Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
“Gotong royong” bukan sekadar warisan budaya—melainkan denyut kehidupan yang menyala dalam masyarakat Indonesia. Ia adalah benih solidaritas yang tumbuh kolektif, memberi harapan untuk membangun bersama, menghidupkan rasa kebersamaan, dan memperkokoh sendi-sendi sosial bangsa. Di tengah tantangan modernitas dan birokratisasi, spirit gotong royong menampakkan wajah baru—tak lagi hanya spontan, tetapi juga terstruktur. Namun dalam Islam, nilai gotong royong bukan sekadar budaya; ia adalah ibadah sosial yang memanusiakan manusia.
Esensi dan Transformasi Gotong Royong
Secara filosofis, gotong royong tercermin dalam semangat berbagi beban secara sukarela demi kemaslahatan bersama. Dalam konteks pedesaan, praktik ini mengakar kuat dalam pembangunan fasilitas kampung, ritual budaya, atau penanganan kedukaan sosial. Studi Christianto, Smarandache, dan Pranoto (2024) menyatakan bahwa gotong royong bukan hanya timbal balik kebaikan, tetapi juga simfoni kolektif yang dinamis dan mengakar kuat dalam etika kemasyarakatan.
Namun, penelitian di Blora menunjukkan bahwa gotong royong telah mengalami transformasi. Ia menjadi lebih prosedural dan kalkulatif, memengaruhi partisipasi masyarakat, khususnya perempuan dalam pelaksanaan pembangunan desa (Alie Humaedi et al., 2025). Walaupun demikian, perempuan tetap hadir sebagai aktor penting, bahkan dalam skema pembangunan berbasis dana desa, menjadikan gotong royong sebagai ladang baru peran ganda dalam ruang publik dan domestik.
Perspektif Islam: Amal Jama’i dan Keadilan Sosial
Dalam Islam, gotong royong berakar pada konsep ta’awun (saling tolong-menolong) sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-Ma’idah ayat 2: “Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan” (Q.S. Al-Ma’idah: 2).
Konsep ta’awun bukan hanya sikap moral, tetapi perintah ilahi yang mengandung nilai etika kolektif, sebagai manifestasi iman sosial. Dalam kerangka ini, gotong royong bukan semata kerja bersama, tetapi adalah ibadah sosial (al-‘ibadah al-ijtimā’iyyah). Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memudahkan urusan saudaranya, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat” (H.R. Muslim).
Konsep lain yang relevan adalah ‘amal jama’i, yaitu kerja kolektif dalam kebaikan. Ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qardhawi (2000) menegaskan pentingnya amal jama’i sebagai prasyarat kejayaan umat. Gotong royong dalam Islam adalah bentuk konkret dari ukhuwah insaniyyah, ukhuwah wathaniyyah, dan ukhuwah Islamiyyah, menjembatani relasi lintas agama, kelas sosial, dan batas geografis.
Dalam Pendidikan: Gotong Royong sebagai Pembentuk Akhlak
Di sekolah, pengamalan gotong royong menjadi sarana membangun solidaritas dan tanggung jawab sosial. Studi pengabdian di Indonesian School of Kuala Lumpur menunjukkan bahwa program gotong royong memperkuat ikatan emosional siswa, membangun karakter kepedulian, dan menciptakan ekosistem belajar yang bermakna (Nainggolan et al., 2024). Dalam Islam, pendidikan karakter melalui aksi kolektif seperti ini disebut sebagai bagian dari tarbiyah bil qudwah (pendidikan melalui keteladanan).
Tradisi Lokal: Gotong Royong dalam Lintas Iman dan Budaya
Di berbagai daerah, gotong royong tetap hadir dalam tradisi adat. Di Toraja, gotong royong bukan hanya simbol—melainkan laku sosial dalam upacara adat yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, dari persiapan makan hingga pembangunan rumah adat (Kompasiana, 2024). Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, masyarakat bersama-sama menarik perahu ke laut, memperlihatkan keutuhan sosial dan kesetaraan kerja tanpa memandang profesi (Detik, 2025).
Islam sangat menghargai bentuk-bentuk tradisi seperti ini selama tidak bertentangan dengan akidah dan syariat. Ulama seperti Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menekankan pentingnya ‘ashabiyyah (solidaritas sosial) sebagai dasar tegaknya peradaban. Dalam konteks Indonesia, gotong royong adalah ‘ashabiyyah berbasis nilai lokal yang sesuai dengan semangat Islam inklusif.
