Genealogi Politik Uang

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Istilah politik uang (money politics) bukanlah sekadar ekspresi populer dalam diskursus pemilu. Ia adalah gejala struktural yang membentang dalam ruang sejarah, merembes dalam celah kelembagaan, dan berakar kuat dalam budaya politik. Politik uang bukan sekadar transaksi haram antara kandidat dan pemilih, melainkan representasi dari kompleksitas relasi kuasa, kapital, dan legitimasi dalam demokrasi prosedural yang kehilangan substansi.

Fenomena ini telah mengaburkan garis antara partisipasi dan pembelian suara. Di banyak negara, termasuk Indonesia, politik uang telah menjadi anatomi tersembunyi dalam tubuh demokrasi. Banyak kandidat menjadikan kekuatan modal sebagai jembatan menuju kekuasaan, bukan lagi gagasan, integritas, atau rekam jejak (Aspinall & Berenschot, 2019).


Akar Sejarah: Dari Patronase ke Kapitalisme Politik

Dalam genealogi politik uang, kita menemukan jejak panjang sistem patron-klien. Pada masa kerajaan hingga kolonial, relasi kekuasaan dibangun atas dasar perlindungan dan balas jasa. Patron memberi sumber daya, sedangkan klien memberi loyalitas. Praktik ini mewujud dalam bentuk hadiah, upeti, atau fasilitas yang dianggap lumrah. Dalam konteks ini, politik uang bukanlah anomali, melainkan kelanjutan dari warisan historis yang dibungkus modernitas (Scott, 1972).

Ketika demokrasi mulai mengakar pasca-reformasi, sistem patronase bertransformasi menjadi kapitalisme politik. Partai politik berubah menjadi mesin pengumpul dana, bukan pusat kaderisasi. Kandidat yang mampu membeli dukungan struktural dan elektoral memperoleh tiket untuk masuk dalam kompetisi. Dana kampanye yang tinggi justru membuka peluang bagi praktik jual beli suara secara masif (Hadiz, 2017).


Kapital dan Elektabilitas: Simbiosis Transaksional

Dalam sistem pemilu yang kompetitif, uang menjadi katalisator elektabilitas. Kandidat yang memiliki modal besar bisa membeli ruang publik: baliho, iklan media, amplop serangan fajar, bahkan simpati tokoh lokal. Di sisi lain, pemilih yang mengalami tekanan ekonomi menganggap uang politik sebagai “rezeki demokrasi”. Relasi transaksional ini membentuk simbiosis mutualistik antara elite dan massa (Törnquist et al., 2022).

Kenyataan pahit ini diperkuat oleh hasil survei Litbang Kompas (2024) yang mencatat bahwa 63 persen responden menganggap politik uang sebagai hal yang “biasa saja”, bahkan dianggap sah sejauh membawa manfaat langsung. Ketika integritas dibayar dengan nominal, demokrasi kehilangan maknanya.


Normalisasi dalam Budaya Politik

Budaya politik kita masih didominasi oleh nilai-nilai paternalistik, feodalistik, dan klientelistik. Dalam banyak komunitas, kandidat yang “berbuat” dinilai lebih layak, tak peduli niat dan sumber dana di baliknya. Dalam logika ini, amplop kampanye atau bantuan musiman dianggap sebagai bentuk kepedulian, bukan pelanggaran.

Sebagaimana diungkapkan Aspinall (2014), politik uang di Indonesia tidak selalu dianggap sebagai korupsi, melainkan bagian dari etika timbal balik (reciprocity ethics). Konsep balas budi menjadi penguat bahwa pemilih yang menerima uang harus memberikan dukungan, sehingga praktik ini tak pernah dipersoalkan secara moral.


Hukum yang Tumpul dan Lemahnya Penegakan

Secara normatif, regulasi kita sudah cukup progresif dalam melarang politik uang. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa setiap bentuk pemberian uang atau barang kepada pemilih dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Namun, dalam praktik, penegakan hukum kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Bawaslu dan Gakkumdu kesulitan membuktikan niat transaksional dalam pemberian uang, apalagi jika pelapor tidak bersedia menjadi saksi.

Menurut Syarifuddin dan Haryanto (2023), penegakan hukum terhadap politik uang sering kali bersifat sporadis dan selektif. Banyak kasus yang menguap tanpa kejelasan. Ketiadaan sistem audit keuangan yang transparan membuat praktik politik uang sulit dilacak secara forensik.


Genealogi dalam Sistem Kepartaian

Partai politik seharusnya menjadi pilar utama dalam pembangunan demokrasi. Namun sayangnya, banyak partai lebih berperan sebagai perantara kepentingan ekonomi daripada penjaga etika politik. Mekanisme pencalonan yang mahal, mahar politik, serta ketergantungan pada oligarki menjadikan partai sebagai sumber reproduksi politik uang (Winters, 2011).

Sebagai contoh, dalam banyak kasus, kandidat harus membayar “biaya pencalonan” kepada partai untuk memperoleh rekomendasi. Praktik ini sering tidak tercatat secara administratif, namun menjadi rahasia umum yang diperbincangkan secara terbuka. Dalam konteks ini, partai tidak hanya pasif terhadap politik uang, melainkan menjadi aktor aktif di dalamnya (Mietzner, 2020).


