Fenomena Sleep Paralysis dalam Perspektif Medis, Psikologis, dan Islam

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Fenomena sleep paralysis atau kelumpuhan tidur adalah salah satu pengalaman tidur yang sering mengundang rasa takut luar biasa. Dalam tradisi masyarakat Indonesia, keadaan ini kerap disebut “ketindihan”, sebuah istilah yang menggambarkan sensasi seperti ada sesuatu menindih tubuh saat tidur sehingga tidak bisa bergerak, sulit bernapas, dan kerap disertai bayangan sosok yang menakutkan. Situasi ini sering berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit, namun efeknya bisa menetap dalam ingatan sepanjang hari, bahkan menimbulkan kecemasan untuk tidur di malam berikutnya.

Di berbagai belahan dunia, fenomena ini mendapatkan terjemahan budaya masing-masing. Masyarakat Jepang mengenalnya sebagai kanashibari, masyarakat Turki menyebutnya karabasan, sedangkan di Amerika Latin ada istilah se me subió el muerto yang berarti “mayat menindihku”. Terlepas dari perbedaan istilah, inti pengalamannya serupa: kesadaran yang bangun di tengah tubuh yang masih “tertidur” secara fisik, disertai rasa takut yang intens (Jalal & Hinton, 2013; Time, 2024).


Penjelasan Medis

Dari sudut pandang medis, sleep paralysis terjadi ketika mekanisme kelumpuhan otot alami yang muncul pada fase tidur REM (Rapid Eye Movement) “terbawa” ke saat seseorang mulai bangun. Dalam fase REM, otot-otot tubuh memang dibuat lumpuh oleh sistem saraf untuk mencegah kita bergerak mengikuti mimpi. Namun, jika otak terbangun sebelum kelumpuhan otot ini hilang, terjadilah fenomena sleep paralysis (American Academy of Sleep Medicine, 2022).

Gejala yang sering muncul meliputi ketidakmampuan bergerak atau berbicara, rasa sesak di dada, sensasi kehadiran makhluk asing di ruangan, hingga halusinasi visual atau auditori. Halusinasi ini disebut hipnopompik (terjadi saat bangun) atau hipnagogik (terjadi saat tertidur), dan terasa sangat nyata sehingga mudah dikaitkan dengan hal-hal supranatural (Sharpless, 2023).

Penelitian menunjukkan bahwa sleep paralysis umum dialami oleh populasi umum, dengan prevalensi sekitar seperlima hingga sepertiga orang mengalami setidaknya sekali seumur hidup (Gao et al., 2024). Kelompok mahasiswa atau pekerja dengan pola tidur tidak teratur cenderung memiliki angka kejadian lebih tinggi. Faktor pemicu yang sering ditemukan meliputi kurang tidur, stres, tidur dalam posisi telentang, serta adanya gangguan tidur lain seperti narkolepsi (Denis & Poerio, 2021).


Perspektif Psikologis

Psikologi memandang sleep paralysis sebagai interaksi antara mekanisme fisiologis tidur dan interpretasi kognitif yang dipengaruhi budaya. Keyakinan seseorang mengenai penyebab fenomena ini dapat memperkuat atau mengurangi rasa takut yang dirasakan. Misalnya, individu yang meyakini penyebabnya adalah gangguan makhluk halus mungkin mengalami kecemasan yang lebih tinggi, sehingga siklus ketakutan berulang yang memicu episode berikutnya lebih mudah terbentuk (Jalal, 2017).

Pendekatan psikologis modern menekankan pentingnya edukasi. Menjelaskan bahwa fenomena ini umum dan tidak membahayakan membantu meredakan ketakutan. Terapi kognitif-perilaku khusus untuk sleep paralysis (CBT-ISP) mengajarkan pasien teknik relaksasi, fokus pada pernapasan, serta strategi untuk menggerakkan bagian tubuh kecil seperti jari kaki atau tangan guna memutus episode. Pendekatan meditasi dan relaksasi juga terbukti membantu menurunkan frekuensi dan intensitas (Jalal et al., 2021).

