Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Ada banyak bentuk kehilangan dalam hidup, tetapi tak banyak yang lebih mengguncang dibandingkan kebangkrutan. Bukan sekadar soal kerugian finansial, kebangkrutan sering kali mencerminkan runtuhnya tatanan nilai, gagalnya sistem, dan rapuhnya struktur yang semula tampak kokoh. Dalam konteks pribadi, kebangkrutan bisa mengubah identitas seseorang secara total. Dalam konteks korporasi, ia mengguncang kepercayaan publik. Sementara dalam skala negara, kebangkrutan menjadi pertanda keretakan dalam fondasi ekonomi dan sosial.
Fenomena bangkrut bukanlah hal baru dalam sejarah. Dari jatuhnya perusahaan-perusahaan raksasa dunia seperti Enron, Lehman Brothers, hingga tumbangnya negara seperti Venezuela dan Sri Lanka akibat gagal bayar, semua menyisakan pelajaran yang relevan bagi siapa pun yang memaknai ekonomi bukan sekadar angka, melainkan juga nilai dan kemanusiaan.
Anatomi Sebuah Kebangkrutan
Kebangkrutan, menurut Undang-Undang Kepailitan di berbagai negara, adalah kondisi ketika seseorang atau badan hukum tidak mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo. Namun, definisi formal ini hanya menyentuh permukaan. Di balik angka dan dokumen hukum, terdapat jaringan sebab-akibat yang kompleks—kesalahan manajemen, korupsi, tekanan geopolitik, perubahan teknologi, atau bahkan keserakahan.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa penyebab kebangkrutan umumnya bukan satu faktor tunggal. Studi oleh Laitinen (2023) mengidentifikasi bahwa 78% kasus kebangkrutan korporasi diawali oleh kombinasi lemahnya pengawasan internal dan pengambilan keputusan strategis yang keliru. Selain itu, tekanan eksternal seperti krisis global juga mempercepat kehancuran, sebagaimana terlihat dalam pandemi COVID-19 yang membuat ribuan UMKM bangkrut di seluruh dunia (World Bank, 2022).
Namun, bukan hanya perusahaan yang rentan bangkrut. Rumah tangga, lembaga pendidikan, bahkan institusi keagamaan pun dapat mengalami kebangkrutan finansial maupun moral. Ini menunjukkan bahwa bangkrut bukan sekadar urusan neraca keuangan, tetapi juga soal integritas sistem.
Bangkrutnya Integritas
Bangkrut tidak selalu berbentuk kehilangan materi. Kita menyaksikan pula bentuk lain dari kebangkrutan: kebangkrutan moral. Ketika elite politik lebih sibuk menyelamatkan diri ketimbang memperjuangkan keadilan; ketika hukum dijadikan alat kekuasaan, bukan pelindung kebenaran; ketika pendidikan hanya menjadi ajang kompetisi nilai tanpa nurani—di sanalah kita menghadapi kebangkrutan yang lebih sunyi tapi lebih dalam.
Menurut Baumann (2023), masyarakat modern menghadapi krisis etika kolektif. Ini ditandai oleh meningkatnya apatisme sosial dan melemahnya komitmen terhadap kebaikan bersama. Fenomena ini menjadi fondasi kebangkrutan sosial, di mana solidaritas digantikan oleh kompetisi, dan kebaikan dikalahkan oleh kalkulasi untung-rugi.
Kebangkrutan moral pun sering kali menjadi prasyarat dari kebangkrutan ekonomi. Ketika manajer atau pejabat mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu (Kaplan & Mikes, 2022).
Bankrutnya Harapan
Dampak paling menyakitkan dari kebangkrutan bukanlah kerugian materi, tetapi kebangkrutan harapan. Seorang pengusaha yang bangkrut kehilangan kepercayaan diri. Seorang pegawai yang di-PHK karena perusahaan bangkrut kehilangan masa depan. Sebuah komunitas yang hancur akibat kebangkrutan sistemik kehilangan arah hidup.
Menurut penelitian oleh Hurst dan Pugsley (2022), 64% pelaku usaha kecil yang mengalami kebangkrutan mengalami gejala depresi dan kecemasan berat. Kebangkrutan berdampak pada aspek psikologis dan sosial yang jarang diungkap di berita utama.
Di sinilah negara dan masyarakat sipil seharusnya hadir. Bukan hanya memberi modal atau bantuan hukum, tetapi juga menghadirkan ruang pemulihan mental dan sosial. Sebab kebangkrutan bukan akhir, melainkan momen krisis yang bisa menjadi titik balik jika dikelola dengan bijak.
Bangkit dari Bangkrut
Bangkrut tidak harus berarti tamat. Sejarah mencatat banyak kisah tentang kebangkitan pasca-kebangkrutan. Steve Jobs pernah dikeluarkan dari Apple dan memulai lagi dari nol, sebelum kembali dan mengubah wajah dunia teknologi. Jepang yang luluh lantak pasca-Perang Dunia II, bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia. Indonesia pun telah berkali-kali menghadapi krisis—moneter, politik, kesehatan—namun tetap bertahan.
