Janji Tinggal Janji

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Dalam dunia politik, janji adalah mata uang yang paling murah untuk diucapkan dan paling mahal untuk dipertanggungjawabkan. Setiap musim kampanye, janji ditebar layaknya hujan meteor di langit gelap harapan masyarakat. Dari pembangunan infrastruktur, pembukaan lapangan kerja, hingga penghapusan kemiskinan—semuanya terdengar meyakinkan, bahkan memikat. Namun, ketika kursi kekuasaan telah diduduki, tak sedikit dari janji-janji itu menguap, menyisakan skeptisisme dan luka kepercayaan publik yang mendalam.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Dalam studi politik klasik hingga kontemporer, janji politik seringkali dipandang sebagai alat persuasi ketimbang komitmen nyata (Tomz & Van Houweling, 2009). Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat sudah terbiasa mendengar janji manis saat kampanye yang pada akhirnya tinggal janji, tidak menjadi realisasi.

Politik Retoris dan Kontrak Sosial Palsu

Janji politik sejatinya adalah bentuk kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat. Namun ketika janji itu tidak dipenuhi, yang terjadi bukan sekadar pengingkaran, melainkan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik (Manin, Przeworski, & Stokes, 1999). Dalam konteks ini, politik menjadi arena retorika, bukan tindakan.

Fenomena ini diperkuat oleh kecenderungan politisi menggunakan kata-kata besar tanpa mekanisme pengawasan yang ketat dari pemilih. Dalam iklim demokrasi elektoral, popularitas kadang lebih penting daripada kapabilitas atau integritas (Berelson, Lazarsfeld, & McPhee, 1954). Politisi tak jarang memanfaatkan ketimpangan informasi dan literasi politik masyarakat untuk melanggengkan janji palsu.

Demokrasi dan Ilusi Representasi

Janji politik yang tidak ditepati secara langsung melemahkan legitimasi demokrasi. Demokrasi tidak hanya tentang pemilu lima tahunan, tetapi juga akuntabilitas dan partisipasi yang berkelanjutan (Dahl, 1998). Ketika pemimpin gagal memenuhi janji mereka, rakyat merasa tidak lagi terwakili.

Studi terbaru menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap demokrasi menurun seiring dengan meningkatnya ketidaktepatan janji politik (Norris & Inglehart, 2019). Hal ini menciptakan apa yang disebut sebagai “defisit kepercayaan”, yaitu kesenjangan antara ekspektasi publik dan kinerja pejabat publik (Hetherington, 2005).

Media Sosial: Arena Janji Baru

Kemunculan media sosial memperluas jangkauan janji politik. Kini, seorang calon pemimpin bisa menjanjikan perubahan hanya lewat satu cuitan. Namun, kecepatan dan keluwesan media sosial juga mempermudah penghapusan jejak janji. Janji politik yang semula viral dengan cepat menghilang dalam banjir konten lain, membuat publik sulit untuk menagihnya kembali (Chadwick & Stromer-Galley, 2016).

Meski demikian, media sosial juga membuka ruang bagi aktivisme digital. Publik kini bisa merekam, menyimpan, dan menyebarkan kembali janji-janji yang tak ditepati, menjadikan platform ini sebagai senjata untuk akuntabilitas baru (Karpf, 2016). Namun efektivitasnya tetap bergantung pada kesadaran dan konsistensi masyarakat untuk menagih janji.

Mentalitas Feodal dalam Politik Modern

Kegagalan menepati janji juga bersumber dari budaya politik yang masih kental dengan relasi patron-klien. Dalam sistem ini, janji bukanlah kesepakatan rasional antara warga negara dan pemimpin, melainkan bentuk iming-iming dari “yang kuat” kepada “yang lemah” demi dukungan politik (Scott, 1972). Setelah dukungan diberikan, relasi berubah menjadi dominasi dan subordinasi, bukan kerja sama.

Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa politik patronase justru memperburuk pelayanan publik karena penguasa lebih sibuk membalas jasa pendukungnya ketimbang menunaikan janji kepada seluruh rakyat (Hicken, 2011). Dalam situasi seperti ini, janji tinggal janji, dan kekuasaan hanya menjadi alat distribusi keuntungan sempit.

Politik Identitas dan Eksploitasi Janji

Di tengah polarisasi sosial dan meningkatnya politik identitas, janji politik semakin bersifat eksklusif. Janji tidak lagi ditujukan untuk kebaikan bersama, tetapi hanya untuk kelompok tertentu yang dianggap sebagai basis pemilih. Politik identitas menjadikan janji sebagai alat kooptasi, bukan alat solusi (Mounk, 2018).

Konsekuensinya, rakyat yang tidak termasuk dalam kelompok “yang dijanjikan” merasa ditinggalkan. Di sisi lain, kelompok yang dijanjikan juga kerap kecewa karena janji itu ternyata hanya retorika untuk mendulang suara. Dalam situasi ini, politik kehilangan ruhnya sebagai seni mengelola perbedaan dan membangun kesejahteraan bersama.

