Jengkol dan Petai: Bau Tapi Diburu 

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Ada makanan yang membuat masyarakat kita selalu terbelah: ada yang mencintainya sampai menenggelamkan indra pencium, ada yang menghindarinya seperti menghindar dari tetangga yang suka gosip. Dua nama itu mudah disebut bersama: jengkol dan petai. Di meja makan kampung dan warteg, keduanya tak sekadar bahan — mereka adalah tanda identitas kuliner, penanda keberanian lidah, dan, ironisnya, simbol kegelisahan sosial tentang bau, kesehatan, dan kenangan masa kecil. Namun di balik lelucon soal napas selepas santap, jengkol dan petai menyimpan narasi yang lebih kompleks: soal budaya pangan, ilmu gizi, risiko medis, dan peluang ilmu pengetahuan yang jarang kita akui (Kamisah et al., 2013; Shalihat et al., 2023).

Pertama, mari akui satu hal: aromanya bukan sekadar ‘bau’. Aroma pedas-belerang itu muncul dari sekumpulan senyawa belerang (polysulfida, senyawa sulfur volatil) yang membentuk karakter unik petai — dan juga, pada tingkatan lain, jengkol (Frérot et al., 2008; Chhikara et al., 2018). Senyawa-senyawa ini bukan cuma pengganggu hidung yang sopan; beberapa di antaranya bersifat bioaktif dan mengikat perhatian para peneliti karena potensinya sebagai donor gasotransmitter biologis — misalnya pelepas hydrogen sulfide (H₂S) — yang dalam riset molekuler dapat berperan dalam sinyal kardioprotektif dan efek antiinflamasi (Tocmo et al., 2016; Shalihat et al., 2023). Jadi, bau itu berisi bahasa kimia yang menjanjikan kalau kita mau membaca.

Kedua, secara nutrisi petai kerap dipuji. Berbagai kajian menunjukkan bahwa biji Parkia speciosa kaya akan karbohidrat, protein relatif moderat, dan mineral — termasuk kalium — serta sejumlah fenolik dan flavonoid yang memberi aktivitas antioksidan (Chhikara et al., 2018). Petai bukan sekadar lauk; dalam konteks masyarakat agraris, ia adalah sumber energi murah dan mineral penting. Klaim manfaat hipertensi dan pengaturan gula darah pun muncul dalam literatur tradisional dan beberapa studi awal — walau perlu uji klinik lebih lanjut sebelum kita menulisnya di resep dokter (Kamisah et al., 2013).

Namun tentu ada sisi gelapnya — dan bukan hanya soal bau yang ‘mengusir’ tetangga. Jengkol, yang populer di Jawa Barat dan beberapa daerah lain, mengandung djenkolic acid — metabolit yang pada beberapa individu dapat menyebabkan sindrom ginjal akut yang dikenal sebagai djenkolism (Bunawan et al., 2014). Kasus-kasus itu, meski jarang, mengingatkan kita bahwa makanan lokal bukan otomatis aman untuk semua orang: ada interaksi kompleks antara komponen makanan dan kerentanan genetik atau kondisi fisiologis konsumen.

Berhadapan dengan paradoks ini — manfaat gizi dan potensi bahaya toksik — masyarakat kita menunjukkan kebijaksanaan tradisional yang menarik. Praktik merebus, merendam, atau mengolah jengkol dan petai dalam bumbu tertentu bukan semata soal rasa; itu juga upaya menurunkan konsentrasi senyawa yang tidak diinginkan, mengubah komposisi volatil, atau membuat tekstur menjadi lebih aman dikonsumsi. Penelitian pangan modern mulai menguak bagaimana perlakuan panas, fermentasi, atau perendaman memodifikasi profil fitokimia dan aktivitas antioksidan kedua bahan ini (Asikin et al., 2018). Praktik tradisional sering kali berangkat dari pengalaman empiris—nilai yang pantas dihormati sekaligus diuji dengan metode ilmiah.

Ada juga dimensi ekonomi dan kultural yang tidak boleh diabaikan. Jengkol dan petai adalah komoditas lokal: petani menanam pohon Parkia yang tahan lama, pasar lokal ramai saat panen, dan ada industri kecil pengolahan yang menyulap petai jadi sambal, acar, atau produk kaleng. Sementara itu, jengkol menjadi bahan identitas kuliner setempat—dengan resep turun-temurun yang mengikat komunitas. Menggerus atau menstigma makanan ini hanya karena baunya sama artinya dengan meruntuhkan ragam budaya kuliner nusantara. Sebaliknya, kita perlu strategi yang memadukan pelestarian budaya dan peningkatan mutu keamanan pangan (Chhikara et al., 2018).

Lalu, bagaimana peran ilmu dalam memasangkan rasa dan keselamatan? Riset-riset mutakhir telah menunjukkan dua arah menarik. Pertama, kajian kimiawi menemukan senyawa-senyawa bernilai farmakologis—seperti seleno-amino acid pada jengkol yang diduga punya interaksi molekuler pada reseptor kardioprotektif (Shalihat et al., 2023). Kedua, studi teknologi pangan mengeksplorasi pengolahan yang mempertahankan manfaat nutrisi sambil mengurangi risiko — misalnya fermentasi terkontrol untuk mengurangi kelembapan dan memodulasi volatil tanpa menghilangkan nilai gizi. Jika kita serius, jengkol dan petai bisa menjadi contoh bagaimana pangan tradisi dioptimalkan untuk kesehatan modern.

