Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Kemerdekaan seringkali dimaknai secara politis sebagai terbebasnya suatu bangsa dari penjajahan asing. Dalam konteks Indonesia, 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan panjang bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Namun, dalam Islam, konsep kemerdekaan bukan hanya bersifat politis, melainkan lebih mendalam dan multidimensional. Kemerdekaan sejati adalah pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada Allah (Quthb, 2000).
Pandangan ini sejalan dengan ungkapan sahabat Nabi, Rib’i bin Amir, ketika diutus menemui panglima Persia, Rustum, menjelang Perang Qadisiyyah. Ia berkata:
“Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan kepada Allah semata; dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat; dan dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam” (Ibn Katsir, 2003).
Ungkapan ini menggambarkan misi Islam sebagai gerakan pembebasan multidimensi—spiritual, sosial, dan struktural. Maka, Islam tidak hanya memperjuangkan kemerdekaan fisik dari penjajahan, tetapi juga spiritual, intelektual, dan ekonomi.
Makna Kemerdekaan: Teologi Pembebasan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menegaskan pentingnya kebebasan dalam banyak ayat. Ayat tentang penciptaan manusia yang diberikan akal, kehendak bebas, dan tanggung jawab moral menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah fitrah manusia (Q.S. Al-Baqarah: 256). Prinsip “tidak ada paksaan dalam agama” menunjukkan bahwa kebebasan memilih adalah bagian dari misi Islam (Nasr, 2015).
Islam juga mengenal konsep tahrir (pembebasan), seperti dalam kisah pembebasan budak yang menjadi amal mulia dalam Islam. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Balad ayat 13, ditegaskan bahwa salah satu bentuk amal utama adalah fakku raqabah (membebaskan budak), yang menunjukkan bahwa Islam sejak awal menolak perbudakan struktural (Esack, 1997).
Dalam konteks kontemporer, konsep perbudakan ini bisa diterjemahkan dalam bentuk ketergantungan struktural terhadap sistem yang menindas, baik ekonomi, politik, maupun budaya. Maka, kemerdekaan dalam Islam adalah perjuangan untuk keluar dari semua bentuk penindasan, baik oleh negara, pasar, maupun ideologi dominan (Haq, 2019).
Islam dan Perjuangan Kemerdekaan di Nusantara
Sejarah mencatat peran signifikan Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, dan K.H. Hasyim Asy’ari mengangkat senjata bukan semata karena nasionalisme modern, tetapi karena dorongan keimanan dan ajaran Islam tentang jihad melawan penjajah (Noer, 1983).
Jaringan pesantren, tarekat, dan organisasi keagamaan memainkan peran penting dalam menyebarkan semangat perlawanan dan mengorganisasi pergerakan (Latif, 2008). Bahkan teks Proklamasi Kemerdekaan pun disusun di rumah tokoh Muslim, dan naskah Pembukaan UUD 1945 mengakui Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara.
Perjuangan Islam dalam kemerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa agama bukan faktor penghambat, melainkan pendorong utama perlawanan terhadap kolonialisme (Azra, 2002). Nilai-nilai tauhid, keadilan, dan amanah menjadi energi moral dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Kebebasan Beragama dan Negara Modern
Kemerdekaan dalam Islam juga mencakup kebebasan beragama. Prinsip toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan lain telah dijalankan oleh Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah, yang menjadi cikal bakal negara pluralistik (Watt, 1974). Dalam piagam itu, hak-hak umat Yahudi dan non-Muslim diakui, selama mereka hidup damai bersama umat Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa negara dalam pandangan Islam bukan negara teokrasi yang memaksa keyakinan, tetapi negara yang menjamin keadilan bagi semua warga negara (An-Na’im, 2008). Kemerdekaan beragama merupakan bagian dari maqashid syariah (tujuan syariah), yaitu menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan (Kamali, 2008).
Dalam konteks negara modern, Islam menolak segala bentuk pemaksaan atas keyakinan. Negara harus menjamin hak warga negara untuk meyakini, menjalankan, dan mengekspresikan keyakinan mereka secara bebas. Namun, kebebasan ini tetap berada dalam kerangka tanggung jawab sosial, tidak melanggar hak orang lain atau merusak tatanan umum (Ramadan, 2010).
Kemerdekaan dan Keadilan Sosial
Kemerdekaan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial. Islam menolak kemerdekaan semu yang hanya berlaku bagi segelintir elite. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kemerdekaan yang tidak diiringi dengan keadilan hanya akan melahirkan perbudakan baru dalam bentuk ketimpangan sosial (Q.S.Al-Hasyr [59]:7).
Prinsip distribusi kekayaan dan pelarangan penimbunan harta menjadi fondasi bagi ekonomi yang adil (Chapra, 2001). Zakat, infak, dan larangan riba merupakan instrumen Islam dalam menciptakan kemerdekaan ekonomi bagi kaum lemah. Dalam sistem ini, kemerdekaan tidak diukur dari kepemilikan pribadi semata, tetapi dari jaminan sosial terhadap semua warga (Kahf, 2004).
