. Depresi, kecemasan, trauma masa kecil, dan gangguan bipolar adalah beberapa penyebab utama keinginan untuk mati (American Psychiatric Association, 2022). Sayangnya, stigma terhadap gangguan kejiwaan masih kuat. Individu yang mengalami tekanan psikologis kerap dianggap lemah iman, kurang bersyukur, atau terlalu sensitif.

Padahal, dalam banyak kasus, keinginan untuk mati tidak terkait langsung dengan kondisi spiritual, melainkan kondisi neurokimia otak dan trauma psikososial yang belum tertangani (Kessler et al., 2005). Studi yang dilakukan oleh Joiner (2005) dalam Interpersonal Theory of Suicide menegaskan bahwa kombinasi antara beban batin yang dirasakan dan rasa keterasingan sosial dapat menciptakan dorongan kuat untuk mengakhiri hidup.

Teriakan dalam Sunyi Digital

Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi justru sering menjadi ladang perbandingan dan tekanan sosial. Algoritma mengarahkan pengguna untuk melihat kesuksesan orang lain, tubuh ideal, liburan mewah, atau kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna. Di balik layar, banyak orang merasa gagal, tertinggal, atau tidak cukup baik.

Turkle (2015) menyebut ini sebagai “alone together”—kesepian yang tumbuh di tengah konektivitas digital. Dalam sunyi itu, lahirlah perasaan putus asa dan keinginan untuk menghilang dari dunia yang terasa terlalu bising dan penuh tuntutan.

Realitas Remaja dan Tekanan Tak Terlihat

Kelompok usia yang paling rentan terhadap keinginan untuk mati adalah remaja dan dewasa muda. Menurut laporan UNICEF (2021), di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, satu dari lima remaja memiliki kecenderungan depresi, dan banyak dari mereka pernah memikirkan untuk mengakhiri hidup.

Tekanan akademik, ketidakharmonisan keluarga, perundungan (bullying), dan pencarian jati diri yang tidak mendapat ruang menjadi pemicunya. Menariknya, banyak remaja tidak tahu harus berbicara kepada siapa. Sistem pendidikan yang menekankan prestasi akademik seringkali lupa memberikan ruang aman untuk mengelola emosi dan kegagalan.

Duka yang Terbawa Diam

Kehilangan orang terkasih, terutama secara tiba-tiba, dapat mendorong seseorang untuk ikut “menyusul.” Ini dikenal dalam literatur psikologi sebagai prolonged grief disorder, di mana duka berubah menjadi beban mental berkepanjangan (Shear, 2015). Rasa kehilangan bisa bertransformasi menjadi kehampaan eksistensial yang tidak lagi menemukan makna hidup.

Frankl (1985), dalam Man’s Search for Meaning, menyatakan bahwa manusia mampu bertahan dalam penderitaan luar biasa jika ia menemukan makna dalam penderitaan tersebut. Ketika makna itu hilang, harapan pun ikut memudar.

Ketika Agama Tak Menenangkan

Agama sering dianggap sebagai penolong jiwa yang resah. Namun dalam kenyataannya, pengalaman spiritual bisa bersifat paradoksal. Bagi sebagian orang, iman membawa ketenangan. Bagi yang lain, terutama yang merasa tidak cukup baik secara religius, rasa bersalah justru memperburuk kondisi mental (Exline et al., 2014). “Aku merasa tak cukup suci untuk Tuhan pun menerima aku,” ujar salah satu remaja dalam riset klinis oleh Pargament (2007).

Ini menunjukkan bahwa pendekatan spiritual harus disertai dengan empati dan bukan dogma. Tidak semua orang siap langsung menapaki jalur religius ketika batinnya masih berdarah-darah.

Menemani, Bukan Menghakimi

Pertolongan pertama pada kesehatan mental bukanlah nasehat atau ceramah, melainkan kehadiran. Mendengarkan, menampung air mata, dan tidak buru-buru memberi solusi adalah bentuk pertolongan paling mendasar. Brown (2012) menyebut ini sebagai empathic presence—keberadaan tanpa syarat yang mampu menyelamatkan jiwa.

Dalam banyak kasus, orang yang ingin mati sebenarnya sedang berteriak minta ditolong. Namun suara mereka sering tertutup oleh ketergesaan kita dalam menilai. Di sinilah peran keluarga, sahabat, guru, dan masyarakat menjadi penting.

Peran Negara dan Ketidakhadirannya

Meski tulisan ini tidak menyinggung instansi tertentu, kita perlu menyadari bahwa sistem dukungan terhadap individu yang mengalami krisis mental masih sangat minim. Layanan konseling sekolah sering tidak aktif. Psikolog dan psikiater sulit dijangkau masyarakat akar rumput. Padahal menurut WHO (2023), setiap satu dolar investasi pada kesehatan mental menghasilkan lima dolar manfaat sosial dan ekonomi.

Sayangnya, anggaran untuk kesehatan jiwa sering tidak dianggap prioritas. Kampanye kesadaran hanya muncul saat Hari Kesehatan Mental Dunia. Selebihnya, suara orang-orang yang ingin mati kembali tenggelam dalam statistik dan berita kriminal.

Kita Harus Berubah

Sebagai masyarakat, kita perlu membentuk ekosistem yang ramah terhadap kesedihan. Tidak semua orang kuat setiap hari. Tidak semua luka terlihat di permukaan. Kita butuh ruang-ruang aman: di sekolah, di kantor, di rumah ibadah, dan di dunia digital. Tempat di mana orang bisa menangis tanpa dihakimi, mengakui lelah tanpa diceramahi, dan meminta tolong tanpa rasa malu.

Karena hidup tidak selalu terang, tapi manusia selalu punya potensi untuk pulih. Kadang, yang dibutuhkan seseorang hanya satu hal: didengar.


Referensi

  • American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed., Text Revision). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
  • Brown, B. (2012). Daring Greatly. New York, NY: Gotham Books.
  • Durkheim, E. (1897). Suicide: A Study in Sociology. London, UK: Routledge.
  • Exline, J. J., Yali, A. M., & Sanderson, W. C. (2014). Guilt, God, and mental health. Journal of Psychology and Theology, 42(4), 349–357.
  • Frankl, V. E. (1985). Man’s Search for Meaning. Boston, MA: Beacon Press.
  • Joiner, T. (2005). Why People Die by Suicide. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Kessler, R. C., Berglund, P., Demler, O., et al. (2005). Lifetime prevalence and age-of-onset distributions of DSM-IV disorders. Archives of General Psychiatry, 62(6), 593–602.
  • Pargament, K. I. (2007). Spiritually Integrated Psychotherapy: Understanding and Addressing the Sacred. New York, NY: Guilford Press.
  • Shear, M. K. (2015). Complicated grief. New England Journal of Medicine, 372(2), 153–160.
  • Turkle, S. (2015). Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age. New York, NY: Penguin Press.
  • UNICEF. (2021). The State of the World’s Children 2021: On My Mind – Promoting, protecting and caring for children’s mental health. New York, NY: UNICEF Publications.
  • WHO. (2023). Suicide worldwide in 2023: Global health estimates. Geneva, CH: World Health Organization.
  • World Health Organization. (2022). Mental health and COVID-19: Early evidence of the pandemic’s impact. Geneva, CH: WHO Press.
  • WHO. (2021). Live life: an implementation guide for suicide prevention in countries. Geneva, CH: WHO Press.
  • WHO. (2020). Mental Health Atlas 2020. Geneva, CH: WHO Press.