Empati Instan di Media Sosial

Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021

Media sosial telah menjelma menjadi teater ekspresi massal. Dalam hitungan menit, ribuan orang bisa menunjukkan simpati kepada seseorang yang bahkan belum mereka kenal. Unggahan tentang kecelakaan, kehilangan, kesedihan, atau ketidakadilan segera dibanjiri komentar empatik, emoji menangis, atau kalimat seperti “turut berduka” dan “semoga diberi kekuatan.” Fenomena ini dikenal sebagai empati instan.

Dalam perspektif sosial digital, empati instan mencerminkan respons emosional kolektif yang cepat, luas, namun seringkali dangkal. Ia lahir dari pola komunikasi tanpa refleksi, sebuah konsekuensi dari keterbukaan platform yang menuntut kecepatan lebih daripada kedalaman (Zamzami, 2024). Alhasil, meski tampak seperti bentuk kepedulian, empati yang terbentuk kadang hanya menyentuh permukaan tanpa pengaruh jangka panjang pada perilaku atau kesadaran sosial.

Sirkuit Emosi yang Menular

Media sosial memfasilitasi penyebaran emosi secara luas dan simultan. Konsep emotional contagion menjelaskan bagaimana emosi negatif seperti kemarahan dan kesedihan menyebar lebih cepat daripada emosi positif seperti syukur atau ketenangan (Fan, Ke, & Zhao, 2016). Hal ini diperkuat oleh struktur algoritmik platform yang cenderung mengangkat konten dengan muatan emosional tinggi.

Studi Hosseini dan Staab (2023) menunjukkan bahwa framing emosional pada unggahan dapat mempercepat penyebaran klaim, baik yang benar maupun keliru. Dalam konteks ini, empati menjadi alat viral, bukan lagi ekspresi relasional yang lahir dari keterlibatan mendalam dengan penderitaan orang lain.

Fenomena ini menjelaskan mengapa empati instan sering kali bersifat temporer. Begitu trending topic bergeser, simpati kolektif pun menguap. Kepedulian menjadi musiman, berulang tanpa penyelesaian.

Keletihan Emosional dan Penyusutan Kepedulian

Salah satu paradoks empati instan adalah kemampuannya menghasilkan keletihan emosional, dikenal sebagai compassion fatigue. Paparan terus-menerus terhadap cerita duka atau tragedi membuat seseorang mengalami kejenuhan dalam merespons secara emosional (Payne & Cameron, 2025). Respons yang semula tulus bisa berubah menjadi formalitas digital: komentar basa-basi, repost tanpa konteks, atau sekadar simbol hati.

Konsep compassion fade juga relevan di sini. Ketika jumlah korban bertambah atau peristiwa serupa terus berulang, rasa empati justru berkurang. Slovic (2025) menyebut bahwa manusia cenderung merespons lebih kuat terhadap penderitaan individu dibandingkan kelompok besar. Dalam media sosial, fenomena ini membuat krisis kemanusiaan massal sering terpinggirkan oleh kisah personal yang lebih mudah dikonsumsi secara emosional.

Alih-alih memperdalam kesadaran sosial, empati instan justru dapat menciptakan kebuntuan emosional. Ini bukan karena pengguna media sosial tidak peduli, tetapi karena terlalu sering diminta peduli.

Relasi Sosial yang Ringkih

Dampak empati instan tidak hanya bersifat psikologis, tetapi juga sosial. Interaksi di media sosial yang serba cepat dan serba publik membuat relasi menjadi lebih rapuh. Hubungan sosial didominasi oleh komentar singkat, story reaction, atau like simbolik yang menggeser makna kedekatan emosional.

Fadilan dan tim peneliti lainnya (2025) mengungkapkan bahwa intensitas penggunaan media sosial oleh Generasi Z memang memperluas jejaring sosial, namun sekaligus mereduksi kedalaman interaksi. Komunikasi yang dijalin sering bersifat permukaan, berorientasi pada eksistensi dan penerimaan sosial.

Sementara itu, studi Swarna dan kolega (2024) menunjukkan bahwa meskipun media sosial mempercepat akses komunikasi, ia menurunkan kualitas keintiman dalam percakapan antarindividu. Empati yang seharusnya menghubungkan, malah menjadi alat pembuktian diri: siapa yang paling cepat bersimpati, siapa yang paling peduli secara visual.

Habibi (2025) menambahkan bahwa ruang virtual yang multikultural sering gagal menumbuhkan empati lintas identitas karena pengguna hanya berinteraksi di gelembung sosial yang seragam. Empati yang terbentuk lebih bersifat afiliasi, bukan kesadaran lintas batas.

Ketika Remaja Kehilangan Refleksi Emosional

Empati instan juga memiliki implikasi besar terhadap perkembangan psikologis remaja. Gisbert‑Pérez dan tim (2024) dalam meta-analisisnya menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang tinggi dapat mengurangi kemampuan remaja dalam mengelola dan memahami emosi secara sehat.

Kecerdasan emosional yang rendah membuat remaja cenderung menunjukkan empati hanya secara kognitif, bukan afektif. Mereka tahu bahwa suatu peristiwa layak disikapi dengan sedih, tetapi tidak benar-benar merasakan kesedihan itu. Ini menciptakan jarak antara ekspresi dan pengalaman emosi.

Leite dan rekan-rekannya (2019) juga menyoroti kecenderungan media sosial untuk menciptakan ilusi empati. Dalam ruang digital, validasi emosi datang dari kuantitas respons, bukan kualitas interaksi. Sehingga remaja belajar bahwa empati adalah tentang reaksi cepat, bukan pemahaman mendalam.

