Ismail Raji Al-Faruqi

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Nama Ismail Raji Al-Faruqi kerap disebut ketika dunia Islam membicarakan ide besar “Islamisasi ilmu pengetahuan”. Namun membatasi Al-Faruqi pada satu slogan jelas mengecilkan skala gagasannya. Ia seorang filsuf agama, penggerak dialog lintas iman, penggubah kembali konsep tawhid sebagai paradigma menyeluruh, sekaligus juru bicara seni-budaya Islam yang persuasif. Di tengah kebuntuan percakapan global antara sains, agama, dan peradaban, warisan Al-Faruqi menawarkan bukan sekadar kritik, melainkan rancangan kerja yang rapi: membumikan tawhid dalam ilmu, etika, kebudayaan, dan kebijakan (Al-Faruqi, 1982a; Oxford Reference, 2024).

Lahir di Jaffa pada 1921 dan wafat tragis pada 1986, Al-Faruqi menempuh jejak akademik yang unik: AUB, Indiana, McGill, al-Azhar; lalu mengajar di Temple University, di mana ia merintis studi Islam berbasis ilmu agama perbandingan dan relasi antaragama. Jejak itu membentuk wataknya sebagai “penerjemah” antara kosmos Qur’ani dan tata dunia modern. Ia tak sekadar menagih pengakuan Barat atas Islam, melainkan mengujarkan bahasa metodologis agar Muslim bisa menilai, menyaring, dan menyintesis khazanah ilmu modern tanpa inferioritas atau isolasi (IIIT, t.t.).

Di pusat seluruh bangun intelektualnya berdiri tawhid. Dalam buku Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life, Al-Faruqi menunjukkan tawhid bukan dogma statis, melainkan asas epistemologis, etis, dan kosmologis. Tawhid menyatukan ilmu-ilmu kealaman dan kemanusiaan di bawah moralitas transenden: kebenaran, keadilan, kemaslahatan. Karena itu, fragmentasi ilmu modern—yang memisahkan fakta dari nilai, sarana dari tujuan—harus ditata ulang agar tunduk pada poros keesaan Tuhan. Gagasannya menggugah karena menawarkan peta kerja: bukan “mengislamkan” konten secara kosmetik, melainkan menimbang asumsi-dasar tiap disiplin, menafsir ulang kategori, dan menautkannya dengan maqashid. (Al-Faruqi, 1982a).

Dari fondasi tersebut, Al-Faruqi merumuskan proyek yang kelak paling dikenal: Islamisasi pengetahuan (Islamization of Knowledge). Dokumen General Principles and Workplan (1982) menyarikan langkah-langkah operasional: (1) memetakan warisan Islam dan warisan ilmu modern, (2) menganalisis masalah umat kontemporer, (3) mensintesiskan konsep dan metodologi, dan (4) menulis ulang buku teks serta kurikulum lintas disiplin. Titik beratnya ada pada sinergi, bukan penggandaan; pada penyelarasan nilai, bukan pemurnian yang ahistoris (Al-Faruqi, 1982b).

Apakah proyek itu berhasil? Tergantung ukuran yang kita pakai. Di satu sisi, daya gugahnya nyata: lahir lembaga, jaringan cendekia, kurikulum alternatif, hingga perbincangan global mengenai integrasi ilmu dan agama. Di sisi lain, kritik pun deras: konsep “Islamisasi” dinilai terlalu dikotomis (Islam vs. Barat), metodologinya dianggap umum, dan implementasinya bertumpu pada kehendak baik institusi yang tak selalu stabil. Sejumlah kajian mutakhir menyarankan pergeseran ke “integrasi ilmu” atau “rekonstruksi paradigma” yang lebih dialogis, namun tetap mengakui Al-Faruqi sebagai pemantik percakapan besar ini (AJISS, t.t.; Khowaja, 2024; Walidem Institute Journal, 2025; Lestari, 2020; Mohd. Nor dkk., 2023).

Yang sering terlupa, Al-Faruqi bukan hanya “orang metode”. Ia juga penafsir budaya. The Cultural Atlas of Islam—disusun bersama Lois Lamya’ al-Faruqi—adalah pernyataan puitik sekaligus ensiklopedik tentang bagaimana tawhid meresapi arsitektur, kaligrafi, musik, pakaian, tata kota, dan ritme hidup Muslim. Buku atlas itu menolak stereotip “Islam sebagai doktrin semata” dan memperlihatkan elan kreatif peradaban yang menjangkau dari Andalusia hingga Nusantara. (Al-Faruqi & Al-Faruqi, 1986; AJISS, 2019; UNESCO, 1986).

