Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukan sekadar momen historis memutus rantai penjajahan. Ia adalah pernyataan etis-politik tentang martabat manusia, yang dalam khazanah Islam dapat dibaca melalui lensa maqāṣid syarī‘ah: tujuan-tujuan luhur syariat yang diarahkan untuk menghadirkan maslahat dan menolak mafsadat. Dengan kacamata ini, kemerdekaan bukan hanya bebas dari kolonialisme, melainkan juga agenda berkelanjutan—mewujudkan penjagaan agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan/kehormatan (ḥifẓ al-nasl/‘ird), dan harta (ḥifẓ al-māl)—dalam tata kelola negara yang adil, inklusif, dan berkeadaban (Auda, 2008; Ibn ‘Āsyūr, 2006; Al-Raysuni, 2005).
Pembukaan UUD 1945 sendiri secara eksplisit merumuskan tujuan negara: melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Rumusan ini selaras dengan kerangka maqāṣid—melindungi kehidupan dan martabat (ḥifẓ al-nafs), mencerdaskan (ḥifẓ al-‘aql), menyejahterakan (ḥifẓ al-māl), serta memastikan ruang aktualisasi beragama (ḥifẓ al-dīn) secara damai dalam masyarakat majemuk (MPR RI, n.d.). Dengan demikian, kemerdekaan adalah mandat konstitusional sekaligus moral untuk mengelola kebhinekaan sebagai rahmat, bukan ancaman (Alfitri, 2019).
Membaca Kemerdekaan sebagai Agenda Maqāṣid
Tradisi maqāṣid menekankan bahwa hukum—dan lebih luas, kebijakan publik—harus diarahkan pada kemaslahatan yang terukur, adaptif terhadap konteks, serta terbuka pada metodologi lintas-disiplin (Auda, 2008; Kamali, 2025). Spirit kemerdekaan menuntut “pembacaan sistemik” atas tantangan Indonesia hari ini—kemiskinan, ketimpangan akses layanan dasar, kualitas pendidikan, polarisasi sosial, hingga keberlanjutan lingkungan—sebagai satu kesatuan persoalan tujuan (Auda, 2022). Karena itu, mengelola kemerdekaan berarti memastikan negara berfungsi sebagai penjamin lima pokok penjagaan (al-ḍarūriyyāt al-khams), bukan sekadar regulator formal.
Pertama, ḥifẓ al-dīn meniscayakan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dan penguatan harmoni sosial. Secara konstitusional, Indonesia menjamin kebebasan menjalankan agama (Pasal 29 UUD 1945), namun praktiknya kerap menghadapi tantangan implementasi dan ketegangan sosial (U.S. Department of State, 2022; “Adat Law…”, 2023). Kerangka maqāṣid mendorong kebijakan yang proaktif mencegah kekerasan, menguatkan dialog lintas iman, dan menutup celah regulasi yang berpotensi diskriminatif, sehingga kebebasan yang dijamin tidak berhenti pada teks, tetapi nyata di lapangan (Alfitri, 2019).
Kedua, ḥifẓ al-nafs menuntut layanan kesehatan, keselamatan publik, dan mitigasi risiko bencana—isu yang sangat Indonesia. Pendekatan maqāṣid memandu alokasi sumber daya ke intervensi berbiaya efektif dengan dampak maksimal pada keselamatan jiwa, serta tata kelola bencana yang transparan dan berbasis data. Agenda ini serasi dengan kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) jika dibaca sebagai “operasionalisasi maqāṣid” di level kebijakan (Westra, Auda, & Malkawi, 2022; Mohammed, 2024).
Ketiga, ḥifẓ al-‘aql berkaitan langsung dengan pendidikan yang memerdekakan—mencerdaskan tanpa memecah, kritis tanpa memusuhi. Dalam perspektif maqāṣid, pendidikan publik adalah instrumen menjaga akal: menjamin literasi, berpikir ilmiah, dan etika digital di tengah banjir informasi. Agenda literasi ini bukan tambahan, melainkan esensi dari janji konstitusi “mencerdaskan kehidupan bangsa” (MPR RI, n.d.).
Keempat, ḥifẓ al-nasl/‘ird menuntut perlindungan keluarga, anak, dan kelompok rentan dari kekerasan serta diskriminasi. Kebijakan keluarga—dari layanan kesehatan ibu-anak hingga perlindungan dari kekerasan berbasis gender—adalah medan maqāṣid yang nyata dan terukur, menimbang konteks kultural sekaligus menjunjung martabat manusia (Al-Raysuni, 2005; Ibn ‘Āsyūr, 2006).
