Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Dalam sejarah Islam, nama Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi atau lebih dikenal sebagai Ibnu Muljam, identik dengan tragedi kelam: pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib pada 661 M. Bukan sekadar sebuah peristiwa kriminal, tindakan Ibnu Muljam mencerminkan bentuk politik ekstrem yang dilahirkan dari fanatisme ideologis. Ia meyakini bahwa pembunuhan itu adalah bentuk “pengabdian” terhadap nilai kebenaran menurut versinya. Politik semacam ini bukanlah soal kekuasaan biasa, melainkan perpaduan antara klaim teologis dan tindakan destruktif (Cook, 2014).
Ibnu Muljam tidak bergerak sendirian. Ia adalah bagian dari sekte Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari barisan Ali pasca Perang Shiffin karena kecewa terhadap proses arbitrase. Khawarij memandang semua yang tidak sepakat dengan pandangan mereka sebagai kafir, bahkan layak dibunuh. Fenomena ini mengingatkan kita pada bentuk-bentuk politik mutakhir yang juga menarasikan “kebenaran tunggal” dan menjustifikasi kekerasan atas nama moralitas atau agama.
Antara Teologi dan Ambisi Kekuasaan
Politik Ibnu Muljam merupakan politik yang melampaui nalar kekuasaan biasa. Ia mengandung unsur teologi ekstrem yang menyelinap ke dalam ranah politik praktis. Fanatisme teologis ini, menurut Esposito (2016), dapat menjadi justifikasi kekerasan apabila tidak disertai dengan refleksi etis. Ibnu Muljam meyakini bahwa Ali telah melakukan dosa besar karena menerima arbitrase, sehingga darahnya halal. Padahal, dalam pandangan Islam yang lebih moderat, tindakan semacam itu tidak pernah dibenarkan.
Inilah titik bahaya politik keagamaan ketika hilang kendali: keimanan berubah menjadi pembenaran kekerasan. Politik tidak lagi dituntun oleh akal sehat, melainkan oleh kemarahan yang dilandasi ayat-ayat yang dipelintir. Jika kita tarik ke era modern, politik semacam ini tetap relevan: klaim-klaim kebenaran mutlak yang mematikan nalar dan membuka jalan bagi kekacauan sosial.
Delegitimasi Atas Nama Kesalehan
Ibnu Muljam membunuh Ali saat sang khalifah sedang berjalan menuju masjid. Sebuah simbolisme politik yang kuat. Masjid—sebagai ruang spiritual—menjadi lokasi pembunuhan pemimpin. Politik Ibnu Muljam, dalam konteks ini, menjadikan ruang sakral sebagai panggung teror. Tak hanya membunuh pemimpin, tetapi juga membunuh legitimasi kepemimpinan melalui narasi kesalehan yang semu (Hodgson, 2009).
Fenomena delegitimasi ini juga kentara dalam banyak praktik politik modern. Ketika seorang pemimpin dinilai tidak sesuai dengan tafsir kelompok tertentu, ia tak hanya dikritik, melainkan dimatikan secara simbolik. Karakternya dihancurkan, kredibilitasnya digerus, dan kadang bahkan diancam fisiknya. Dalam situasi ini, politik tak lagi menjadi sarana memperbaiki keadaan, tetapi alat penghukuman berbasis klaim moral.
Kekerasan Politik dan Warisan Khawarij
Khawarij, tempat Ibnu Muljam bernaung, dikenal sebagai pelopor ideologi takfir: mudah mengkafirkan sesama Muslim yang berbeda pandangan. Mereka menolak kompromi, dialog, dan jalan tengah. Dalam hal ini, politik Khawarij adalah politik kebencian yang dibungkus ayat-ayat. Ibnu Muljam adalah manifestasi dari politik tersebut dalam bentuk paling radikal: pembunuhan atas nama iman (Lapidus, 2014).
Di masa kini, politik yang menyerupai semangat Khawarij dapat dikenali melalui narasi yang menolak keberagaman pandangan dan menjadikan kekerasan sebagai solusi. Narasi yang mengklaim sebagai paling benar lalu menutup ruang perbedaan, pada akhirnya mendorong pada tindakan destruktif. Politik semacam ini tidak membangun peradaban, tapi menghancurkannya secara perlahan.
Simbolisme Pembunuhan dan Politik Pembalasan
Motif pribadi Ibnu Muljam tak bisa diabaikan. Ia ingin membalas dendam atas kematian seorang wanita Khawarij bernama Qutham yang tewas dalam pertempuran melawan pasukan Ali. Maka, selain teologi, ada juga unsur psikologis dan emosional dalam aksinya. Ini memperlihatkan bagaimana politik mudah tercampuri oleh motif personal (Madelung, 2017).
Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam politik kontemporer. Tindakan politik yang semula dibungkus idealisme kadang hanyalah bentuk pembalasan dendam pribadi yang dimanipulasi menjadi agenda kolektif. Ini menjelaskan mengapa sebagian besar kebijakan atau manuver politik tak kunjung menyejahterakan rakyat, karena didorong oleh dendam lama dan luka ego, bukan visi keadilan.
Ketika Hukum Ditinggalkan
Salah satu pelajaran terbesar dari peristiwa pembunuhan Ali oleh Ibnu Muljam adalah kehancuran sistem hukum. Ali adalah simbol keadilan, pemimpin yang dikenal bijak dan adil. Namun hukum tak mampu melindunginya. Ibnu Muljam tidak melalui proses legal atau oposisi yang sah. Ia langsung mengeksekusi keputusan pribadi. Politik model ini merupakan bentuk anarki kekuasaan yang paling membahayakan (Crone, 2004).
