Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Di tengah malam yang hening, seorang pemuda menatap langit. Bintang bertabur. Bulan menggantung. Matahari menyala keesokan harinya. Ia bertanya dalam diam: “Inikah Tuhanku?” Tapi satu per satu mereka tenggelam. Lalu ia berkata, “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.” Dialah Ibrahim, sang pencari Tuhan, yang kisahnya menjadi sumber inspirasi lintas zaman dan peradaban.
Pencarian Ibrahim bukan sekadar narasi spiritual seorang nabi, melainkan refleksi eksistensial manusia yang mencoba menjawab pertanyaan paling purba: dari mana aku berasal, ke mana aku akan kembali, dan siapa yang mengatur segalanya? Dalam konteks kekinian, pertanyaan ini tetap relevan, terutama ketika manusia modern mengalami krisis makna di tengah gegap-gempita kemajuan teknologi dan kebebasan berpikir.
Ibrahim dan Krisis Teologi Komunal
Kisah Ibrahim dimulai dari ketidaksesuaian antara nurani dengan tradisi. Ia lahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat penyembah berhala. Ayahnya, seorang pembuat patung. Tapi sejak awal, ada kegelisahan dalam dirinya. Mengapa patung-patung bisu itu disembah? Mengapa manusia menundukkan diri pada ciptaannya sendiri?
Menurut Nasr (2006), pencarian Tuhan yang dilakukan Ibrahim merupakan simbol perlawanan terhadap bentuk-bentuk keilahian palsu yang diciptakan oleh masyarakat. Dalam istilah Durkheim (1915), agama sering kali menjadi produk sosial, dan dalam konteks Ibrahim, sistem itu sudah mengalami degenerasi nilai.
Pertanyaan kritis Ibrahim menandakan kesadaran individual yang melampaui doktrin kolektif. Ia menolak warisan spiritual tanpa perenungan rasional. Hal ini sejalan dengan gagasan Kierkegaard (1985) tentang “leap of faith” — bahwa iman yang sejati lahir dari keputusan personal, bukan paksaan eksternal.
Rasionalitas Kosmik Ibrahim
Dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 75-79, kita menemukan kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim melalui perenungan kosmik: bintang, bulan, dan matahari. Ia menyaksikan kebesaran benda-benda langit, tapi menolaknya karena semuanya fana. Menurut Rahman (1980), ini menunjukkan pendekatan rasional yang bertingkat: dari pengamatan empiris menuju kesimpulan metafisik.
Kritikus Islam klasik seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memandang pendekatan ini sebagai manifestasi filsafat tauhid yang kuat. Mereka melihat bahwa perenungan Ibrahim adalah bukti bahwa akal dan wahyu dapat bersinergi dalam mencapai kebenaran tertinggi (Gutas, 2001).
Dalam kerangka ini, Ibrahim bukan hanya nabi, tapi juga seorang filsuf eksistensial, yang menempuh jalan kontemplasi kritis dalam mencari Tuhan. Tidak berlebihan jika Harun Nasution (1995) menyebutnya sebagai “pelopor pemikiran rasional dalam Islam”.
Menolak Tuhan-Tuhan Sementara
Ketika Ibrahim menolak bintang, bulan, dan matahari sebagai Tuhan, sesungguhnya ia menolak segala bentuk “tuhan-tuhan” sementara yang digandrungi manusia. Dalam konteks hari ini, berhala tidak selalu berupa patung. Ia bisa berwujud kapital, kekuasaan, popularitas, atau teknologi.
Menurut Fromm (1950), manusia modern menciptakan berhala psikologis yang jauh lebih destruktif ketimbang berhala fisik. Obsesi terhadap kontrol, uang, dan pencapaian menciptakan ilusi ketuhanan atas diri sendiri. Dalam hal ini, pencarian Ibrahim menjadi kritik abadi terhadap peradaban yang menggantikan Tuhan dengan ego.
Ibrahim mengajarkan bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang berubah atau menghilang. Ia tak tergantung pada waktu atau tempat. Dalam istilah filsafat, Tuhan Ibrahim adalah Necessary Being, keberadaan yang tak bergantung pada apapun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ghazali (2000) dalam Tahafut al-Falasifah.
Perspektif Modern atas Pencarian Tuhan
Di era sains dan sekularisme, apakah pencarian Tuhan masih relevan? Justru di tengah krisis spiritual modern, pencarian semacam ini semakin urgen. Menurut Taylor (2007), masyarakat sekular mengalami “derealization of meaning” — kehilangan orientasi eksistensial karena tercerabut dari nilai-nilai transenden.