Kelima, ḥifẓ al-māl menyentuh keadilan ekonomi: redistribusi, perlindungan hak milik, serta pemberdayaan produktif. Literatur mutakhir memperlihatkan bagaimana prinsip maqāṣid mendorong desain kebijakan fiskal dan instrumen sosial-keuangan Islam (zakat, wakaf, sukuk) yang berdampak pada pengurangan kemiskinan dan ketimpangan, termasuk sinergi dengan SDGs (Harahap, Risfandy, & Futri, 2023; Makhsin et al., 2023; Qoyum et al., 2024). Di sini, kemerdekaan bermakna kemandirian ekonomi yang adil, bukan sekadar pertumbuhan angka makro.
Maqāṣid, SDGs, dan “Manajemen Kemaslahatan”
Satu pelajaran penting dari riset-riset terkini adalah kebutuhan menghubungkan maqāṣid dengan indikator kebijakan yang jelas agar tidak berhenti pada jargon (Harahap et al., 2023; Qoyum et al., 2024). Pengarusutamaan maqāṣid dapat dilakukan melalui tiga langkah: (1) Penerjemahan tujuan ke dalam matriks indikator terukur (misalnya, ḥifẓ al-nafs → penurunan stunting dan kematian ibu; ḥifẓ al-‘aql → peningkatan literasi numerasi); (2) Desain instrumen—dari pajak ramah-UMKM, wakaf produktif, hingga skema pembiayaan inklusif—yang dibuktikan secara empiris berkontribusi pada target SDGs; (3) Audit kemaslahatan: evaluasi periodik yang mengukur seberapa jauh kebijakan benar-benar menurunkan beban sosial dan memperluas kapabilitas warga (Westra et al., 2022; Mohammed, 2024). Pendekatan ini menegaskan maqāṣid sebagai tata kelola berbasis bukti (evidence-based governance), bukan sekadar ranah normatif.
Kebebasan Beragama dan Kohesi Sosial
Dalam masyarakat majemuk, perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan menjadi lakmus kemerdekaan. Laporan internasional dan riset domestik sama-sama menunjukkan adanya celah implementasi—dari perizinan rumah ibadah hingga ujaran kebencian—yang menuntut pembenahan regulasi, peningkatan kapasitas aparat, dan pendidikan kebhinekaan (U.S. Department of State, 2022; Alfitri, 2019). Secara maqāṣid, kebijakan harus meminimalkan mudarat sosial (fitnah, kekerasan) dan memaksimalkan kemaslahatan (kepercayaan, solidaritas). Menguatkan mekanisme mediasi berbasis komunitas dan memastikan aturan yang netral-agama namun sensitif-budaya adalah ikhtiar yang sejalan dengan ḥifẓ al-dīn dan ḥifẓ al-nafs (Al-Raysuni, 2005; Ibn ‘Āsyūr, 2006).
Ekonomi Keadilan: Dari Zakat ke Wakaf Produktif
Literatur kontemporer menunjukkan potensi besar instrumen sosial-keuangan Islam ketika dipadukan dengan pendekatan kebijakan modern—misalnya integrasi data kemiskinan, digitalisasi, dan tata kelola transparan. Zakat dan wakaf produktif, jika diorkestrasi dengan indikator SDGs, dapat mempercepat pengurangan kemiskinan, memperluas akses pendidikan-kesehatan, dan memperkuat ketahanan UMKM (Harahap et al., 2023; Makhsin et al., 2023; Qoyum et al., 2024). Ini bukan kembali ke romantisme masa lalu, tetapi memodernkan alat ukur dan mekanisme akuntabilitas agar setiap rupiah sosial menghasilkan maslahat maksimal (Kamali, 2025).
Pendidikan yang Memerdekakan Akal
Maqāṣid menempatkan ḥifẓ al-‘aql sebagai poros peradaban. Dalam konteks Indonesia, ini berarti konsistensi pada mutu pembelajaran dasar-menengah, literasi sains, dan etika berteknologi. Transformasi digital harus bersamaan dengan ketahanan informasi—melawan disinformasi dan polarisasi—sebab rusaknya ekosistem pengetahuan menggoyahkan sendi kemerdekaan itu sendiri (Auda, 2008; Auda, 2022). Investasi pada guru, kurikulum yang menumbuhkan nalar kritis, dan akses setara bagi wilayah 3T adalah wujud nyata menjaga akal dalam kerangka konstitusional “mencerdaskan kehidupan bangsa” (MPR RI, n.d.).
Politik Kemaslahatan: Mengelola Perbedaan secara Beradab
Spirit kemerdekaan tidak identik dengan homogenitas. Justru, kemaslahatan menuntut pengelolaan perbedaan secara beradab—mencegah kekerasan, merawat ruang deliberasi, serta memperkuat kepercayaan (social trust). Perspektif maqāṣid memberi etos untuk menimbang kebijakan berdasarkan dampaknya pada lima penjagaan pokok, bukan pada manfaat elektoral jangka pendek (Auda, 2008; Kamali, 2025). Dalam praktik, ini berarti keberanian melakukan koreksi kebijakan yang terbukti merugikan kelompok rentan, memperluas akses keadilan, dan memastikan hukum bekerja setara bagi semua.