Dimensi seni itu berkaitan erat dengan gagasan etika publik Al-Faruqi. Ia memandang estetika bukan pelarian dari kenyataan, melainkan cara manusia menyaksikan keteraturan ilahi. Karena itu, kebijakan publik yang abai pada keindahan—tata ruang, desain kota, kualitas pendidikan seni—adalah gejala terputusnya tawhid dari praksis. Di sini suara Al-Faruqi relevan untuk kota-kota Indonesia: integrasi nilai, fungsi, dan rupa seharusnya menjadi satu agenda, dari trotoar sampai tata arsip, dari kurikulum STEM sampai literasi seni.

Sering pula dilupakan, Al-Faruqi adalah perintis dialog lintas iman yang percaya pada kalimatun sawa’: pijakan etis bersama yang memungkinkan kerja sama lintas keyakinan tanpa menihilkan perbedaan. Pengalamannya di Amerika Utara membentuk gaya retorika yang tegas namun bersahabat: ia tak mengurangi kekhasan Islam, tetapi menampilkannya sebagai mitra percakapan setara bagi tradisi lain. Dalam iklim wacana yang cepat terpolarisasi, prinsip ini terasa kian langka namun amat dibutuhkan  (IIIT, t.t.; Oxford Academic, 2023).

Empat dekade setelah kepergiannya, nama Al-Faruqi terus diperingati dan diperdebatkan. Peringatan 2024 misalnya, kembali menyorot tema-tema yang ia dorong: etika ilmu, keadilan, dan kurikulum yang membentuk manusia beradab—insan adabi. Bahwa perdebatan masih hidup justru tanda vitalitasnya: gagasan besar selalu memantik koreksi dan kreativitas baru (IIIT, 2024).

Bagaimana menerjemahkan warisan Al-Faruqi ke ruang kelas, laboratorium, dan ruang rapat hari ini? Ada setidaknya lima pekerjaan rumah:

Pertama, memperjelas “objek reformasi”. Islamisasi yang dimaksud Al-Faruqi bukan cuci-ulang semua isi sains, tetapi penilaian kritis atas asumsi, tujuan, dan dampak sosial ilmu. Dengan kata lain, kita “mengislamkan” cara memaknai dan memakai ilmu, bukan fakta-faktan­ya. Ini menyalakan kembali percakapan tentang etika riset, tata-kelola data, teknologi ramah lingkungan, dan ekonomi yang menimbang maqashid—bukan sekadar pertumbuhan.

Kedua, membangun literasi ganda: kuat di khazanah keislaman, sekaligus fasih metodologi ilmu modern. Al-Faruqi mencerca romantisisme yang menghentikan diri pada nostalgia masa silam, tetapi juga mengkritik peniruan yang menggadaikan otonomi nilai. Jalan di antara keduanya menuntut sekolah tinggi dengan kurikulum silang, dosen team-teaching, dan laboratorium kebijakan publik yang menautkan dalil, data, dan desain.

Ketiga, memperluas horizon tawhid ke kebijakan budaya. Cultural Atlas memperlihatkan bahwa seni—musik, rupa, arsitektur—adalah cara masyarakat menyusun “memori komunal”. Investasi budaya bukan aksesori, melainkan prasarana etika. Pentas kesenian, ruang publik yang inklusif, dan literasi estetika sedari dini adalah strategi peradaban untuk membentuk warga yang berimbang: rasional sekaligus peka.

Keempat, menormalisasi dialog lintas iman berbasis kerja konkret. Di sini Al-Faruqi memberi teladan: common word bukan kompromi teologis, melainkan locus kooperasi untuk isu-isu kemanusiaan—kemiskinan, pendidikan, lingkungan. Di negeri majemuk, dialog yang berakar pada kerja bersama lebih efektif daripada simposium yang hanya berbagi jargon.

Kelima, mengundang kritik yang serius. Sejak 1980-an, banyak cendekia—dari Ziauddin Sardar hingga generasi terbaru—mengajukan catatan terhadap istilah, kerangka, bahkan semangat “Islamisasi” yang dinilai defensif. Kritik-kritik itu penting agar agenda integrasi ilmu tidak menjadi mitos ideologis. Namun kritik yang adil juga mengakui: tanpa percikan awal Al-Faruqi, mungkin kita tak punya bahasa bersama untuk mengurai problem epistemik umat  (AJISS, t.t.; Khowaja, 2024; PhilPapers, t.t.).

Dalam horizon Indonesia, warisan Al-Faruqi menemukan lahan empuk. Reformasi pendidikan tinggi menuntut profil lulusan yang cakap lintas disiplin sekaligus berkarakter. Agenda riset nasional menekankan kebermanfaatan sosial. Dunia industri meminta kecakapan etika dalam rantai pasok dan teknologi. Semua ini selaras dengan spirit tawhid yang menuntut kesatuan pengetahuan-amal, ilmu-akhlak. Tetapi agar tidak berhenti sebagai slogan, diperlukan langkah operasional: audit etika riset di kampus; core curriculum yang mengikat sains dan studi agama; pusat desain kebijakan yang mempertemukan ulama, ilmuwan, dan policy makers; serta ekosistem penerbitan buku teks lokal yang mengindonesiakan teori global.