Sains memang memberikan penjelasan tentang bagaimana semesta bekerja, tapi tidak menjawab mengapa ia harus ada. Fisika kuantum dan kosmologi membuka misteri baru, tapi tetap menyisakan ruang bagi pertanyaan metafisik yang diajukan Ibrahim ribuan tahun lalu.
Penelitian oleh Miller dan colleagues (2014) menemukan bahwa bahkan ilmuwan terkemuka sering bergumul dengan pertanyaan spiritual, meskipun dalam kerangka yang berbeda. Tuhan tidak sekadar postulat agama, tapi juga hipotesis filosofis yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Ibrahim dan Spirit Kritik
Kisah Ibrahim juga merupakan simbol keberanian intelektual dan moral. Ia tidak hanya mencari Tuhan dalam kesendirian, tetapi juga menantang struktur sosial yang menindas dan menyesatkan. Ia menghancurkan berhala, berdialog dengan raja, dan akhirnya diasingkan.
Dalam perspektif Gramsci (1971), tindakan Ibrahim dapat dipahami sebagai “perlawanan hegemonik”. Ia tidak tunduk pada narasi dominan, melainkan membangun counter-narrative yang mendobrak kebekuan ideologis masyarakatnya.
Keteladanan ini penting dalam dunia yang semakin dibanjiri narasi tunggal. Seperti yang dikemukakan oleh Said (1978), kekuasaan sering dikukuhkan lewat kontrol terhadap simbol dan makna. Dalam hal ini, Ibrahim adalah representasi dari individu yang bebas secara spiritual dan intelektual.
Ibrahim dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, Ibrahim tidak hanya dikenang sebagai nabi, tapi juga sebagai sosok yang hanif, yakni orang yang lurus fitrahnya. Al-Qur’an menyebutnya sebagai ummatan qanitan lillah — satu umat yang tunduk total kepada Allah (Q.S. An-Nahl: 120).
Ibnu Katsir (2003) menegaskan bahwa ketauhidan Ibrahim menjadi fondasi bagi risalah semua nabi setelahnya. Bahkan syariat haji, sebagai salah satu rukun Islam, menapaktilasi jejak Ibrahim: dari pembangunan Ka’bah hingga sa’i antara Shafa dan Marwah.
Bagi Muslim, meneladani Ibrahim berarti meneladani keberanian bertanya, keberanian berpikir, dan keberanian bertindak atas keyakinan tauhid. Dalam dunia yang dipenuhi ambiguitas moral dan nilai-nilai ganda, sikap hanif Ibrahim menjadi kompas yang menuntun ke arah keteguhan dan kemurnian iman.
Penutup: Tuhan yang Tidak Tenggelam
Ibrahim menolak Tuhan yang tenggelam karena ia mencari yang abadi. Ia mengajarkan bahwa Tuhan sejati tidak tergantung pada fenomena atau simbol. Ia tidak muncul untuk kemudian lenyap. Ia hadir dalam keabadian, dalam keheningan hati yang bertanya, dalam logika akal yang jujur.
Dalam dunia yang berubah cepat, di mana ideologi datang dan pergi, dan manusia terombang-ambing oleh krisis identitas, kisah Ibrahim mengingatkan bahwa pencarian Tuhan adalah perjalanan hakiki manusia. Bukan soal agama apa yang dipeluk, tetapi bagaimana kita membuka hati dan pikiran untuk bertanya dengan sungguh-sungguh: siapa yang kita sembah? Dan mengapa?
Ibrahim menemukan jawabannya. Semoga kita juga.
Referensi
- Durkheim, E. (1915). The Elementary Forms of the Religious Life. London: George Allen & Unwin.
- Fromm, E. (1950). Psychoanalysis and Religion. New Haven: Yale University Press.
- Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works. Leiden: Brill.
- Harun Nasution. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Mizan.
- Ibn Katsir. (2003). Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Kairo: Dar al-Fikr.
- Kierkegaard, S. (1985). Fear and Trembling. Princeton: Princeton University Press.
- Miller, P., Scott, E., & Okamoto, H. (2014). Religion among Scientists in International Context. New York: Oxford University Press.
- Nasr, S. H. (2006). The Garden of Truth. New York: HarperOne.
- Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur’an. Chicago: University of Chicago Press.
- Said, E. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.
- Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge: Harvard University Press.
- Al-Farabi. (2002). Selected Aphorisms and Other Texts. New York: Penguin.
- Al-Ghazali. (2000). The Incoherence of the Philosophers (Tahafut al-Falasifah). Brigham: Brigham Young University Press.
- Ibn Sina. (2009). The Metaphysics of Healing. Oxford: Oxford University Press.
- Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.