Dari perspektif psikologi budaya, halusinasi yang muncul selama sleep paralysis sering mengambil bentuk yang sesuai dengan imajinasi dan narasi masyarakat setempat. Itulah sebabnya pengalaman ini bisa berbeda-beda meskipun mekanisme biologisnya sama.


Perspektif Islam

Dalam pandangan Islam, tidur adalah anugerah sekaligus tanda kekuasaan Allah. Al-Qur’an menyebut tidur sebagai bentuk “kematian kecil” yang kemudian dibangkitkan kembali saat bangun (Q.S. Az-Zumar: 42). Nabi Muhammad memberikan tuntunan adab sebelum tidur yang bermanfaat, baik secara spiritual maupun praktis.

Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim bahwa jika mengalami mimpi buruk, dianjurkan untuk meludah kecil ke kiri tiga kali, berlindung kepada Allah dari gangguan setan, dan mengubah posisi tidur. Rasulullah juga mengajarkan membaca Ayat al-Kursi sebelum tidur, yang menurut riwayat akan menjadi penjaga dari gangguan setan hingga pagi (H.R. Bukhari). Membaca zikir dan doa sebelum tidur, membersihkan tempat tidur, serta berwudhu juga termasuk amalan yang dapat memberikan ketenangan hati.

Pendekatan Islam tidak menafikan penjelasan medis atau psikologis, melainkan melengkapinya. Zikir dan doa bertindak sebagai penenang jiwa, mengurangi kecemasan yang kerap memperburuk fenomena sleep paralysis. Dengan memadukan ikhtiar medis dan doa, seorang Muslim dapat menjaga kesehatan tubuh dan ketenangan batin sekaligus.


Pendekatan Terpadu

Pendekatan terbaik dalam menghadapi sleep paralysis adalah memadukan sains, psikologi, dan nilai-nilai spiritual. Pemahaman medis memberikan penjelasan rasional tentang apa yang terjadi pada tubuh, sehingga mengurangi interpretasi yang berlebihan atau menakutkan. Pendekatan psikologis membantu mengelola respons emosi, mengajarkan teknik relaksasi, dan membangun kebiasaan tidur yang sehat. Sementara itu, ajaran Islam memberikan dimensi spiritual yang memperkuat mental dan hati.

Perubahan gaya hidup memiliki peran penting. Menjaga jadwal tidur yang teratur, menghindari begadang, membatasi konsumsi kafein sebelum tidur, dan mengelola stres adalah langkah-langkah yang sangat dianjurkan. Menghindari tidur dalam posisi telentang dapat membantu mengurangi kemungkinan terjadinya sleep paralysis. Bagi seorang Muslim, kebiasaan ini bisa selaras dengan anjuran sunnah tidur miring ke kanan.

Menghadapi episode sleep paralysis memerlukan ketenangan. Mengingatkan diri bahwa fenomena ini bersifat sementara dan tidak membahayakan dapat memutus rasa panik. Mengatur napas secara perlahan, fokus pada gerakan kecil, dan mengucapkan doa atau zikir dapat membantu tubuh keluar dari kondisi kelumpuhan. Setelah episode selesai, disarankan untuk memperbaiki posisi tidur atau bangkit sejenak agar siklus tidak terulang.


Menghindari Polarisasi Pandangan

Sering kali, pembahasan sleep paralysis terjebak pada dua kutub ekstrem. Satu pihak melihatnya murni sebagai fenomena biologis dan menolak segala dimensi spiritual. Pihak lain menafsirkannya sepenuhnya sebagai gangguan supranatural, menolak penjelasan ilmiah. Keduanya dapat merugikan, karena mengabaikan dimensi yang saling melengkapi.

Pendekatan yang seimbang justru memungkinkan kita menghargai fakta ilmiah sambil tetap memelihara nilai keimanan. Sains membantu menjelaskan mekanisme, sedangkan agama menuntun respon etis dan emosional. Dengan memahami keduanya, kita dapat menghindari ketakutan berlebihan sekaligus menjaga rasa takzim terhadap hal-hal ghaib yang diajarkan dalam agama.