Gotong Royong dalam Filantropi dan Ekonomi Islam
Gotong royong dalam Islam juga menjiwai instrumen-instrumen ekonomi syariah seperti zakat, infak, dan wakaf. Ketiganya adalah bentuk gotong royong sistematis dalam distribusi kekayaan demi keadilan sosial. Lembaga filantropi Islam modern telah menerjemahkan nilai gotong royong dalam bentuk kampanye solidaritas, bantuan bencana, hingga pembangunan infrastruktur berbasis wakaf produktif (Hosen, 2023). Sebuah studi menunjukkan bahwa budaya gotong royong bertransformasi menjadi kekuatan sosial baru dalam strategi pengentasan kemiskinan di perkotaan (Media Indonesia, 2025).
Tantangan di Era Modern: Birokratisasi dan Individualisme
Transformasi gotong royong ke arah formalitas menimbulkan tantangan: hilangnya spontanitas, melemahnya nilai ikhlas, dan munculnya motivasi berbasis proyek. Gotong royong dalam konteks birokrasi sering kehilangan ruhnya karena terjebak dalam mekanisme administratif. Namun, pendekatan berbasis amal jama’i seperti “Squad Team” dalam birokrasi membuktikan bahwa gotong royong tetap relevan jika nilai dasar keikhlasan tetap dijaga (EAI, 2023).
Dalam pandangan Islam, jika gotong royong kehilangan ruh ikhlas dan niat lillahi ta’ala, ia hanya menjadi seremonial kosong. Inilah yang diingatkan dalam surah Al-Insan ayat 9: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.”
Refleksi Islam: Menghidupkan Jiwa, Bukan Sekadar Kerja Sama
Gotong royong tidak sekadar kerja bareng, melainkan jalan menuju keadilan sosial. Islam tidak hanya memandang pentingnya partisipasi masyarakat, tetapi juga mengajarkan nilai tawazun (keseimbangan) dan ‘adalah (keadilan). Maka, beberapa prinsip harus menjadi perhatian:
- Keikhlasan sebagai Fondasi
Gotong royong dalam Islam dimulai dari niat. Tanpa keikhlasan, kerja bersama berubah menjadi transaksi sosial semu. Ini menuntut pendidikan spiritual agar setiap tindakan bernilai ibadah. - Partisipasi Setara dan Gender Sensitif
Islam tidak membedakan kontribusi laki-laki dan perempuan. Selama berbasis pada kemaslahatan, semua pihak memiliki hak yang setara dalam partisipasi sosial. - Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban
Gotong royong bukan beban, tetapi kewajiban moral yang mendatangkan hak sosial. Ini menjadikan masyarakat berfungsi sebagai subjek, bukan objek program. - Menghindari Riya dan Politik Pencitraan
Dalam Islam, amal sosial yang dipamerkan berpotensi menggugurkan pahala. Ini menjadi koreksi terhadap gotong royong yang disandera oleh kepentingan pencitraan.
Referensi
- Alie Humaedi, M., Wibowo, D. P., Hariyanto, W., Susilo, S. R. T., Wijayanti, F., Hakim, F. N., … Yumantoko, Y. (2025). Shifting collective values: the role of rural women and gotong royong in village fund policy. Humanities and Social Sciences Communications.
- Christianto, V., Smarandache, F., & Pranoto, I. (2024). Exploring Gotong‑Royong Culture in Indonesia. ResearchGate.
- Hosen, N. (2023). Zakat, Wakaf, and Justice: Islamic Philanthropy in Modern Times. Jakarta: Kencana Prenada Media.
- Al-Qaradhawi, Y. (2000). Min Fiqh ad-Daulah fi al-Islam. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
- Ibn Khaldun. (2005). Muqaddimah. Kairo: Dar al-Fikr.
- Nainggolan, D. M., Nainggolan, R., Hakim, A. J., Abriansah, M., Acung, W., & Mohede, H. S. (2024). Building Solidarity Through Gotong Royong at the Indonesian School of Kuala Lumpur. Teumulong Journal.
- Tipikornews. (2025). Gotong Royong Kuatkan Tradisi Bangsa Indonesia.
- Pojoksatu.id. (2025). Warga Cipadung Kidul Buktikan Bandung Bisa Bergerak Bareng!.
- Kompasiana. (2024). Tradisi Gotong Royong di Toraja.
- Detik. (2025). Nelayan Kolaka Pertahankan Tradisi Turunkan Kapal.
- Media Indonesia. (2025). Filantropi di Indonesia Bertransformasi.
- EAI. (2023). Gotong Royong Model of Bureaucratic Reform.
- The Commons Journal. (2023). Collective Action and Gotong Royong in Lombok.
- Rahman, F. (2022). Etika Sosial dalam Islam. Bandung: Mizan.
- Azzam, A. (2021). Fiqh Sosial: Islam dan Spirit Kolektif. Yogyakarta: LKiS.