Apa yang sebaiknya dilakukan kebijakan publik dan masyarakat? Pertama, edukasi: bukan mengeluarkan fatwa larangan yang mematikan kearifan lokal, tetapi memberi informasi risiko nyata (mis. djenkolism) dan langkah mitigasinya — cara memasak yang lebih aman, siapa yang sebaiknya membatasi konsumsi (orang dengan riwayat ginjal, misalnya), serta tanda bahaya untuk mencari pertolongan medis. Kedua, penelitian terarah: mendanai kajian farmakologi, toksikologi, dan uji klinik yang selama ini terbatas; membuka akses petani ke teknologi pengolahan yang bisa menambah nilai. Ketiga, perlindungan budaya: mendukung pengembangan produk olahan lokal agar nilai ekonomi tidak lenyap karena stigma bau (Bunawan et al., 2014; Kamisah et al., 2013).

Menutup percakapan ini, izinkan saya membuat pengakuan sederhana: bau adalah bagian dari warisan rasa. Bau petai dan jengkol mengganggu sebagian orang dan membangkitkan nostalgia bagi sebagian yang lain. Tapi lebih dari itu, mereka adalah pintu masuk untuk bertanya — apa yang kita makan, mengapa kita makan, dan bagaimana kita bisa menjadikan makanan lokal sebagai sumber kesehatan, kebudayaan, dan kesejahteraan tanpa mengabaikan keselamatan. Jika ilmu, kebijakan, dan budaya duduk bersama di meja yang sama—mungkin, suatu hari nanti, diskursus soal jengkol dan petai akan bergeser dari guyonan tentang napas ke gagasan konkret tentang perdagangan adil, inovasi pangan, dan riset kesehatan publik. Sampai hari itu, mari makanlah dengan penuh rasa ingin tahu — dan sedikit berhati-hati (Chhikara et al., 2018; Shalihat et al., 2023).


Referensi

  • Shalihat, A., Lesmana, R., Hasanah, A. N., & Mutakin, M. (2023). Selenium organic content prediction in jengkol (Archidendron pauciflorum) and its molecular interaction with cardioprotection receptors PPAR-γ, NF-κB, and PI3K. Molecules, 28(10), 3984. MDPI. https://doi.org/10.3390/molecules28103984
  • Kamisah, Y., Othman, F., Qodriyah, H. S., & Jaarin, K. (2013). Parkia speciosa Hassk.: A potential phytomedicine. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2013, 709028. https://doi.org/10.1155/2013/709028
  • Chhikara, N., Devi, H. R., Jaglan, S., Sharma, P., Gupta, P., & Panghal, A. (2018). Bioactive compounds, food applications and health benefits of Parkia speciosa (stinky beans): A review. Agriculture & Food Security, 7, 46. https://doi.org/10.1186/s40066-018-0196-0
  • Bunawan, N. C., Rastegar, A., White, K. P., & Wang, N. E. (2014). Djenkolism: Case report and literature review. International Medical Case Reports Journal, 7, 79–84. https://doi.org/10.2147/IMCRJ.S62354
  • Tocmo, R., Liang, L., Wang, L., Poh, L., & Huang, D. (2016). Organosulfide profile and hydrogen sulfide-releasing capacity of stink bean (Parkia speciosa) oil: Effects of pH and extraction methods. Food Chemistry, 190, 108–114. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.05.042
  • Frérot, E., Velluz, L., Bagnoud, A., & Delort, E. (2008). Volatile sulfur compounds in Parkia speciosa and related species. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 56(14), 5768–5772. https://doi.org/10.1021/jf800444m
  • Asikin, Y., Taira, E., & Wada, K. (2018). Alterations in the morphological, sugar composition, and volatile flavor properties of petai (Parkia speciosa Hassk.) seed during ripening. Food Research International, 107, 589–595. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2018.02.060
  • Rahayu, P., & Pukan. (2008). Kandungan senyawa kimia pada kulit jengkol (Archidendron pauciflorum). Jurnal Nasional Pangan & Bioteknologi, 1(2), 55–62. http://ejurnal.panganbioteknologi.id/index.php/jnpb/article/view/55
  • Rukmana, R., & Yuliana, N. (2021). Chemical composition, bioactive compounds, antioxidants potential and mycotoxin of minor exotic Archidendron pauciflorum fruit. Journal of Applied Food Research, 11(2), 88–97. https://doi.org/10.20473/jafor.v11i2.29376
  • Ulivia, S., & Andriani, A. (2019). Analysis of nutritional content in petai (Parkia speciosa Hassk.) with various food processing methods. Jurnal Gizi dan Pangan, 14(3), 199–207. https://doi.org/10.25182/jgp.2019.14.3.199-207
  • Rahmawati, E., & Hidayat, M. (2025). Effect of boiling, steaming and microwaving on the antioxidant and antibacterial properties of Parkia speciosa. Indonesian Journal of Food Science and Technology, 8(1), 44–52. https://doi.org/10.31258/ijfst.8.1.44-52
  • Syafitri, A., & Handayani, T. (2022). Phytochemical screening and antibacterial activity test of ethanol extract of jengkol leaves (Archidendron pauciflorum). Jurnal Biologi Tropis, 22(3), 177–184. https://doi.org/10.29303/jbt.v22i3.3142
  • Kamaruddin, N., & Zuraidah, S. (2020). Bioactive compounds of petai beans (Parkia speciosa Hassk.). Malaysian Journal of Science, 39(1), 31–40. https://doi.org/10.22452/mjs.vol39no1.3
  • The Jakarta Post. (2018, 20 Juli). More to ‘jengkol’ than bad smell. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/life/2018/07/20/more-to-jengkol-than-bad-smell.html
  • HelloSehat. (2022, 15 Mei). Manfaat petai untuk kesehatan. HelloSehat. https://hellosehat.com/nutrisi/fakta-gizi/manfaat-petai