Ketika hukum tidak lagi menjadi rujukan dalam penyelesaian konflik politik, maka kekacauan tak terhindarkan. Ibnu Muljam bukan hanya membunuh Ali, ia membunuh sistem. Ia membunuh harapan akan negara yang berdasarkan hukum. Di sinilah pentingnya supremasi hukum sebagai penjaga utama kehidupan politik yang adil dan damai.
Membunuh dengan Doa
Salah satu ironi terbesar dalam kisah Ibnu Muljam adalah bahwa ia berdoa sebelum dan sesudah membunuh. Ia memohon kepada Tuhan agar niatnya diterima sebagai amal saleh. Ia meyakini bahwa tindakannya adalah bentuk jihad. Di titik ini, kita melihat bagaimana doa dan kekerasan bisa bersatu dalam satu tindakan yang mencengangkan (Donner, 2010).
Di era modern, pembunuhan karakter, persekusi digital, hingga kekerasan verbal sering dilakukan atas nama agama, bahkan disertai doa. Inilah wajah baru dari politik Ibnu Muljam: tampak saleh, tapi merusak. Tampak religius, tapi kejam. Maka, doa pun perlu ditimbang akalnya, agar tidak menjadi alat justifikasi kekeliruan.
Politik Tanpa Etika
Ibnu Muljam adalah gambaran politik tanpa etika. Ia menghilangkan kemanusiaan dalam perjuangannya. Tidak ada belas kasihan, tidak ada ruang dialog. Ketika akal sehat mati, maka yang tersisa adalah amarah yang diselimuti kesalehan semu. Ini mengingatkan kita bahwa politik tanpa etika hanya akan melahirkan tirani atau kehancuran (Nasr, 2012).
Etika politik bukan hanya soal moralitas pribadi, tapi juga sistemik: bagaimana membangun ruang publik yang adil, menjamin kebebasan berpendapat, serta menyelesaikan konflik secara damai. Politik yang etis adalah politik yang berani berkata tidak pada kekerasan, sekalipun dibungkus dengan simbol-simbol suci.
Tafsir Ulang terhadap Sejarah
Menjadikan kisah Ibnu Muljam sebagai cermin politik hari ini bukan untuk mengulang kebencian sejarah, tetapi agar kita mengambil hikmah dari sejarah. Tafsir ulang terhadap sejarah diperlukan agar kita tak jatuh pada jebakan glorifikasi atau demonisasi. Ibnu Muljam bukan hanya “penjahat sejarah”, ia juga simbol dari kegagalan sistem sosial dan keagamaan dalam membendung fanatisme (Khalid, 2020).
Di tengah krisis politik modern yang penuh polarisasi dan kebencian, narasi sejarah seperti ini bisa menjadi bahan renungan. Bahwa sekali sebuah masyarakat membiarkan kekerasan tumbuh atas nama kebenaran, maka yang tersisa hanya reruntuhan kepercayaan dan legitimasi.
Menolak Jalan Ibnu Muljam
Maka, jalan Ibnu Muljam harus ditolak. Ia bukan jalan revolusi, melainkan jalan regresi. Ia bukan pahlawan, melainkan lonceng kematian bagi nalar. Kita perlu membangun sistem politik yang adil, terbuka, dan menghargai perbedaan. Politik yang memanusiakan manusia, bukan membunuhnya. Politik yang mengutamakan maslahat, bukan murka.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Nilai seseorang tergantung pada apa yang ia cari.” Jika yang dicari adalah kebenaran sejati, maka jalan yang ditempuh bukanlah jalan darah, melainkan jalan hikmah. Politik sejati adalah yang menyalurkan aspirasi rakyat, bukan aspirasi dendam.
Referensi
- Cook, D. (2014). Understanding Jihad (2nd ed.). Berkeley: University of California Press.
- Crone, P. (2004). God’s Rule: Government and Islam. New York: Columbia University Press.
- Donner, F. M. (2010). Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam. Cambridge: Harvard University Press.
- Esposito, J. L. (2016). Islam: The Straight Path (5th ed.). New York: Oxford University Press.
- Hodgson, M. G. S. (2009). The Venture of Islam, Volume 1: The Classical Age of Islam. Chicago: University of Chicago Press.
- Khalid, A. (2020). Islam After Communism: Religion and Politics in Central Asia. Berkeley: University of California Press.
- Lapidus, I. M. (2014). A History of Islamic Societies (3rd ed.). New York: Cambridge University Press.
- Madelung, W. (2017). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. New York: Cambridge University Press.
- Nasr, S. H. (2012). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne.
- Rahman, F. (2017). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
- Roy, O. (2020). Jihad and Death: The Global Appeal of Islamic State. New York: Oxford University Press.
- Tibi, B. (2012). Islamism and Islam. New Haven: Yale University Press.
- Voll, J. O. (2018). Islam: Continuity and Change in the Modern World (3rd ed.). Boulder: Lynne Rienner Publishers.
- Zaman, M. Q. (2021). Religion and Politics under the Early Abbasids. Leiden: Brill.
- Abou El Fadl, K. (2014). Reasoning with God: Reclaiming Shari’ah in the Modern Age. Lanham: Rowman & Littlefield.