Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Dalam sebuah kutipan yang sering dikaitkan dengan Aristoteles, dikatakan bahwa “Tidak ada pikiran besar yang pernah ada tanpa sentuhan kegilaan.” Meskipun kutipan itu mungkin apokrif, ia tetap mengandung paradoks yang menggugah: bahwa kecerdasan luar biasa kerap berdampingan dengan kegilaan. Dalam berbagai lintasan sejarah, filsafat, seni, hingga sains, pernyataan ini tampaknya menemukan pembenarannya. Namun, apakah benar bahwa batas antara cerdas dan gila itu tipis? Apakah dunia cukup bijak membedakan keduanya, atau justru seringkali mencampuradukkan keduanya dalam kabut stigma dan ketidaktahuan?
Cerdas: Anugerah atau Beban?
Kecerdasan dalam berbagai literatur didefinisikan sebagai kemampuan berpikir abstrak, menyelesaikan masalah, dan belajar dari pengalaman (Sternberg, 2019). Dalam kehidupan sosial, orang cerdas sering diidealkan sebagai problem solver, inovator, bahkan tokoh penyelamat. Namun, dalam praktiknya, banyak individu cerdas justru hidup dalam kesepian, kegelisahan, bahkan kemarahan terhadap masyarakat yang tidak memahami kedalaman pemikiran mereka (Kaufman, 2021).
Hal ini terlihat dari kisah-kisah seperti Alan Turing yang jenius di bidang komputer dan kriptografi namun berakhir tragis karena stigma seksual dan perlakuan diskriminatif (Hodges, 2014). Atau Friedrich Nietzsche, filsuf besar yang pada akhir hidupnya mengalami gangguan jiwa dan hidup dalam keterasingan (Young, 2010). Di Indonesia, kita mengenang penyair Chairil Anwar atau pelukis Affandi yang disebut-sebut memiliki “jiwa bebas” yang tak jarang dianggap “liar” atau “aneh” oleh masyarakat zamannya.
Gila: Label atau Kondisi?
Kegilaan dalam konstruksi medis biasanya mengacu pada gangguan mental, mulai dari gangguan bipolar, skizofrenia, hingga depresi berat (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2021). Namun dalam konteks sosial dan budaya, “gila” adalah label. Label yang bisa dilemparkan kepada siapa pun yang dianggap “tidak normal”, menyimpang, atau tak bisa dimengerti.
Foucault (1965) dalam Madness and Civilization menyoroti bagaimana kegilaan sepanjang sejarah tidak hanya dimaknai secara medis, tapi juga sebagai cara masyarakat mendefinisikan “yang lain”. Ia menulis bahwa “kegilaan” sering kali menjadi tempat pembuangan bagi pikiran-pikiran yang tak bisa dijelaskan oleh akal kolektif. Dengan kata lain, bisa saja seseorang tidak benar-benar gila secara klinis, namun dicap gila karena menolak patuh terhadap norma.
Perpotongan Aneh: Di Mana Mereka Bertemu?
Kaitan antara kecerdasan tinggi dan kerentanan terhadap gangguan mental telah dikaji dalam berbagai studi kontemporer. Penelitian dari Karpinski et al. (2018) menunjukkan bahwa individu dengan tingkat IQ di atas rata-rata cenderung memiliki kecenderungan lebih tinggi terhadap gangguan seperti kecemasan, ADHD, bahkan autoimun. Otak yang terlalu aktif, hipersensitif terhadap stimulus, dan selalu berpikir tak henti, bisa menjadi bumerang.
Seorang filsuf kontemporer, Nassim Taleb (2020), menyebut individu seperti ini sebagai “fragile intellectuals” — cerdas, tetapi rapuh terhadap tekanan sosial yang tidak fleksibel terhadap keragaman kognitif. Mereka hidup dalam dunia pemikiran yang kompleks, namun berada di tengah dunia sosial yang menyukai keseragaman dan kepatuhan. Akibatnya, mereka sering merasa terasing.
Oliver Sacks (2012), seorang neurolog ternama, bahkan mendokumentasikan kasus-kasus luar biasa di mana seseorang yang dianggap gila ternyata memiliki kemampuan musikal, matematis, atau linguistik yang luar biasa. Kondisi seperti savant syndrome menunjukkan bahwa “kegilaan” dan “kejeniusaan” tidak selalu bisa dipisahkan secara hitam-putih.
Stigma dan Realitas Sosial
Masalahnya bukan hanya pada batas kabur antara cerdas dan gila, tetapi juga pada cara masyarakat memperlakukan keduanya. Seseorang yang berpikir kritis dan menyampaikan opini yang tak lazim bisa dianggap “nyeleneh”, “kurang waras”, bahkan “berbahaya”. Apalagi jika disampaikan oleh mereka yang tidak memiliki otoritas simbolik dalam struktur sosial — orang miskin, marjinal, minoritas — stigmatisasi jauh lebih cepat terjadi (Corrigan, 2016).
Di sinilah letak ironi masyarakat modern. Ketika gagasan-gagasan cemerlang disampaikan oleh tokoh berpengaruh, mereka disebut “visioner”. Namun jika datang dari seseorang yang tidak memiliki panggung, ia dianggap “berhalusinasi”. Realitas ini menciptakan seleksi sosial yang tidak adil: siapa yang layak didengar, siapa yang layak diobati, dan siapa yang layak dibuang dari percakapan publik.
