Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Ada cerita-cerita yang bukan sekadar dongeng — mereka adalah cermin kolektif yang memantulkan kerumitan kemanusiaan: rasa bersalah dan penebusan, larangan dan pemberontakan, cinta dan ketakutan. Kisah Adam dan Hawa—dalam banyak tradisi disebutkan sebagai narasi asal-mula—adalah salah satu drama kosmik yang terus hidup, bukan hanya karena religiositasnya tetapi juga karena ia menempel pada nalar sosial, politik, dan budaya manusia. Dalam konteks modern, membaca ulang kisah ini bukan sekadar mengurai tafsir teologis; ia menjadi ujian terhadap bagaimana masyarakat kita menafsirkan otoritas, kebebasan, dan konsekuensi moral di zaman yang serba kompleks (Armstrong, 1993).
Di permukaan, kisah itu tampak sederhana: dua manusia, sebuah larangan, sebuah godaan, dan sebuah pengusiran. Tetapi struktur dramatiknya menampilkan tiga aktus yang tak lekang oleh waktu. Pertama, penciptaan dan ketergantungan—manusia sebagai makhluk yang diletakkan dalam taman yang rapih, dengan aturan yang jelas. Kedua, transgresi—keputusan sadar melanggar larangan. Ketiga, eksil—konsekuensi yang memaksa manusia menghadapi dunia yang tidak lagi aman. Pola ini berulang dalam banyak mitos dan literatur; ia bercermin dari ketegangan antara kebebasan individu dan tata nilai kolektif (Leeming, 2005).
Mengapa kisah ini masih relevan? Karena ia berbicara tentang kondisi fundamental: tanggung jawab atas pilihan. Dalam konteks modern, “buah yang terlarang” berubah bentuk menjadi hal-hal lain: teknologi yang menggoda tanpa aturan, wacana publik yang mudah menyebar tanpa verifikasi, atau kebijakan ekonomi yang mengorbankan hak-hak dasar untuk keuntungan jangka pendek. Ketika manusia modern memilih untuk “memetik buah” ini, dampaknya tak lagi hanya pribadi; ia berdimensi sosial dan ekologis (Harari, 2015). Dengan kata lain, drama Adam dan Hawa adalah alegori bagi kegagalan kita menimbang konsekuensi kolektif dari tindakan individu.
Pembacaan feminis terhadap narasi ini menambahkan lapisan lain. Sejak lama Hawa disalahartikan sebagai “sumber dosa”, yang kemudian memengaruhi konstruksi gender dalam banyak masyarakat. Namun kajian-kajian kontemporer menegaskan bahwa narasi ini jauh lebih kompleks: Hawa bukan sekadar pemicu, melainkan aktor yang menunjukkan inisiatif—dan itu menantang pembacaan patriarkal tradisional yang ingin menempatkan perempuan sebagai kambing hitam (Pagels, 1988). Membaca ulang kisah ini dengan kacamata gender membuka ruang untuk menyoal bagaimana wacana religius dapat dipakai untuk meneguhkan hirarki sosial.
Teks-teks religius, tafsir rabinik maupun patristik, menunjukkan beragam usaha untuk meredam ketegangan antara kedaulatan ilahi dan tanggung jawab manusia. Sebagian menekankan dosa asal sebagai kondisi kolektif yang melumpuhkan; yang lain melihatnya sebagai peristiwa etis yang memberi manusia kesempatan moral—kesempatan untuk bertobat dan berbenah (Kugel, 2007). Dalam konteks kenegaraan modern, ini menimbulkan dilema: sejauh mana negara atau institusi harus mengintervensi “taman” warga demi mencegah kegagalan kolektif tanpa mengorbankan kebebasan individu?
Ada pula dimensi kosmologis: manusia awal dalam taman adalah makhluk yang rapuh di tengah alam yang tertata—sebuah metafora bagi kerentanan kita terhadap sistem-sistem alamiah dan buatan. Krisis iklim dan degradasi lingkungan adalah bentuk eksil modern: kita diusir dari keamanan ekologis yang semula kita nikmati karena pilihan-pilihan kita sendiri. Narasi Adam dan Hawa, bila dibaca ekologis, menjadi peringatan bahwa tidak ada tindakan individual yang sepenuhnya privat; semua keputusan beresonansi pada tatanan hidup bersama (Levenson, 1988).
Drama itu juga mengajarkan tentang bahasa dan narasi. Kata-kata yang dipakai untuk menggambarkan “kebaikan” dan “buruk” membentuk pikiran kolektif. Ketika wacana publik dipenuhi retorika yang memecah dan menyalahkan, kita meniru pola lama: mencari kambing hitam bukannya bertanya bagaimana struktur sosial menciptakan kondisi yang memungkinkan kesalahan. Tanggung jawab kolektif menuntut bahasa yang dapat mengurai persoalan struktural, bukan sekadar menekankan moral individu (Alter, 2004).