Merdeka yang Berkelanjutan
Akhirnya, kemerdekaan dalam perspektif maqāṣid adalah proyek lintas generasi: memastikan bumi tetap layak huni (amanah ekologis) dan ekonomi tumbuh adil untuk anak-cucu (ḥifẓ al-nasl dan ḥifẓ al-māl). Riset-riset mutakhir menggarisbawahi kompatibilitas maqāṣid dengan agenda keberlanjutan—dari tata kelola keuangan ke hijauan (green sukuk) hingga indikator kesejahteraan non-PDB—dengan syarat ada komitmen pada transparansi, partisipasi, dan sains kebijakan (Westra et al., 2022; Mohammed, 2024; Harahap et al., 2023).
Dengan demikian, kemerdekaan RI dapat dipahami bukan hanya sebagai status politik, tetapi sebagai etika publik berbasis maqāṣid: negara yang hadir melindungi, masyarakat yang saling menguatkan, dan kebijakan yang terukur maslahatnya. Di situlah janji Pembukaan UUD 1945 bertemu dengan tradisi intelektual Islam—dalam ikhtiar berkelanjutan untuk memuliakan manusia dan memelihara bumi.
Referensi
- Alfitri. (2019). Religion and constitutional practices in Indonesia. In M. Crouch & N. Künkler (Eds.), Routledge handbook of constitutional law in Indonesia (pp. 229–243). Routledge.
- Al-Raysuni, A. (2005). Imam Al-Shatibi’s theory of the higher objectives and intents of Islamic law (N. El-Khadem, Trans.). The International Institute of Islamic Thought (IIIT).
- Auda, J. (2008). Maqāṣid al-Sharī‘ah as philosophy of Islamic law: A systems approach (2nd ed.). The International Institute of Islamic Thought (IIIT).
- Auda, J. (2022). Maqāṣid al-Shari’ah and public policy: JCMS special issue overview. The Journal of Contemporary Maqāṣid Studies, 1(1), 1–7. https://doi.org/10.59045/jcms.2022.8
- Ibn ‘Āshūr, M. al-Ṭ. (2006). Treatise on Maqāṣid al-Sharī‘ah (M. El-Mesawi, Trans.). The International Institute of Islamic Thought (IIIT).
- Kamali, M. H. (2025). The goals and purposes of Sharī‘ah. Oxford University Press.
- Makhsin, M., Bouoiyour, J., Belaid, O., Grais, W., & Ahmed, M. U. (2023). Why and how of the waqf economy for sustainable development: A study. IIUM Journal of Waqf and Islamic Philanthropy, 1(1), 1–22.
- Mohammed, A. (2024). A scientometric visualization of studies published on Maqasid al-Shariah. Frontiers in Research Metrics and Analytics, 9, 1386590. https://doi.org/10.3389/frma.2024.1386590
- MPR RI. (n.d.). Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Retrieved August 15, 2025, from Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia website.
- Qoyum, A., Suprayogi, N., Fitriah, F., Natsir, M., Hasanah, N., Salwa, S., & Rahman, H. (2024). Applying Maqasid al-Shari’ah to the Islamic capital market: The case of Indonesia. Religions, 15(5), 568. https://doi.org/10.3390/rel15050568
- Tahir, K. V., & Hamid, S. S. (2024). The integration of Maqāṣid al-Sharī‘ah in the modern era: A literary study. IḤYÁ’ Journal of Contemporary Islamic Studies, 6(1), 119–129.
- U.S. Department of State. (2022). Report on international religious freedom: Indonesia. https://www.state.gov/reports/2022-report-on-international-religious-freedom/indonesia
- Westra, L. Q., Auda, J., & Malkawi, B. (2022). Special issue introduction: Maqasid al-Shari’ah—Contemporary approaches and applications. The Journal of Contemporary Maqāṣid Studies, 1(1), 1–4. https://doi.org/10.59045/jcms.2022.1
- Harahap, M. I., Risfandy, T., & Futri, N. (2023). Islamic law, Islamic finance, and the Sustainable Development Goals (SDGs): A systematic review. Sustainability, 15(8), 6626. https://doi.org/10.3390/su15086626
- Husna, S., Nasution, A. M., Al-Faqi, A. F., & Hidayati, N. (2024). The role of Maqāṣid al-Sharī‘ah in Indonesia. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 14(1), 1718–1731. https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v14-i1/20709