Strategi Pemenangan vs Strategi Pemerintahan

Salah satu akar masalah dari fenomena janji politik yang gagal adalah pemisahan antara strategi pemenangan dan strategi pemerintahan. Saat kampanye, politisi berusaha menjadi “segalanya untuk semua orang”, tanpa memperhitungkan keterbatasan anggaran, hukum, dan waktu (Sellers, 2021).

Setelah terpilih, barulah realitas menghantam. Banyak janji tidak bisa direalisasikan karena tidak realistis sejak awal. Namun karena tidak ada mekanisme yang jelas untuk menghukum pembohong politik secara hukum, mereka tetap bisa bertahan dan bahkan terpilih kembali (Thompson, 2005).

Masyarakat yang Lupa Menagih

Namun, tidak semua kesalahan bisa ditimpakan kepada elite politik. Sebagian besar masyarakat masih mudah lupa, mudah luluh, dan cepat memberi maaf tanpa evaluasi. Dalam banyak kasus, masyarakat kembali memilih tokoh yang pernah gagal menepati janji mereka. Ini menunjukkan lemahnya memori kolektif politik dan absennya mekanisme pengawasan publik yang berkelanjutan (Schudson, 1998).

Budaya politik yang permisif terhadap pengingkaran janji membuat praktik tersebut terus berulang. Pendidikan politik yang lemah serta rendahnya literasi media membuat masyarakat rentan terhadap manipulasi dan retorika kosong.

Menuju Politik Tanpa Tipu Daya

Sudah saatnya bangsa ini bergerak menuju politik yang bukan hanya penuh janji, tetapi penuh aksi nyata. Pendidikan politik harus diperkuat agar masyarakat bisa membedakan antara janji realistis dan janji utopis. Media harus memainkan peran kontrol yang konsisten dan independen. Lembaga-lembaga sipil harus aktif menagih janji melalui berbagai mekanisme, dari petisi hingga gugatan hukum.

Selain itu, penting untuk memperkenalkan sistem “perjanjian politik” yang mengikat secara moral dan administratif. Dalam beberapa negara, calon pemimpin diwajibkan menyusun kontrak kebijakan yang bisa dievaluasi secara berkala oleh publik dan lembaga independen (Fox & Shotts, 2009). Mungkin sudah waktunya kita mengadopsi mekanisme serupa.

Penutup

Janji politik bukan sekadar kata-kata, tapi wujud integritas dan tanggung jawab. Ketika janji hanya menjadi alat manipulasi, maka demokrasi kehilangan maknanya. Rakyat bukan sekadar penonton dalam panggung politik. Mereka adalah pemegang kedaulatan yang sah dan berhak menagih semua janji yang telah dibuat atas nama mereka.

Jika hari ini janji tinggal janji, maka masa depan kita tinggal harapan. Saatnya rakyat sadar bahwa perubahan tidak datang dari janji, tapi dari keberanian menagihnya.


Referensi

  • Berelson, B., Lazarsfeld, P. F., & McPhee, W. N. (1954). Voting: A Study of Opinion Formation in a Presidential Campaign. Chicago: University of Chicago Press.
  • Chadwick, A., & Stromer-Galley, J. (2016). Digital media, power, and democracy in parties and election campaigns. The International Journal of Press/Politics, 21(3), 283–293.
  • Dahl, R. A. (1998). On Democracy. New Haven: Yale University Press.
  • Fox, J., & Shotts, K. W. (2009). Delegates or trustees? A theory of political accountability. The Journal of Politics, 71(4), 1225–1237.
  • Hicken, A. (2011). Clientelism. Annual Review of Political Science, 14, 289–310.
  • Hetherington, M. J. (2005). Why Trust Matters: Declining Political Trust and the Demise of American Liberalism. Princeton: Princeton University Press.
  • Karpf, D. (2016). Analytic Activism: Digital Listening and the New Political Strategy. Oxford: Oxford University Press.
  • Manin, B., Przeworski, A., & Stokes, S. C. (1999). Elections and representation. In A. Przeworski, S. C. Stokes, & B. Manin (Eds.), Democracy, Accountability, and Representation (pp. 29–54). Cambridge: Cambridge University Press.
  • Mounk, Y. (2018). The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It. Cambridge: Harvard University Press.
  • Norris, P., & Inglehart, R. (2019). Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism. New York: Cambridge University Press.
  • Schudson, M. (1998). The Good Citizen: A History of American Civic Life. New York: Free Press.
  • Scott, J. C. (1972). Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. American Political Science Review, 66(1), 91–113.
  • Sellers, J. M. (2021). Governing from Below: Urban Regions and the Global Agenda. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Thompson, D. F. (2005). Restoring Responsibility: Ethics in Government, Business, and Healthcare. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Tomz, M., & Van Houweling, R. P. (2009). The electoral implications of candidate ambiguity. American Political Science Review, 103(1), 83–98.