Dr. H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.
Kader Seribu Ulama Doktor
MUI dan Baznas RI Pusat Angkatan 2021
Kejenuhan adalah keniscayaan manusia. Kita mengenal bosan sebagai reaksi wajar atas rutinitas, penderitaan yang berulang, atau kenyataan sosial yang terus-menerus stagnan. Namun, saat manusia menengok langit dan bertanya dengan getir, “Apakah Tuhan sudah mulai bosan?”, yang muncul bukanlah tuduhan, melainkan kegelisahan eksistensial yang dalam. Pertanyaan itu menjadi cermin dari kondisi spiritual yang meredup. Apakah ini benar-benar tentang Tuhan, atau tentang kita sendiri yang kehilangan arah dan harapan?
Kebosanan sebagai Citra Manusia yang Diproyeksikan ke Tuhan
Ketika kita menuduh Tuhan mulai bosan, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang kebosanan kita sendiri. Dalam psikologi dan teologi, ini disebut sebagai proyeksi: kecenderungan untuk memindahkan keadaan batin kita ke dalam entitas luar. Ucapan seperti “Tuhan mungkin bosan melihat dunia yang kacau” lebih mencerminkan frustrasi manusia atas dunia yang tak kunjung berubah menjadi lebih baik. Dunia terus disesaki oleh perang, kelaparan, korupsi, dan kerusakan lingkungan. Rasa tidak berdaya atas keadaan itu memunculkan gambaran bahwa Tuhan pun muak. Padahal, yang jenuh, marah, dan kecewa adalah kita sendiri. Tuhan, dalam pengertian transendennya, tidak tunduk pada perubahan emosi seperti manusia (Hart, 2013).
Tuhan sebagai Keabadian yang Tak Terpengaruh Perasaan
Teologi-teologi besar dunia, baik dalam Islam, Kristen, maupun Yudaisme, menyepakati bahwa Tuhan adalah Zat yang tidak berubah. Dalam Islam, sifat-sifat Tuhan seperti Al-Hayy (Yang Maha Hidup) dan Al–Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri) menandakan eksistensi yang kekal dan mandiri. Sifat ini tidak memungkinkan bagi Tuhan untuk merasa jenuh atau kehilangan minat terhadap ciptaan-Nya. Dalam tradisi Kristen, David Bentley Hart menjelaskan bahwa Tuhan sebagai Keberadaan itu sendiri tidak terpengaruh oleh dinamika emosi manusiawi karena Tuhan adalah sumber dari segala yang ada (Hart, 2013). Menyematkan sifat bosan pada Tuhan sama artinya dengan menyeret Tuhan ke dalam batasan eksistensial makhluk.
Fenomena Fine-Tuning dan Ketelitian Kosmik
Ilmu pengetahuan modern justru memperlihatkan bahwa semesta ini terlalu presisi untuk dianggap sebagai hasil kebetulan. Konsep fine-tuning atau keteraturan semesta yang sangat tepat memungkinkan keberadaan kehidupan. Adam Hincks (2025) menggarisbawahi bahwa keteraturan itu tidak hanya menjadi argumen filosofis tentang keberadaan Tuhan, tetapi juga menunjukkan konsistensi Ilahi. Tuhan yang menciptakan dan memelihara semesta dengan hukum-hukum eksak jelas bukan entitas yang bosan. Dalam sains, kebosanan ditandai dengan ketidakteraturan dan kehancuran sistematis. Tetapi kenyataannya, hukum-hukum fisika terus berjalan dengan konsisten. Ini adalah cerminan dari keberlangsungan kasih sayang dan perhatian Tuhan terhadap ciptaan-Nya (McGrath, 2009).
Apophatik dan Antropomorfisme dalam Teologi
Dalam tradisi apophatik (via negativa), Tuhan dipahami justru melalui apa yang tidak dapat dikatakan tentang-Nya. Gagasan ini berkembang dalam teologi Kristen Timur dan juga sufisme Islam. Dalam perspektif ini, Tuhan adalah misteri yang tak dapat dijelaskan secara tuntas dengan bahasa manusia. Maka, saat kita menyebut Tuhan bosan, kita sedang mengarungi wilayah yang tidak valid secara teologis. Antropomorfisme, yakni menyematkan sifat manusiawi pada Tuhan, telah lama dikritik oleh para teolog klasik. Jika Tuhan bersifat mutlak, maka Ia tidak bisa diukur dengan dinamika psikologis makhluk yang terbatas. Dengan demikian, pernyataan “Tuhan bosan” adalah bentuk kekeliruan dalam memahami transendensi.