Strategi Membangun Empati Digital Berkelanjutan

Untuk menghadapi tantangan empati instan, perlu dikembangkan pendekatan yang mampu menumbuhkan empati digital secara berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah intervensi positive empathy di platform seperti Instagram. Inzlicht dan timnya (2024) membuktikan bahwa hanya dalam sepuluh menit, pengguna yang dilatih untuk merasakan dan menghargai emosi positif orang lain mengalami peningkatan kepuasan hidup dan kesejahteraan subjektif.

Pendekatan ini menekankan pada pentingnya apresiasi emosional aktif, bukan sekadar reaksi. Empati menjadi proses yang sadar dan reflektif.

Zamzami (2024) juga mendorong integrasi literasi empatik dalam pendidikan digital. Menurutnya, pengguna harus diajarkan membedakan antara simpati simbolik dan empati sejati. Literasi ini mencakup keterampilan mendengarkan, mengenali konteks, dan merespons secara manusiawi.

Pendekatan lain adalah desain teknologi yang mendukung empati. Sharma dan koleganya (2022) memperkenalkan konsep Human–AI Collaboration yang membantu menciptakan percakapan empatik dalam layanan dukungan kesehatan mental berbasis teks. Teknologi dirancang bukan untuk menggantikan empati manusia, tetapi untuk memperkuatnya.

Ancaman Oversharing dan Trauma Digital

Namun di balik semangat membangun empati, ada ancaman lain: emotional dumping. Banyak pengguna media sosial tanpa sadar membagikan trauma pribadi secara terbuka tanpa mempertimbangkan kesiapan audiens. Ini menciptakan beban emosional bagi pengguna lain, terutama mereka yang rentan (Wikipedia, 2025).

Kultur oversharing menjadikan empati sebagai komoditas: kisah sedih viral lebih cepat menarik simpati, lebih banyak diangkat media, lebih besar peluangnya mendapat bantuan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menciptakan insentif negatif dan memperkeruh dinamika relasi sosial.

Maka, etika berbagi perlu menjadi bagian dari literasi empatik. Pengguna perlu diajak merefleksikan kapan, bagaimana, dan kepada siapa cerita sedih dibagikan. Sama pentingnya dengan berbagi, adalah kesediaan untuk diam, mendengar, dan memahami.

Harapan Akan Empati Sejati

Meski banyak catatan kritis, harapan tetap ada. Media sosial bukan musuh empati. Ia hanya perlu diarahkan. Ketika digunakan dengan kesadaran dan tanggung jawab, media digital dapat menjadi ruang baru bagi solidaritas yang tulus.

Empati sejati membutuhkan waktu, perhatian, dan kehadiran. Ia tidak datang dalam bentuk emoji atau hashtag, melainkan dalam tindakan yang konsisten dan pemahaman yang mendalam. Dalam dunia yang serba cepat, mungkin inilah saatnya kita memperlambat sejenak—untuk benar-benar peduli.


Referensi

  • Alloway, T., & Alloway, R. (2025). Membangun Rasa Empati dan Jiwa Sosial di Era Digital. Jurnal Ilmu Psikologi Modern.
  • Fan, R., Ke, X., & Zhao, J. (2016). Higher Contagion and Weaker Ties Mean Anger Spreads Faster Than Joy in Social Media. Journal of Computational Social Science.
  • Fadilan, M. R., Purwanto, E., Azizurohman, A., & Furqon, M. H. (2025). Keterlibatan Penggunaan Media Sosial pada Interaksi Sosial di Kalangan Gen Z. Jurnal Masyarakat Digital.
  • Gisbert‑Pérez, C., Leite, L., et al. (2024). Emotional Intelligence and Social Media Usage: A Systematic Review. Adolescence and Mental Health Review.
  • Habibi, A. D. (2025). Komunikasi Sosial Digital sebagai Jembatan Empati Generasi Z di Ruang Virtual Multikultural. NHSJS Reports.
  • Hosseini, A. S., & Staab, S. (2023). Emotional Framing in the Spreading of False and True Claims. ArXiv Preprint.
  • Inzlicht, M., et al. (2024). A Positive Empathy Intervention to Improve Well‑Being on Instagram. Journal of Social Media and Well‑Being.
  • Leite, L., et al. (2019). Emotional Regulation in Adolescents and Social Media Use. Journal of Youth Psychology.
  • Payne, K., & Cameron, D. (2025). Compassion Fatigue in Journalism and News Consumers. Media Psychology Quarterly.
  • Setyawan, R., et al. (2024). Media Sosial sebagai Saluran Komunikasi: Pola Komunikasi Interpersonal Mahasiswa. Communicative Studies Journal.
  • Sharma, A., Lin, I. W., Miner, A. S., Atkins, D. C., & Althoff, T. (2022). Human–AI Collaboration Enables More Empathic Conversations in Text‑Based Peer‑To‑Peer Mental Health Support. ArXiv Preprint.
  • Slovic, P. (2025). Compassion Fade and Psychic Numbing in Social Media Contexts. Psychological Science in Society.
  • Swarna, S., et al. (2024). Analisis Dampak Media Sosial dalam Komunikasi Interpersonal. MUKASI Journal.
  • Wikipedia. (2025). Emotional Dumping. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Emotional_dumping
  • Zamzami, M. (2024). Menggabungkan Teknologi dan Empati untuk Mewujudkan Dunia Digital yang Lebih Manusiawi. Jurnalistiqomah.