Dampak Politik Uang terhadap Demokrasi

Dampak politik uang bukan hanya pada proses elektoral, tapi juga pada kualitas demokrasi secara keseluruhan. Kandidat yang terpilih melalui politik uang cenderung berpikir untuk “balik modal” ketimbang melayani rakyat. Korupsi anggaran, pengadaan fiktif, hingga jual beli jabatan adalah konsekuensi dari sistem yang memberi insentif pada mereka yang bisa membeli kekuasaan.

Dalam jangka panjang, politik uang mengikis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Pemilu tidak lagi dianggap sebagai mekanisme seleksi terbaik, melainkan sebagai ajang kompetisi logistik. Legitimasi politik pun menjadi rapuh, karena tidak dibangun dari kepercayaan, tetapi dari kalkulasi materi (Pratikno, 2022).


Pendidikan Politik dan Literasi Kritis

Salah satu jalan keluar yang krusial adalah membangun kesadaran politik masyarakat. Pendidikan politik yang transformatif perlu diperkuat agar masyarakat memahami bahwa suara mereka bukan untuk dijual, melainkan untuk menentukan masa depan. Literasi kritis tentang hak politik, etika demokrasi, serta dampak jangka panjang dari politik uang harus ditanamkan sejak dini.

Organisasi masyarakat sipil, kampus, media, dan lembaga keagamaan memiliki peran penting dalam membangun wacana anti-politik uang. Keterlibatan mereka dapat menjadi counter-discourse terhadap dominasi narasi transaksional yang selama ini membentuk perilaku pemilih (Setiawan, 2021).


Reformasi Sistemik dan Transparansi Keuangan

Upaya mengakhiri politik uang tidak cukup dengan pendekatan moral dan hukum semata, tetapi membutuhkan reformasi sistemik. Pertama, perlu ada audit independen terhadap dana kampanye dan sumber pendanaan partai politik. Kedua, negara perlu memberi subsidi yang cukup kepada partai agar tidak tergantung pada oligarki. Ketiga, sistem rekrutmen dan pencalonan harus lebih terbuka dan berbasis merit.

Negara seperti Jerman dan Swedia telah menunjukkan bahwa transparansi dan pembiayaan publik terhadap partai dapat menekan politik uang secara signifikan (Nassmacher, 2009). Jika Indonesia ingin memperkuat demokrasi, maka transparansi keuangan politik harus menjadi prioritas reformasi.


Kesimpulan: Melampaui Demokrasi Transaksional

Genealogi politik uang mengajarkan kita bahwa problem ini bukan semata kriminalitas elektoral, tetapi manifestasi dari budaya, sejarah, dan struktur yang lebih dalam. Untuk melampauinya, kita perlu membangun demokrasi yang bukan hanya prosedural, tetapi substantif. Demokrasi yang tidak hanya mengatur suara, tetapi menumbuhkan nilai.

Politik uang harus dipahami sebagai penyakit sistemik yang memerlukan terapi institusional, budaya, dan etis. Tanpa itu, kita hanya akan terus mengulangi siklus elektoral yang dangkal, dengan hasil yang sama: elit berkuasa, rakyat terlupakan.


Referensi

  • Aspinall, E. (2014). When Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia. Critical Asian Studies, 46(4), 545–570.
  • Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
  • Hadiz, V. R. (2017). Power and Contention in Post-Authoritarian Indonesia. New York: Palgrave Macmillan.
  • Litbang Kompas. (2024). Survei Nasional Perilaku Pemilih dan Politik Uang. Jakarta: Harian Kompas.
  • Mietzner, M. (2020). Indonesia’s Political Parties and the Crisis of Representation. Journal of Democracy, 31(2), 130–144.
  • Nassmacher, K. H. (2009). The Funding of Party Competition: Political Finance in 25 Democracies. Baden-Baden: Nomos.
  • Pratikno. (2022). Demokrasi, Klientelisme, dan Politik Uang di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Scott, J. C. (1972). Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. The American Political Science Review, 66(1), 91–113.
  • Setiawan, I. (2021). Politik Uang dan Tantangan Literasi Politik di Era Digital. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Syarifuddin, A., & Haryanto, Y. (2023). Tantangan Penegakan Hukum Politik Uang dalam Pemilu Serentak. Jurnal Hukum dan Pemilu, 6(1), 1–19.
  • Törnquist, O., Prasetyo, S., & Warouw, N. (2022). Demos versus ‘Duitocracies’: Challenges of Popular Democracy in Indonesia. Singapore: ISEAS Publishing.
  • Winters, J. A. (2011). Oligarchy. New York: Cambridge University Press.
  • Zulfan, B. (2023). Demokrasi dan Kapitalisme Politik. Jakarta: LP3ES.
  • Effendi, R. (2022). Relasi Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu: Studi terhadap Dinamika Lokal. Malang: Intrans Publishing.
  • Nugroho, H. (2024). Membangun Demokrasi Tanpa Mahar Politik. Surabaya: Pustaka Demokrasi.