Namun, bukan berarti kisah ini hanya berisi larangan dan hukuman. Sebagai drama, ia juga memuat momen belas kasih: penglihatan terhadap manusia yang berdosa dan keputusan untuk memberi mereka penutup, bahkan setelah pengusiran. Ini menempatkan aspek rahmat sebagai elemen penting: bahwa masyarakat sehat bukan hanya menghukum, melainkan membuka jalan bagi perbaikan dan rekonsiliasi. Politik yang sehat pun memerlukan mekanisme yang tidak sekadar memberi sanksi, tetapi juga memungkinkan rehabilitasi (Collins, 2006).
Relevansi lain dari kisah ini ialah pada ranah etika teknologi. Dalam era kecerdasan buatan dan bioteknologi, godaan untuk “menjadi seperti tuhan”—mengubah gen, mencipta kembali kehidupan—muncul dalam wujud baru. Kisah Adam dan Hawa mengingatkan kita bahwa kapasitas membuat dan mengubah itu disertai tanggung jawab yang besar. Regulasi etis perlu dibangun tidak sebagai benteng yang mengekang kreativitas, melainkan sebagai kompas yang memastikan inovasi tidak mengorbankan martabat manusia dan keseimbangan ekosistem (Davies, 2006).
Lalu bagaimana kita menerapkan pembacaan ini di ruang publik Indonesia? Pertama, dengan mendorong pendidikan yang menanamkan kemampuan kritis—agar warga tidak mudah tergoda “memetik buah” tanpa memahami konsekuensi jangka panjang. Kedua, dengan merancang kebijakan yang sensitif terhadap ketidaksetaraan sehingga pilihan buruk bukanlah hasil dari ketidakadilan struktural. Ketiga, dengan membuka ruang dialog lintas agama dan budaya untuk membaca ulang narasi-narasi lama sehingga fungsi simbolisnya dapat memperkaya, bukan mempersempit, kemanusiaan kita bersama (Azra, 2010).
Penutupnya sederhana: cerita-cerita besar bertahan karena mereka menguji kita. Drama kosmik Adam dan Hawa bukan soal siapa yang paling bersalah, melainkan soal bagaimana kita bereaksi setelah mengetahui bahwa kita telah melanggar batas. Apakah kita menciptakan sistem yang menuntut hukuman berulang tanpa solusi, ataukah kita membangun mekanisme yang mengajak perbaikan kolektif? Pilihan itu, seperti seluruh kisah, ada pada kita. Dan seperti Hawa yang mengambil langkah pertama, inisiasi perubahan seringkali bermula dari keberanian seorang individu — tetapi bertahan hanya jika diikuti oleh komitmen kolektif.
Referensi
- Armstrong, K. (1993). A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books.
- Pagels, E. (1988). Adam, Eve, and the Serpent: Sex and Politics in Early Christianity. New York: Vintage Books.
- Harari, Y. N. (2015). Sapiens: A Brief History of Humankind. New York: Harper.
- Leeming, D. (Ed.). (2005). The Oxford Companion to World Mythology. Oxford: Oxford University Press.
- Kugel, J. L. (2007). How to Read the Bible: A Guide to Scripture, Then and Now. New York: Free Press.
- Alter, R. (2004). The Five Books of Moses: A Translation with Commentary. New York: W. W. Norton & Company.
- Collins, C. J. (2006). Genesis 1–4: A New Translation with Introduction and Commentary (The New International Commentary on the Old Testament). Phillipsburg, NJ: P&R Publishing.
- Levenson, J. D. (1988). Creation and the Persistence of Evil: The Jewish Drama of Divine Omnipotence. Princeton, NJ: Princeton University Press.
- Davies, P. (2006). The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? London: Penguin.
- Westermann, C. (1984). Genesis: A Practical Commentary (Volume 1: Genesis 1–11). Minneapolis, MN: Augsburg Publishing House.
- Frymer-Kensky, T. (1992). In the Wake of the Goddesses: Women, Culture, and the Biblical Transformation of Pagan Myth. New York: Free Press.
- Trible, P. (1978). God and the Rhetoric of Sexuality. Philadelphia, PA: Fortress Press.
- Azra, A. (2010). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’. Bandung: Mizan.
- Smith, J. Z. (1998). Figuring the Sacred: Religion, Narrative, and Imagination. Chicago, IL: University of Chicago Press.
- Bird, M. F. (2013). Faith, Reason and the Existence of God. Cambridge: Cambridge University Press.