Di akhirnya, narasi Al-Faruqi adalah narasi keberanian intelektual. Ia mengajukan kritik tanpa sinisme, bergaul lintas iman tanpa kehilangan identitas, dan meletakkan tawhid bukan di rak teologi semata, melainkan di meja kerja dunia: di studio arsitektur, di kelas statistika, di ruang redaksi, di rapat anggaran. Ia bukan nabi peradaban baru, tetapi arsitek jembatan—antara wahyu dan dunia, antara nilai dan fakta. Di masa ketika teknologi berlari lebih cepat daripada etika, kita membutuhkan jembatan seperti itu.

Mengingat Al-Faruqi berarti menagih komitmen pada tiga hal: kejernihan berpikir, keberanian memperbaiki diri, dan kesediaan bekerja bersama. Dari situlah tawhid berhenti menjadi jargon dan kembali menjadi napas peradaban.


Referensi

Al-Faruqi, I. R. (1982a). Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought. https://iiit.org/wp-content/uploads/AL-TAWHID-SERIES-4-complete-red.pdf

Al-Faruqi, I. R. (1982b). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought. https://www.muslim-library.com/dl/books/English_Islamization_of_Knowledge_General_Principles_and_Work_Plan.pdf

Al-Faruqi, I. R., & Al-Faruqi, L. L. (1986). The Cultural Atlas of Islam. New York, NY: Macmillan / Paris: UNESCO (record). https://unesdoc.unesco.org/ark%3A/48223/pf0000115349

American Journal of Islam and Society. (2019). The Cultural Atlas of Islam (Book notice). Herndon, VA: AJIS. https://www.ajis.org/index.php/ajiss/article/download/2768/1830

Angeles, V. S. M. (Ed.). (2020). Ismail Al-Faruqi: Essential Writings (PDF ed.). Philadelphia, PA: ContemporaryIslam.org. https://www.contemporaryislam.org/uploads/1/2/2/1/122197478/pdf_edition_-_ismail_al_faruqi_essential_writings.pdf

International Institute of Islamic Thought (IIIT). (t.t.). Dr. Ismail al-Faruqi (biographical note). Herndon, VA: IIIT. https://iiit.org/en/dr-ismail-al-faruqi/

International Institute of Islamic Thought (IIIT). (2024, November). Al-Faruqi Memorial Reception and Lecture (AAR Annual Meeting). Herndon, VA: IIIT. https://iiit.org/en/iiit-al-faruqi-memorial-reception-and-lecture-2024-annual-meeting-of-the-american-academy-of-religion/

Khowaja, J. (2024). Ismail Raji Al-Faruqi’s Islamization of Knowledge: A Critical Analysis. (Preprint). https://www.researchgate.net/publication/379079164_Ismail_Raji_Al-Faruqi%27s_Islamization_of_Knowledge_A_Critical_Analysis

Lestari, S. H. (2020). Islamization of knowledge of Ismail Raji Al-Faruqi in typologies of science and religion. Jurnal Studi Pendidikan Islam, 3(2), 128–140. https://media.neliti.com/media/publications/540989-islamization-of-knowledge-of-ismail-raji-c3487bf4.pdf

Mohd. Nor, W. M. N., et al. (2023). Ismail R. al-Faruqi: Muslim Scholar-Activist. In Muslim Intellectuals and the Making of Modern Islamic Thought (pp. xx–xx). Oxford, UK: Oxford University Press. https://academic.oup.com/book/50284/chapter/422708362

Oxford Reference. (2024). Ismail Raji al-Faruqi. Oxford, UK: Oxford University Press. https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803095811314

PhilPapers. (t.t.). Critical reflections on Fārūqī’s Islamization of Knowledge. https://philpapers.org/rec/MOHCRO

Walidem Institute Journal of Social Sciences. (2025). A Critique of the Islamization of Knowledge in the Era of Globalization. https://journal.walideminstitute.com/index.php/sicopus/article/view/289

Islamic Awareness. (2008). Lois Lamya al-Faruqi, “The Shariah on Music and Musicians” (PDF). https://www.islamawareness.net/Music/music_article0001.pdf

Al-Faruqi, L. L. (2021). Islamization through the Sound Arts (article notice). American Journal of Islam and Society. https://mail.ajis.org/index.php/ajiss/article/download/2892/1886/4457

IsmailFaruqi.com. (t.t.). Biography. https://ismailfaruqi.com/biography/