Perspektif Islam dan Ketajaman Ruhani
Dalam khazanah Islam, perbedaan antara cerdas (‘aqil) dan gila (majnuun) juga menarik untuk digali. Islam memandang akal sebagai anugerah besar. Bahkan tanggung jawab hukum (taklif) dalam Islam ditentukan oleh ada atau tidaknya akal (‘aqil baligh). Namun, Islam juga mengenal fenomena “majnuun” — seseorang yang kehilangan akal dan karena itu tidak dibebani syariat.
Namun demikian, sejarah Islam menyimpan banyak kisah orang-orang saleh yang perilakunya menyimpang dari kelaziman, tetapi justru dihormati karena dianggap memiliki kedalaman spiritual. Kisah Syaikh Sufi seperti Al-Hallaj atau Syams Tabrizi yang “aneh” tapi penuh hikmah, menunjukkan bahwa dalam Islam, kegilaan juga bisa menjadi simbol cinta yang mendalam kepada Tuhan (Chittick, 2000).
Kecintaan ekstrem kepada Tuhan, yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai “mahabbah”, bisa membawa seseorang pada keadaan ekstase atau ‘syathahat’, pernyataan-pernyataan mistik yang sering tak bisa dipahami logika umum. Dalam tradisi ini, kegilaan bukanlah degradasi, tapi transformasi. Dalam kata Rumi, “Reason is powerless in the expression of Love.”
Ruang Publik dan Ketidaksiapan Mengelola Perbedaan
Sayangnya, ruang publik hari ini tampak belum siap menerima keberagaman cara berpikir dan berekspresi. Ketika algoritma media sosial justru memperkuat opini yang seragam, maka yang berbeda dianggap mengganggu, bahkan menyesatkan. Mereka yang menyuarakan kritik mendalam atau menyampaikan kebenaran yang tak populer, mudah dianggap “radikal”, “gila”, atau “tidak rasional”.
Dalam konteks ini, filosofi Hannah Arendt (1958) menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa pluralitas adalah inti kehidupan politik. Ketika perbedaan dianggap sebagai gangguan, maka politik berubah menjadi represi. Dalam masyarakat seperti ini, individu cerdas dengan gagasan besar pun bisa dibungkam, dan yang tersisa hanyalah kebisingan yang seragam.
Pendidikan dan Deteksi Dini
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana sistem pendidikan dapat mengenali bakat luar biasa dan sekaligus merawat kesehatan mental individu yang memiliki kecenderungan pemikiran mendalam. Sayangnya, pendidikan kita masih sangat normatif dan homogen. Anak yang bertanya terlalu banyak dianggap “nakal”. Siswa yang mengkritisi guru dianggap “tidak sopan”. Padahal, bisa jadi mereka adalah benih kecerdasan luar biasa yang butuh diarahkan, bukan ditekan (Robinson, 2017).
Sistem kesehatan mental pun belum mampu menjangkau atau memahami spektrum antara jenius dan psikotik. Banyak kasus di mana individu yang cerdas didiagnosis dengan gangguan hanya karena mereka berbeda. Diperlukan pendekatan multidisipliner — psikologi, neurologi, antropologi, bahkan estetika — untuk benar-benar memahami siapa yang cerdas, siapa yang sakit, dan siapa yang hanya butuh ruang untuk mengekspresikan dirinya.
Menuju Masyarakat yang Lebih Berempati
Pada akhirnya, membangun masyarakat yang sehat secara psikososial berarti membangun masyarakat yang lebih empatik, bukan sekadar toleran. Cerdas dan gila bukan dua kutub yang saling meniadakan. Banyak yang hidup di antara keduanya, bahkan berpindah-pindah secara dinamis. Dunia membutuhkan ruang aman bagi para pemikir, seniman, spiritualis, dan visioner — termasuk yang dianggap eksentrik.
Dalam sebuah dunia yang semakin gersang karena kepatuhan massal dan perintah algoritma, orang-orang yang dianggap “gila” barangkali adalah mereka yang paling waras. Mereka yang tak segan mempertanyakan segalanya, berpikir bebas, dan hidup seturut keyakinan yang tak populer. Di mata masyarakat, mereka mungkin gila. Tapi di mata sejarah, merekalah penanda zaman.
Referensi
- Arendt, H. (1958). The Human Condition. Chicago: University of Chicago Press.
- Chittick, W. C. (2000). Sufism: A Short Introduction. Oxford: Oneworld.
- Corrigan, P. W. (2016). Principles and Practice of Psychiatric Rehabilitation. New York: Guilford Press.
- Foucault, M. (1965). Madness and Civilization. New York: Pantheon.
- Hodges, A. (2014). Alan Turing: The Enigma. Princeton: Princeton University Press.
- Karpinski, R. I., et al. (2018). High intelligence: A risk factor for psychological and physiological overexcitabilities. Intelligence, 66, 8-23.
- Kaufman, S. B. (2021). Transcend: The New Science of Self-Actualization. New York: TarcherPerigee.
- Robinson, K. (2017). Creative Schools. New York: Penguin Books.
- Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2021). Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. Philadelphia: Wolters Kluwer.
- Sacks, O. (2012). Hallucinations. New York: Knopf.
- Sternberg, R. J. (2019). The Nature of Human Intelligence. Cambridge: Cambridge University Press.
- Taleb, N. N. (2020). Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life. New York: Random House.
- Young, J. (2010). Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography. Cambridge: Cambridge University Press.
- Rumi, J. (trans. Barks, C.) (2004). The Essential Rumi. New York: HarperOne.
- Al-Ghazali. (2005). The Alchemy of Happiness (trans. Claud Field). New Delhi: Islamic Book Service.