Modernitas dan Kekosongan Spiritualitas
Era modern ditandai oleh berkembangnya sains, teknologi, dan konsumsi sebagai nilai dominan. Di tengah kemajuan itu, spiritualitas justru mengalami kekosongan. Banyak orang mulai meragukan Tuhan bukan karena argumen intelektual, tetapi karena kehilangan relasi personal dengan Yang Ilahi. Dalam konteks ini, Tuhan mulai dianggap diam, jauh, bahkan tak peduli. Dari sini muncul kesan bahwa Tuhan mungkin sudah mulai bosan terhadap ciptaan-Nya. Namun seperti dikatakan Guy Consolmagno dalam refleksinya tentang sains dan iman, justru keteraturan semesta adalah bahasa Tuhan yang paling nyata bagi manusia modern (Nielsen Hayden, 2025). Maka yang perlu dibangkitkan bukanlah kehadiran Tuhan, tetapi kepekaan kita untuk menyadari-Nya.
Kebosanan sebagai Pertanda Redupnya Jiwa
Jika kita merasa bahwa Tuhan sudah mulai bosan, bisa jadi itu adalah tanda bahwa jiwa kita sendiri yang mulai redup. Dalam Islam, hati yang lalai disebut sebagai hati yang mati. Dalam Kristen, ini disebut sebagai kehilangan iman. Keduanya sepakat bahwa relasi dengan Tuhan adalah relasi yang aktif dan harus dirawat. Dalam konteks ini, kebosanan spiritual bisa menjadi panggilan untuk kembali kepada kesadaran ilahiah. Ia bukan akhir dari keimanan, melainkan awal dari pertobatan. Kebosanan terhadap hidup, ibadah, atau relasi sosial bisa menjadi pintu masuk untuk mendalami kembali makna keberadaan dan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Kita yang Jenuh, Bukan Tuhan yang Bosan
Pertanyaan “Apakah Tuhan sudah mulai bosan?” adalah pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu ditujukan kepada Tuhan. Ia adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh manusia sendiri. Apakah kita yang mulai bosan untuk berbuat baik? Apakah kita yang jenuh untuk menegakkan keadilan? Apakah kita yang lelah untuk menyembah dan bersyukur? Maka jawaban dari pertanyaan besar ini bukan terletak pada langit, melainkan pada kesediaan kita untuk melihat ke dalam hati masing-masing. Tuhan tidak pernah meninggalkan dunia. Justru dunia yang kerap meninggalkan Tuhan. Dan mungkin, dalam diam-Nya, Tuhan sedang menunggu kita kembali.
Referensi
- Hart, D. B. (2013). The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss. New Haven, CT: Yale University Press.
- McGrath, A. E. (2009). A Fine‑Tuned Universe: The Quest for God in Science and Theology. Louisville, KY: Westminster John Knox Press.
- Hincks, A. D. (2025). Does a Fine‑Tuned Universe Tell Us Anything About God? arXiv.
- Davies, P. (1984). God and the New Physics. London, UK: J. M. Dent / New York, NY: Simon & Schuster.
- Davies, P. (2007). The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? London, UK: Penguin Group.
- Consolmagno, G. (2025). In Nielsen Hayden, P. (2025, July 28). The Vatican Observatory Looks to the Heavens. The New Yorker.
- Barrow, J. D. (Ed.). (2007). Fitness of the Cosmos for Life: Biochemistry and Fine‑Tuning (Cambridge Astrobiology Series). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
- Lewis, G. F., & Barnes, L. A. (2016). A Fortunate Universe: Life in a Finely Tuned Cosmos. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
- Stenger, V. J. (2007). God: The Failed Hypothesis. Amherst, NY: Prometheus Books.
- Stenger, V. J. (2012). The Fallacy of Fine‑Tuning: Why the Universe Is Not Designed for Us. Amherst, NY: Prometheus Books.
- Chopra, D., & Kafatos, M. (2017). You Are the Universe: Discovering Your Cosmic Self and Why It Matters. New York, NY: Harmony.
- Collins, R. (n.d.). God and the Laws of Nature. Philosophy Talk (podcast/transcript).
- Svozil, K. (2018). Theology and Metaphysics in Sombre, Scientific Times. arXiv.
- Carrier, R. (2022). Why the Fine‑Tuning Argument Proves God Does Not Exist (blog essay).
- “Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?” (n.d.). Katolisitas.org.