Kemerdekaan sejati menurut Islam adalah terciptanya masyarakat yang bebas dari kemiskinan struktural, eksploitasi, dan ketimpangan ekstrem. Maka, tugas negara dan umat Islam adalah menciptakan sistem ekonomi yang manusiawi dan inklusif, sebagai bagian dari amanah kemerdekaan (Iqbal & Mirakhor, 2011).
Kemerdekaan Intelektual dan Budaya
Islam juga menekankan pentingnya kemerdekaan intelektual. Dalam sejarah klasik Islam, tradisi ilmu pengetahuan berkembang subur karena kebebasan berpikir didorong oleh ajaran Al-Qur’an yang menghargai akal dan pencarian ilmu (Nasr, 2006). Ulama seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd adalah contoh produk kemerdekaan berpikir dalam Islam.
Namun dalam sejarah modern, umat Islam sering terjebak dalam kemalasan berpikir, taklid, dan konservatisme sempit yang membelenggu akal. Ironisnya, penjajahan intelektual oleh pemikiran asing maupun doktrin otoriter dari internal umat Islam sendiri telah mereduksi semangat ijtihad sebagai bentuk kebebasan berpikir (Abou El Fadl, 2001).
Kemerdekaan intelektual juga berarti kebebasan untuk mengkritik, memperbaharui, dan mentransformasikan budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal Islam. Maka, pendidikan menjadi kunci dalam membangun kemerdekaan sejati, bukan hanya mencetak pekerja, tetapi membentuk manusia merdeka yang berpikir dan bertindak kritis (Sardar, 2015).
Ancaman terhadap Kemerdekaan: Kapitalisme dan Otoritarianisme
Di era modern, ancaman terhadap kemerdekaan bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sistemik. Kapitalisme global telah menjerat negara-negara berkembang dalam jebakan utang, ketergantungan teknologi, dan eksploitasi sumber daya. Di sisi lain, otoritarianisme dalam politik domestik kerap membungkam kebebasan sipil atas nama stabilitas (Fanon, 2001; Giroux, 2014).
Islam menolak kedua ekstrem ini. Kapitalisme neoliberal yang menjadikan manusia sekadar komoditas bertentangan dengan ajaran Islam tentang kehormatan manusia (karamah insaniyah). Sementara otoritarianisme politik yang menindas hak-hak warga bertolak belakang dengan prinsip syura (musyawarah) dan amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran:104).
Kemerdekaan dalam Islam bukanlah sekadar slogan, tetapi perjuangan terus-menerus melawan struktur yang menindas dan membebaskan individu dari segala bentuk ketergantungan yang menafikan martabat kemanusiaan.
Menjadi Umat Merdeka
Kemerdekaan sejati dalam Islam adalah manakala umat mampu berdiri di atas kaki sendiri secara spiritual, intelektual, dan ekonomi. Menjadi umat merdeka berarti tidak tunduk kepada kuasa selain Allah, tidak bergantung kepada sistem selain nilai-nilai Islam, dan tidak menyerah pada tekanan budaya atau ekonomi yang menjauhkan dari keadilan.
Maka, memperingati kemerdekaan harus menjadi momentum muhasabah bagi umat Islam: apakah kita telah benar-benar merdeka? Apakah bangsa ini telah bebas dari eksploitasi, kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan? Jika belum, maka perjuangan belum selesai. Seperti yang ditegaskan Ali Syariati (2002), “Islam adalah agama pembebasan, bukan pelarian.”
Kemerdekaan harus diwujudkan dalam sistem hukum yang adil, ekonomi yang berkeadaban, dan politik yang transparan. Umat Islam harus menjadi pelopor dalam membangun peradaban yang bebas dari eksploitasi, bukan sekadar penonton dari panggung sejarah.
Referensi
- Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld.
- An-Na’im, A. (2008). Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Cambridge: Harvard University Press.
- Azra, A. (2002). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Bandung: Mizan.
- Chapra, M. U. (2001). The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester: Islamic Foundation.
- Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism. Oxford: Oneworld.
- Fanon, F. (2001). The Wretched of the Earth. London: Penguin.
- Giroux, H. A. (2014). Neoliberalism’s War on Higher Education. Chicago: Haymarket Books.
- Haq, S. (2019). The Political Philosophy of Muhammad Iqbal: Islam and Nationalism in Late Colonial India. Cambridge: Cambridge University Press.
- Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2011). An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice. Singapore: Wiley Finance.
- Ibn Katsir, I. (2003). Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Kairo: Dar al-Fikr.
- Kahf, M. (2004). Islamic Economics: What Went Wrong?. Jeddah: IRTI-IDB.
- Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld.
- Latif, Y. (2008). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan.
- Nasr, S. H. (2006). Islam: Religion, History, and Civilization. New York: HarperOne.
- Nasr, V. (2015). The Dispensable Nation: American Foreign Policy in Retreat. New York: Anchor Books.
- Noer, D. (1983). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES.
- Quthb, S. (2000). Ma’alim fi al-Thariq. Kairo: Dar al-Shuruq.
- Ramadan, T. (2010). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford: Oxford University Press.
- Sardar, Z. (2015). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. London: Oxford University Press.
- Watt, W. M. (1974). Muhammad at Medina. Oxford: Oxford University Press.