Faktor utama dalam kebangkitan ini bukan sekadar dana atau teknologi, tetapi tekad dan solidaritas. Studi oleh Ghosh (2023) menunjukkan bahwa peran komunitas lokal dalam memulihkan UMKM pasca-krisis lebih signifikan dibandingkan bantuan institusi besar. Ini menunjukkan bahwa akar rumput memiliki kekuatan penyembuh yang luar biasa, selama diberi ruang dan kepercayaan.
Namun, agar kebangkitan ini tidak hanya menjadi euforia sesaat, dibutuhkan refleksi mendalam. Apa yang salah? Apa yang harus diubah? Dan yang terpenting: apa nilai yang harus dijaga agar tidak terjatuh ke lubang yang sama?
Kebangkrutan dan Transformasi Sosial
Kebangkrutan, jika dimaknai secara kritis, bisa menjadi momen transformasi sosial. Ia memaksa sistem untuk berhenti, mengevaluasi, dan membangun ulang dengan paradigma baru. Inilah yang disebut oleh Schumpeter (2022) sebagai creative destruction—kehancuran yang justru melahirkan inovasi.
Misalnya, ketika sistem pendidikan konvensional gagal menjawab tantangan pandemi, muncullah model pembelajaran hibrida yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi. Ketika sistem kesehatan kolaps, muncul kesadaran baru tentang pentingnya kesehatan mental dan ketahanan sosial. Kebangkrutan memaksa kita keluar dari zona nyaman menuju dunia baru yang lebih inklusif.
Namun transformasi ini tidak terjadi otomatis. Ia butuh pemimpin yang visioner, masyarakat yang tangguh, dan sistem yang adaptif. Tanpa itu, kebangkrutan hanya akan berulang dalam siklus tanpa akhir.
Menata Ulang Nilai
Mungkin inilah saatnya kita menata ulang apa arti “kaya” dan “bangkrut”. Dalam masyarakat yang terlalu mengagungkan kekayaan materi, kebangkrutan dianggap aib. Padahal, orang yang kaya harta tetapi miskin empati, sesungguhnya juga sedang bangkrut. Sebaliknya, mereka yang kehilangan segalanya namun tetap teguh menjaga prinsip, justru sedang menyemai harapan.
Dalam esai tentang ekonomi etis, Sen (2022) menulis bahwa kekayaan sejati bukan terletak pada akumulasi, tetapi pada distribusi dan kebermanfaatan. Maka, dalam dunia yang terus berubah ini, barangkali kita perlu mendefinisikan ulang sukses dan kegagalan.
Bankrut bukan hanya tentang angka nol di rekening, tetapi juga tentang hilangnya makna dan arah. Dan karena itu pula, bangkit dari bangkrut bukan hanya soal restrukturisasi utang, tetapi juga soal merajut kembali nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Referensi
- Baumann, Z. (2023). Moral Blindness: The Loss of Sensitivity in Liquid Modernity. London: Polity Press.
- Ghosh, S. (2023). Resilient Communities: The Key to Post-Crisis Recovery. New York: Routledge.
- Hurst, E., & Pugsley, B. (2022). Small business dynamics and mental health during recessions. Journal of Economic Perspectives, 36(1), 123-147.
- Kaplan, R. S., & Mikes, A. (2022). Managing Risk: A New Framework. Harvard Business Review, 100(3), 46–60.
- Laitinen, E. K. (2023). Early-warning systems for financial distress: Evidence from European companies. European Accounting Review, 32(2), 278-301.
- Schumpeter, J. A. (2022). Capitalism, Socialism and Democracy. Princeton: Princeton University Press.
- Sen, A. (2022). Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
- World Bank. (2022). The Impact of COVID-19 on Micro, Small, and Medium Enterprises in Emerging Markets. Washington D.C.: World Bank Group.
- Tirole, J. (2023). Economics for the Common Good. Cambridge: MIT Press.
- Sachs, J. (2022). The Age of Sustainable Development. New York: Columbia University Press.
- Mazzucato, M. (2023). Mission Economy: A Moonshot Guide to Changing Capitalism. London: Penguin.
- Reinhart, C. M., & Rogoff, K. S. (2022). This Time Is Different: Eight Centuries of Financial Folly. Princeton: Princeton University Press.
- Piketty, T. (2023). Capital and Ideology. Cambridge: Harvard University Press.
- Stiglitz, J. E. (2022). People, Power, and Profits: Progressive Capitalism for an Age of Discontent. New York: W.W. Norton & Company.
- Milanovic, B. (2023). Capitalism, Alone: The Future of the System That Rules the World. Cambridge: Harvard University Press.