Penutup

Sleep paralysis adalah jendela untuk melihat hubungan erat antara tubuh, pikiran, dan keyakinan. Sains memberi kita pengetahuan tentang mekanisme biologisnya, psikologi mengajarkan cara mengelola dampaknya, dan Islam menawarkan ketenangan hati dalam menghadapinya. Memadukan ketiganya membuat kita lebih siap menghadapi malam, bukan dengan rasa takut, tetapi dengan pemahaman dan ketenangan.

Dengan literasi yang tepat, sleep paralysis tidak lagi menjadi misteri yang menakutkan, melainkan fenomena yang dapat dipahami, diantisipasi, dan dikelola. Malam pun kembali menjadi waktu istirahat yang damai, di mana tubuh beristirahat, pikiran tenang, dan hati terhubung dengan Sang Pencipta.


Referensi

  • American Academy of Sleep Medicine. (2022). International Classification of Sleep Disorders (3rd ed., Text Revision). Darien, IL: American Academy of Sleep Medicine.
  • Denis, D., & Poerio, G. (2021). Nightmare disorder and isolated sleep paralysis: Prevalence, impact, and interventions. Psychiatric Annals, 51(5), 226–233. https://doi.org/10.3928/00485713-20210408-01
  • Gao, X., Zhang, Y., & Wang, Z. (2024). Prevalence and clinical characteristics of sleep paralysis: A systematic review and meta-analysis. Sleep Medicine Reviews, 69, 101781. https://doi.org/10.1016/j.smrv.2023.101781
  • Jalal, B. (2017). How to make the ghosts in my bedroom disappear? Focused-attention meditation combined with muscle relaxation (MR therapy) — A direct treatment intervention for sleep paralysis. Frontiers in Psychology, 8, 471. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00471
  • Jalal, B., & Hinton, D. E. (2013). Rates and characteristics of sleep paralysis in the general Egyptian population. Transcultural Psychiatry, 50(2), 219–234. https://doi.org/10.1177/1363461512473246
  • Jalal, B., Romanelli, A., & Hinton, D. E. (2021). Cultural meanings and explanatory models of sleep paralysis: The case of the Turkish karabasan attack. Culture, Health & Sexuality, 23(5), 627–642. https://doi.org/10.1080/13691058.2020.1759973
  • Montplaisir, J. (2019). Clinical neurophysiology of REM sleep parasomnias. In A. Videnovic & S. Chokroverty (Eds.), Handbook of Clinical Neurology (Vol. 161, pp. 393–408). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-64142-7.00027-3
  • Rural Neuropractice. (2023). The prevalence of sleep paralysis in medical students in Buenos Aires, Argentina. Journal of Neurosciences in Rural Practice, 14(3), 471–478. https://doi.org/10.1055/s-0043-1768960
  • Sharpless, B. A. (2023). Sleep paralysis: Intersections of culture, fear, and REM atonia. The American Journal of Psychiatry Residents’ Journal, 18(4), 1–4. https://doi.org/10.1176/appi.ajprj.2023.180403
  • Sharpless, B. A., & Doghramji, K. (2015). Sleep paralysis: Historical, psychological, and medical perspectives. New York, NY: Oxford University Press.
  • Sleep Foundation. (2025). REM sleep behavior disorder. Retrieved from https://www.sleepfoundation.org
  • Sahih al-Bukhari. (n.d.). Kitab Ta’bir (The Book of Dreams), no. 2311. Retrieved from https://sunnah.com/bukhari
  • Sahih Muslim. (n.d.). Kitab al-Ru’ya (The Book of Dreams), no. 2261–2262. Retrieved from https://sunnah.com/muslim
  • Yaqeen Institute. (2024). Virtues of Ayat al-Kursi: The greatest verse in the Qur’an. Retrieved from https://yaqeeninstitute.org